Kelompok Orkes Nunung Cs tampil di acara Panggung Orson Darah Muda di bar Borneo di daerah Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (14/12). Mereka memadukan irama dangdut dengan lirik jenaka bertema keseharian. Kelompok dengan corak musik yang biasanya berpenampilan unik ini umumnya tumbuh dari lingkungan kampus. Kompas/Herlambang Jaluardi

Irama orkes melayu, yang lekat dengan dangdut dan telanjur identik dengan musik kerakyatan, ternyata bisa diterima oleh berbagai golongan. Setidaknya itu terlihat pada acara Panggung Orson Darah Muda di lantai dua bar Borneo di Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (14/12).

Sekitar pukul 22.00, acara dimulai dengan doa oleh pemandu acara McAxl. Dia pakai baju koko, berkopiah, pantalon jeans, dan bersepatu skateboard. Sekitar 50 hadirin mengamini.

”Orkes bukan hanya milik orang tua, melainkan juga anak muda. Kalau Amerika punya musik country, kita punya apa… Iya, musik orkes,” katanya dengan gaya dimirip-miripkan Rhoma Irama.

Lalu, tampil kelompok Orkes Bagong Februari (OBF). ”Kami dari Bandung, di bagian pelosok. Maksudnya Jatinangor (Sumedang, Jawa Barat),” kata vokalis Bagus Satria alias Gogon.

OBF ini ”darah muda” di kancah perorkesan. Rata-rata umur para anggotanya 21-23 tahun, tetapi menyukai lagu-lagu Soneta, Pancaran Sinar Petromaks (PSP), dan Pengantar Minum Racun (PMR), yang rentang kariernya lebih panjang daripada usia mereka.

OBF mendasari musiknya dengan instrumen ”wajib” orkes: gendang, mandolin, dan tamborin. Mereka melengkapinya dengan ukulele sehingga lagu gubahannya bernuansa keroncong.

Mereka hendak mematahkan anggapan bahwa keroncong hanya cocok didengar orang tua. Dipadu dengan lirik jenaka, gabungan keroncong dengan orkes melayu racikannya bikin pendengarnya bejoget dan tertawa.

OBF memulai pentas dengan lagu ciptaan sendiri, ”Suzanna Ratu Horor”. Liriknya serem, tetapi enggak bikin takut, malah lucu. ”Beranak dalam kubur, pernah! Jadi kuntilanak, pernah! Apalagi jadi sundel bolong, dia udah khatam,” begitu petikannya.

Pada lagu lain, ”Monalisa” dan ”Sopir Pesawat”, mereka curhat soal kalah saing menggaet cewek. Si Monalisa itu, yang hidungnya disebut mirip ”perosotan TK” sudah punya gebetan, ya, si sopir pesawat, alias pilot yang katanya sering menulis pesan cinta dari kokpit. ”Aku cuma bisa menulis ’I Love You’ di jendela (bus) primjas,” begitu liriknya. ”Primjas” itu nama armada bus yang melayani trayek Jakarta-Bandung.

Dari kampus

Gogon membentuk OBF dari lingkungan kampus Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad pada 2014. Mereka banyak main di acara pentas seni kampus, sekitar Bandung dan Jatinangor.

Kelompok Nunung Cs, yang terbentuk tahun 2003, juga berawal dari tongkrongan kampus, yaitu Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia (UI). Mereka menutup acara malam itu.

Kampus itu juga jadi tempat kelahiran orkes pengundang tawa Warkop DKI dan Pancaran Sinar Petromaks. Mereka kini sudah dianggap legenda.

”Di setiap kampus biasanya ada senior yang mainin musik orkes. Itu jadi contoh buat adiknya,” kata Nunung alias Nurul Huda, pemain gitar dan pendiri Nunung Cs.

Kampus Institut Kesenian Jakarta (IKJ), misalnya punya kelompok Sekarwati di dekade 1990-an. Pada periode sama, lahir kelompok orkes Pemuda Harapan Bangsa (PHB) dari kampus Sekolah Tinggi Seni Rupa di Bandung. Sebelumnya, ada Orkes Soekar Madjoe di Yogyakarta.

Candaan yang jadi lagu, lanjut Nunung, biasanya memotret fenomena sosial. Contohnya, lagu ”Abang Gorengan” yang digambarkan menjadi sohib andalan mahasiswa berkantung pas-pasan. ”Kalau laper di kampus/ duit seceng koncian/mau kenyang cari aja abang gorengan//”

Nunung mencermati ada banyak kelompok orkes baru. Mereka umumnya manggung di komunitas terdekat, yaitu kampus sendiri. Sejak Maret 2016, kelompok orkes ini, baik yang baru maupun yang lama punya forum sendiri yaitu Forum Orkes Dunia Akhirat (FODA) yang membesut acara malam itu. Mereka berjejaring demi mendapat panggung yang lebih besar lagi dan mengorkeskan Indonesia.