Aku, Jujur, Dan Waktu

0
1118

Saat itu Aku pernah berkata kepada ‘Jujur’ untuk menunggu sang ‘Waktu’ tiba. Tentu saja banyak pertimbangan mengapa semuanya mesti menunggu, dan sebetulnya ‘Waktu’ sudah tahu apa yang kupikirkan.

Tapi Aku juga tidak yakin apakah ‘Waktu’ dengan segala ketepatannya akan tiba, atau justru malah mesra menggandeng “Rasa Tunda”

‘Waktu’ juga kerap mengolok-olok dengan memberikan pernyataan klise yang sering kali Aku dengar, “Apakah kamu yakin akan semua ini?”

Sebuah hal yang jawabannya lebih sulit ketimbang meladeni pertanyaan konspirasi “apakah dunia paralel itu ada?” Atau juga “apakah bumi bulat atau datar?” Perdebatan itulah yang seringkali muncul dalam ruang diskusi orang-orang di luar sana.

Aku tentu tidak bisa menjawab pertanyaan dari ‘Waktu’ bila sendirian, aku butuh ‘Jujur’ untuk paling tidak mendampingiku ketika bertemu dengannya.

“Dengan siapa? Apakah orang itu? Yang kamu ungkap 2 tahun lalu?” ujar ‘Waktu’

“Tentu.” Aku menjawabnya singkat.

***

Perjalanan Aku untuk menemui dirinya bisa dibilang tanpa kemajuan, Aku seolah mengerti bahwa kekecewaan menungu di depan sana. Rasa kecewa seolah mempersiapkan senjata utamanya untuk membelah hati menjadi dua.

“Pengecut!”. ujar ‘Waktu’

Aku tersenyum kecut mendengar perkataan itu, sebuah fakta yang tak dapat ku bantah. Aku sadar bahwa berulang kali Aku berlindung dibalik rasa khawatir, yang barangkali itu adalah bentuk representasi pesimistis.

Kemudian aku berpaling dari hadapan ‘Waktu’ dan menengadahkan wajah ke langit, melihat angkasa raya, dengan gugusan bintang yang nampak Indah. Langit malam ini begitu bersih, tiada awan yang berani menghalangi pandangan.

Di seberang sana ‘Jujur’ masih bersantai menunggu aba-aba yang entah kapan tiba, ditemani secangkir kopi dan juga roti di tangan kanannya. Akhir-akhir ini memang ‘Jujur’ nampak rileks, ia seperti tidak pernah berfikir kedepannya, yang ia tau, tugasnya adalah menjauhi Kebohongan. Tentu ia tidak pernah berpikir demikian karena memang bukan itu tugasnya.

Aku kemudian membuka laptop yang semenjak tadi menunggu dioperasikan, menyalakannya, untuk kemudian mengakses sebuah browser, mengetik halaman website pribadi dan bersiap-siap mencurahkan isi hati melalui puisi.

Sebuah pesan dari Aku yang berada di kejauhan,
Maafkan bulan bila esok ia tak bersinar terang,
Maafkan matahari bila esok ia redup dalam bersinar,
Maafkan juga jam dinding bila esok ia malu dalam menunjukkan waktu.

Karena semesta nampak tak menarik lagi untuk dijelajahi,
Kaki kaki ini,
kaki kaki yang dulu,
Berteriak perih.

Esok hari dunia akan kembali hitam dan putih,
Karena warna bercerai dengan warni.

Sebuah puisi yang benafaskan rasa lelah dan kecewa, ‘Aku’ belum memikirkan judul yang paling tepat, dan yaaa.. mungkin akan kusimpan ke dalam draf terlebih dahulu.

Tidak ada tujuan lain selain menulis keresahan, pada akhirnya aku membiarkan laptop tersebut dalam keadaan standby.

Aku berdiri dari kursi tempat aku duduk di balkon lantai 2, untuk masuk ke dalam kamar. Belum sempat melangkahkan kaki, Burung Merpati memanggilku dari kejauhan, mengembalikan surat terdahulu yang pernah aku titipkan. Surat tersebut nampak kusam, kertasnya tidak lagi putih bersih, di salah satu sisinya bertuliskan waktu “dua tahun yang lalu”.

Dari raut wajahnya, Merpati itu nampak marah, karena ternyata aku tidak menuliskan alamat sang penerima. Hanya menyisipkan sebuah nama bertinta emas. Aku tersadar dan sejenak berpikir, rasanya memang aku tidak pernah benar-benar hendak mengirimnya. Berkali-kali burung Merpati itu datang kemari untuk bertanya, Aku selalu menghindar pergi, dan baru sekarang aku menemuinya lagi.

Setelah beberapa saat Merpati itu kembali mengepakkan sayapnya, terbang di tengah indahnya langit malam, sementara aku memberanikan diri membaca surat yang aku tulis 2 tahun lalu itu. Di seberang sana ‘Jujur’ memalingkan wajah, sementara ‘Waktu’ ikut mengingat dengan cara bernostalgia.

Aku membaca kata demi kata, paragraf demi paragraf, dan mengakhirinya dengan suatu senyuman semu, berusaha menyembunyikan, perasaan yang getir, perasaan kecewa atas pengkhianatan terhadap Janji. Tak lama berselang ‘Jujur’ dan ‘Waktu’ bergantian meninggalkanku sendiri.