Publik: Persuaan Pasar dan Seni

0
2017

Sepuluh perupa dari Indonesia dan Jerman bersama-sama menyulap wajah Pasar Tebet Timur di Jakarta dengan karya-karya mereka. Tak cuma membuat pasar menjadi ”berseni”, karya-karya itu juga membangun percakapan-percakapan baru di antara manusia.

Rabu (11/11) siang yang terik terasa sejuk di bawah naungan pepohonan di sudut pelataran Pasar Tebet Timur, Jakarta. Di sanalah Abdillah, sang tukang sapu pasar, menikmati ”kasur” barunya ditemani Nurmi, sang buruh panggul.

”Sepekan lalu, saya tidak paham kenapa seniman-seniman itu datang ke pasar, dan apa yang mereka kerjakan. Mereka kerja tiap malam membuat panggung bambu. Ternyata, jadi kasur empuk,” kata Abdillah tertawa, sambil rebah-rebahan di kasur raksasa karya Edi Danartono yang sepanjang 8 meter dan selebar 2,9 meter itu.

Nurmi menimpali dengan cerita bagaimana Edi dan teman-temannya membangun kasur berjuluk ”Kaluak Paku…” sejak awal November silam. Gawat, cerita itu termasuk gosip soal siapa pacar tiap-tiap perupa. Obrolan makin ramai ketika kabar-kabur itu dibumbui Parni, salah satu pelanggan belanja di Pasar Tebet Timur.

”Itu seniman-seniman dari Jerman lho,” ujar Parni dalam nada berbisik, lalu kenes menuturkan versi perkenalannya dengan Edi Danartono, seniman pembuat ”Kaluak Paku…”. Sudut pelataran pasar tiba-tiba menjadi terminal perjumpaan, mereka yang setiap hari berkunjung ke pasar itu tiba-tiba punya bahan percakapan baru.

Percakapan Baru

Pembukaan Market Share yang menjadi bagian dari Jerman Fest yang digelar Goethe Institut itu sudah berlalu pada Selasa (10/11) lalu. Namun, riuhnya masih menyertai para pedagang pasar dan pengunjung. Wajah dan rupa sudut-sudut dan dinding- dinding Pasar Tebet Baru memang berubah gara-gara ulah para seniman.

Salah satu pintu masuk pasar misalnya, langit-langit betonnya oleh mural Popo bertuliskan ”Pasar untuk Semua”. Popo juga memerahkan suasana salah satu tangga pasar dengan mural raksasa bertulis ”Untung Wajar, Rejeki Lancar”. Kalimat-kalimat itu lahir dari berbagai obrolan Popo dengan para pedagang pasar, yang juga dilakukan sembilan perupa lain yang terlibat Market Share.

Obrolan para perupa dengan para pedagang pasar memang menjadi bahan baku utama Market Share, dan lebih dari itu membuat para pedagang pasar terlibat dengan proyek seni rupa itu.

Alvan adalah salah satu kejutan karena pedagang emas dari Toko Emas Cahaya Baru itu ternyata piawai menarasikan konsep-konsep karya yang rumit. Tuturannya tentang konsep instalasi karya Hanna-Maria Hammari berjudul ”Prestige”, misalnya, membangun drama atas gagasan Hammari yang membuat toko tas ”KW” alias tas tiruan merek ternama.

Alvan tak ragu beranjak dari toko emasnya, menjelaskan foto raksasa kapal karam bernama ”Prestige” yang tertempel di semua dinding kios sewaan Hammari. ”Lihat, kapal itu menumpahkan oli ke laut, Maria Hammari menjadikannya lantai kios yang menghitam. Di rak kiosnya, Maria menaruh tas-tas KW alias barang jiplakan. Semua tas itu sudah dimodifikasi lagi oleh Maria sehingga semakin KW, kalau kata Maria, double fake. Saya suka sekali konsep karya ini,” kata Alvan.

Alvan juga bernas menuturkan konsep karya Liesel Burisch, yang menerjemahkan semboyan berbagai merek internasional untuk menghadirkan rupa baru dari kompetisi visual beragam produk dalam interaksi di pasar. Daftar terjemahan itu disodorkan kepada penyewa kios Pasar Tebet Baru agar memilih tulisan apa yang akan dicetak dengan cat semprot di rolling door kios sewaan masing-masing.

”Anda lihat toko saya, di sana juga ada karya Burisch. Tidak kelihatan kan karena toko emas saya sedang buka. Itulah konsep karya Burisch, sesuai dengan judul karyanya, ’There is Nothing Left to See’. Kalau toko tutup, rolling door ditarik turun, barulah tampak karya-karya Burisch,” tutur Alvan.

Wow, para perupa menyulap pedagang Pasar Tebet Timur menjadi penikmat seni rupa? Hendri, ayah Alvan, tertawa. ”Mereka menyogok kami dengan kue, dan obrolan-obrolan yang menyenangkan. Para seniman ini tahu betul yang mereka kerjakan, sangat terencana. Saya suka dengan kehadiran mereka,” kata Hendri.

Market Share yang diampu kurator Tobias Rehberger dan Ade Darmawan memang interupsi menarik atas rutinitas Pasar Tebet Timur. Dalam ingatan Nurmi, yang sudah belasan tahun menjadi buruh panggul di Pasar Tebet Timur, baru kali ini seniman ”mengobrak-abrik” pasarnya. ”Saya puluhan tahun menjadi buruh panggul pasar juga belum pernah tahu ada karya seni di pasar,” kata Nurmi.

Ketika disapa, ternyata para pedagang bangga dan senang meski tak semuanya puas. Joko yang mengelola kios percetakan ”Apieck Graphia”, misalnya, bingung memahami pilihan eksekusi cetakan cat semprot ”There is Nothing Left to See” karya Liesel Burisch. ”Tulisan mutiara itu dipasang di rolling door, yang penuh cetakan cat semprot. Lha ini senimannya kok juga pakai cetakan cat semprot. Saya bingung, di mana seninya,” kata Joko memamerkan cetakan cat semprot di rolling door kiosnya bertuliskan ”Ciptakan Kesuksesan Setiap Hari”.

Tentu saja tak mungkin perupa seperti Burisch mendiskusikan konsep karya kepada tiap-tiap pedagang Pasar Tebet Baru, menjelaskan ”tulisan mutiara” itu dicomot dari produk massal yang semassal cetakan cat semprot. Dan tentu saja, Joko berhak protes karena memimpikan mural Popo-lah yang mampir ke tiap rolling door kios. Luar biasa kan, Joko menyatakan dengan jelas tentang ”bagus” versinya.

(Aryo Wisanggeni)


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 November 2015, di halaman 26 dengan judul “Publik: Persuaan Pasar dan Seni”