Aktivitas modeling di Look. Inc di Pejaten, Jakarta Selatan, Rabu (7/12). Di tempat ini para siswa diajarkan menjadi model profesioal. Kompas/Hendra A Setyawan

Di balik penampilan di landas peraga dengan gaun-gaun indah, diiringi entakan musik, sorot lampu, dan tepuk tangan, sebenarnya para model bergulat menyiapkan diri secara ketat. Proses panjang, disiplin, tanggung jawab, serta berbagai konsekuensi harus dijalani siapa pun yang memilih profesi ini. Modal tampang dan tubuh bagus saja tidak cukup.

Suatu hari di akhir Oktober 2016, di sela-sela gelaran Jakarta Fashion Week (JFW) di satu mal di Jakarta, model muda Lenny (28) menyantap makan siang. Menunya sederhana: salad dan air putih. Tak ada karbohidrat dan lauk.

”Enggak berani makan yang lain, takut lebar badan nambah,” ujarnya. Sore harinya, gadis
itu naik ke atas landas peraga (catwalk) untuk membawakan baju rancangan desainer ternama.

Karena baju yang bakal dipakai sudah pas di badan, Lenny pun dituntut menjaga tubuhnya agar tidak melar. Naik sekian gram saja akan berpengaruh. Karena itu, beberapa hari menjelang tampil, ia harus ikhlas makan ”seadanya”.

Kisah Lenny, yang sudah delapan tahun menjalani profesi model, adalah cerita lazim di antara mereka, baik lelaki maupun perempuan. Jaga stabilitas berat badan jadi pekerjaan rumah yang mendasar. Belum lagi wajah dan kulit harus bersih, sebisa mungkin jangan dinodai jerawat.

Menurut Keke Soeryo, model yang juga salah satu pendiri Look Inc Academy, model perempuan wajib menjaga ukuran tubuh di nomor 4 (XS) atau maksimal 6 (S). Ukuran panggul maksimal 90 sentimeter (cm) dan lingkar perut 64-68 cm. ”Masalahnya, tipe panggul orang Indonesia gede. Jadi, para model harus betul-betul menjaga jenis makanan yang dikonsumsi biar tetap ramping,” ujarnya, di Jakarta, pada Rabu (7/12) pekan lalu.

Sebagai model senior, Keke mengenali perubahan pada para model di manajemennya. ”Febby, pipimu nambah lagi..,” tegurnya kepada Febby Sigar (16), model asal Medan, Sumatera Utara. Remaja bertinggi 176 sentimeter dengan berat badan 58 kilogram itu tersenyum malu. ”Iya, Mbak. Banyak ngemil,” jawabnya.

Profesi model, lanjut Keke, idealnya dilakukan sejak usia 14-15 tahun. Hanya, pada usia itu, remaja justru lagi senang-senangnya makan.

Aktivitas modeling di Look. Inc di Pejaten, Jakarta Selatan, Rabu (7/12). Di tempat ini para siswa diajarkan menjadi model profesioal. Kompas/Hendra A Setyawan
Aktivitas modeling di Look. Inc di Pejaten, Jakarta Selatan, Rabu (7/12). Di tempat ini para siswa diajarkan menjadi model profesioal.
Kompas/Hendra A Setyawan

Tahan diri

Tak hanya Febby yang harus keras pada diri sendiri demi menjaga berat badan. Temannya, Tisya (20), juga susah payah menahan tubuhnya tetap semampai. ”Susah banget. Akhirnya begini deh,” katanya menunjuk badannya yang agak besar.

Diet lazim ditempuh para model untuk menurunkan berat badan. Ada yang hanya makan sayur, ada yang makan sedikit nasi. Ada pula yang sehari makan sayuran, lauk, dan nasi, sehari kemudian makan sayur saja.

Bagi Tisya, diet itu sulit. ”Belum bisa menahan tak makan ini-itu. Habis semua enak ha-ha,” lanjutnya. Oleh karena sedang malas diet, gadis pemilik tinggi tubuh 176 cm itu memilih menjadi model iklan televisi dan bermain film.

Azka Aurora (21), model muda asal Pasuruan, Jawa Timur, lebih beruntung. Gadis bertinggi 178 cm itu awet bertubuh ramping sesuai kebutuhan desainer, padahal tak pernah diet. ”Apa saja kumakan. Sehari bisa makan empat kali,” urainya.

Selain modal fisik, model juga harus cerdas. Soalnya, mereka dituntut hafal koreografi yang diperagakan di atas panggung. Penata tari biasanya memberi tahu satu kali sebelum acara.

”Padahal, di satu acara, kami bisa dapat tiga show, yang berarti ada tiga koreografi. Kalau enggak cerdas, bagaimana bisa cepat hafal. Jika sedang latihan salah gerakan, kami bisa diteriaki. Apalagi nanti di catwalk, malu banget kalau salah,” kata Azka.

Aktivitas modeling di Look. Inc di Pejaten, Jakarta Selatan, Rabu (7/12). Di tempat ini para siswa diajarkan menjadi model profesioal. Kompas/Hendra A Setyawan
Aktivitas modeling di Look. Inc di Pejaten, Jakarta Selatan, Rabu (7/12). Di tempat ini para siswa diajarkan menjadi model profesioal.
Kompas/Hendra A Setyawan

Menjelang pentas

Tampil di tiap pentasberdurasi 20-30 menit tampaknya mudah, asal hafal gerakan sesuai permintaan koreografer dan desainer. Namun, kenyataannya kerap tak semudah itu. Sebelum tampil, mereka harus ikut geladi resik yang bisa saja digelar tengah malam atau dini hari.

Belum cukup istirahat mereka harus sudah siap di belakang panggung paling tidak lima jam sebelum naik landas peraga. Dua atau tiga jam sebelum manggung, mereka sudah memakai baju si desainer. Akibatnya, para model itu kerap mengantuk, padahal muka dan tubuh mereka harus tetap segar.

Belum lagi jika baju yang akan mereka pakai tak bisa untuk duduk, pasti si model ekstra capek. ”Aku pernah mengalami itu, tiga jam harus berdiri. Paling boleh jongkok. Ampun capek banget,” ujar Tisya yang jadi model sejak tahun 2012.

Dalam masa menunggu naik panggung, biasanya para model tidur di belakang panggung. Agar nyaman saat istirahat dan tak kedinginan, mereka sering membawa bantal dan selimut. ”Model biasanya bawa tas besar, itu isinya bantal dan selimut he-he,” kata Azka.

Belum lagi jika mereka harus memakai baju seksi yang memperlihatkan sebagian tubuh. Model kerap tak bisa menolak. Azka dan Febby menganggap tugas yang tak biasa itu hanya untuk di atas landas peraga. Selebihnya, dalam kehidupan hari-hari, mereka cenderung tak memakainya.

SOELASTRI SOEKIRNO


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Desember 2016, di halaman 29 dengan judul “PROFESI MODEL:  Tak Cukup Bermodal Tampang”