Hutan mangrove Gamtala memberi celah bagi pemburu pesona senja melalui aliran sungai kecil yang membelah di tengah kerimbunan pepohonan. Ada keteduhan dan kesejukan serta cericit burung sepanjang sekitar 1,5 kilometer sungai itu. Di pintu keluar telah menanti mentari senja

Hutan mangrove Gamtala masuk wilayah Desa Gamtala, Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara. Setiap petang, hulu sungai kecil yang menjadi pintu masuk hutan mangrove itu selalu ramai dikunjungi warga setempat atau wisatawan. Mereka datang untuk menikmati hangatnya air yang mengalir dari kaki Gunung Sahu, salah satu gunung api di Halmahera Barat.

Nelayan Gamtala yang hendak melaut pun biasanya berangkat melalui tempat itu, seperti Heri Purwandi (36) dan Sefna Tari (36) yang ditemui Oktober lalu. Perahu motor yang dikemudikan Sefna secara perlahan menyisir sungai, membelah hutan mangrove seluas sekitar 12 hektar itu. Mangrove menjulang di sisi sungai dengan janggutnya menggantung di atas permukaan air. Begitu pula nipah yang tumbuh di antara mangrove.

Hutan mangrove itu bak oase di tengah panasnya Jailolo. Kota kecil tak jauh dari garis khatulistiwa, yang pada Maret 2016 dilalui gerhana matahari total, tak bisa menghindar dari sergapan kemarau panjang dengan suhu bahkan melampaui 28 derajat celsius. Kerapatan mangrove mampu menghalau sengatan terik.

Air sungai itu terasa payau karena sudah tercampur dengan air laut. Di sungai itu tidak ada binatang berbahaya seperti buaya karena yang ada biawak dan beberapa jenis burung seperti kakatua. Ada pula meleo yang muncul setiap pagi. Beberapa burung terdengar cericitnya.

Satu jembatan kayu berdiri di atas aliran sungai, memberi tanda air sungai segera bersua gelombang dari Laut Maluku. Sefna menaikkan kecepatan mengarahkan perahu meliuk-liuk di atas punggung gelombang yang tak beraturan itu.

Langit di sisi barat Jailolo senja itu tak banyak dikerubuti awan gelap. Cerah. Mata dengan bebas melihat matahari perlahan turun hingga tenggelam di Laut Maluku. ”Sepertinya kita menghantar matahari pergi. Banyak orang ingin menyaksikan momen ini, tetapi kadang dihalangi mendung,” kata Ketua Sekolah Tinggi Pertanian Kewirausahaan Banau Jailolo Dadan Hindayana yang bersama-sama menyaksikan tenggelamnya matahari sore itu.

Hutan mangrove Gamatala dan Pantai Marinbati merupakan paket wisata senja yang paling sering dikunjungi wisatawan yang datang ke Jailolo. Apalagi saat Festival Teluk Jailolo, acara tahunan yang rutin digelar sejak 2009, wisatawan berbondong-bondong ke Marinbati melalui Gamtala. Rasanya belum lengkap kalau belum menyelami keindahan pesona senja di dua tempat itu.

Barangkali itu yang menjadi alasan beberapa artis dan grup band nasional, bahkan pejabat, tergoda ke Gamtala dan Marinbati. Sebut saja mantan Putri Indonesia Nadine Chandrawinata, grup band Geisha, dan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad. Desa Gamtala pun dinyatakan sebagi desa wisata di Maluku Utara.

Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Pariwisata pada Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda Olahraga dan Ekonomi Kreatif Halmahera Barat Nur Rahmiani Achmad mengatakan, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga sering meneliti mangrove di Gamtala yang memiliki luas sekitar 12 hektar itu. Jenis mangrove kini masih terus diklasifikasi.

Sementara Pantai Marinbati hanya didatangi di kala senja. Saat senja berakhir, wisatawan kembali ke Jailolo yang berjarak sekitar 9 kilometer. Potensi Marinbati belum dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Setelah keluarga Sultan Jailolo tak lagi tinggal di pesisir itu, Maribanti mati. Belum ada investor melirik lokasi itu untuk dibangun penginapan. Begitu pula pemerintah daerah yang kini menggenjot sektor pariwisata. Tak digarap, sampah menumpuk di pesisir pantai.

Kendala

Halmahera Barat kini menjadi salah satu destinasi wisata di Maluku Utara. Banyak lokasi menarik, tak hanya Gamtala dan Marinbati. Ada Pulau Pastofiri dan Babua serta sejumlah lokasi yang menawarkan keindahan bawah laut. Setelah menikmati keindahan di Pulau Ternate, wisatawan bisa menggunakan perahu cepat ke Jailolo. Waktu tempuh tidak lebih dari satu jam dengan ongkos Rp 50.000 per penumpang.

Salah satu kendala pengembangan sektor pariwisata di Halmahera Barat adalah kurangnya dukungan listrik. Pemadaman bergilir yang kerap terjadi membuat pengusaha penginapan kerepotan. Seperti yang ditemui di Penginapan Amazing, Jailolo. Seorang tamu marah-marah karena penginapan tidak menyediakan generator set memadai. Generator itu hanya mampu untuk penerangan saja. Penyejuk ruangan tidak bisa diaktifkan karena tak cukup daya.

Padahal, potensi panas bumi di Halmahera Barat sangat besar. Menurut Bupati Halmahera Bara Danny Missy, ada satu titik yang memiliki potensi hampir 45 megawatt (MW). Ini ibarat tikus mati di lumbung padi. ”Kami sangat berharap kerja sama dari PT PLN (Persero) untuk mendukung pembangunan di Halmahera Barat. Pariwisata menjadi salah satu sektor andalan kami,” katanya.

FRANSISKUS PATI HERIN


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Desember 2016, di halaman 28 dengan judul “PESONA NUSANTARA:  Mengantar Mentari di Pantai Marinbati”