Pengalaman Pertama Menjajal Rute MRT Bundaran HI – Lebak Bulus

0
814

Rabu, 6 Januari 2021 lalu saya bersama dua teman saya, Nabil Azhary dan Nayla Zamzani pergi meyambangi Museum Bahari yang terletak di Kawasan Pasar Ikan, Jakarta Utara. Selepas kunjungan tersebut, saya yang pulang ke Kalideres, Nabil yang ke Meruya, dan Nayla yang rumahnya di Ciputat, awalnya sepakat untuk menggunakan moda transportasi Transjakarta. Namun, tiba-tiba saya diajak kedua teman saya itu untuk menjajal Moda Raya Terpadu (MRT) dari stasiun Bundaran Hotel Indonesia (HI) sekalian mengantar Nayla sampai ke stasiun Lebak Bulus. Saya yang memang belum pernah naik MRT, dengan senang hati menerima tawaran tersebut.

Kami naik Transjakarta dari halte Kota mengikuti rute 1 menuju Blok M. Sampai di halte Kota, untungnya bus langsung tersedia sehingga kami tidak perlu menunggu bus datang. Kami menaiki bus tersebut lalu kemudian turun di halte Bundaran HI. Perjalanan singkat selama 15 menit tersebut kami lanjutkan dengan menuruni tangga dari halte ke stasiun MRT.

Pemandangan stasiun MRT yang berada di bawah tanah merupakan hal baru yang menarik perhatian saya. Suasana “baru” sangat kental di stasiun tersebut. Kondisi stasiun MRT didominasi oleh lorong-lorong panjang bercat putih dan abu-abu ditambah berbagai penanda batas-batas jarak antar penumpang. Udara di sepanjang stasiun sangat sejuk sebab terdapat banyak kipas dan pendingin ruangan yang menyala. Tepat di kiri dan kanan stasiun ada minimarket serta toko-toko yang menjajakan makanan dan minuman untuk menemani pengunjung selama perjalanan. Poster-poster sponsor dan iklan serta berbagai imbauan tentang protokol kesehatan juga menghiasi tembok-tembok stasiun Bundaran HI.

Pada masa PSBB seperti saat ini, MRT tidak menerima kartu single trip sehingga tap in bisa dilakukan dengan menggunakan kartu multi trip MRT atau dengan kartu elektronik dari berbagai bank

Saya masuk dan melakukan tap-in pada pukul empat sore. Saat itu stasiun belum terlalu ramai oleh penumpang. Pada masa PSBB seperti saat ini, MRT tidak menerima kartu single trip sehingga tap in bisa dilakukan dengan menggunakan kartu multi trip MRT atau dengan kartu elektronik dari berbagai bank (BCA Flazz, Mandiri E-money, BNI Tapcash, Brizzi, dan Jakcard).

Pastikan di dalam kartu kalian tersedia minimal saldo Rp 15 ribu  agar bisa melakukan tap in. Selain itu pengunjung juga bisa mencetak tiket sendiri lewat aplikasi MRT dan membayar dengan uang elektronik seperti Gopay dan OVO.

Petugas senantiasa berjaga di sekitar gerbang masuk pengunjung. Namun, saat akan melakukan tap in, Nabil ditegur oleh petugas sebab menggunakan masker skuba. Saya baru tahu kalau pengguna masker skuba tidak diperkenankan untuk tap in pada gerbang. Beruntung ada minimarket di area stasiun yang menyediakan masker sekali pakai. Nabil pun membeli satu pak masker berisi lima buah seharga 12 ribu.

Kereta yang sampai di stasiun. Foto: Arsip pribadi

Untuk naik ke dalam kereta kami harus menuruni satu lantai lagi dan menemukan ada dua jalur di kiri dan kanan. Di area kereta tersebut terdapat petugas yang dengan sigap mengarahkan penumpang untuk segera naik ke dalam kereta sebab sebentar lagi kereta akan berangkat. Kami bertiga pun naik ke dalam dan mencari bangku kosong untuk diduduki.

Beruntung kami masih mendapat kursi  sebab waktu itu kondisi gerbong masih sepi. Dalam gerbong kereta yang didominasi oleh warna putih dan biru tersebut kondisinya bersih dan terang. Terdapat bangku-bangku plastik yang dijaraki tiap satu bangkunya untuk penerapan protokol kesehatan. Selain itu, di lantai kereta pun ditempeli stiker jaga jarak supaya tiap-tiap pengunjung bisa berpegangan pada tali pegangan dengan tetap menjaga jarak.

Sebagai orang yang baru sekali naik MRT, saya banyak mengumbar kekaguman saya dengan Nabil dan Nayla waktu baru naik ke gerbong kereta. Masalahnya, di masa pandemi Covid ini ternyata penumpang tidak diperkenankan untuk berkomunikasi baik satu arah maupun dua arah. Saya pun kena tegur oleh petugas yang melintas. Setelah itu kondisi kereta hening dan saya pun mengeluarkan buku yang sudah saya siapkan dari rumah lalu mulai membaca dan menikmati sensasi pertama kali naik MRT.

Lorong stasiun Bundaran Hotel Indonesia (HI). Foto: arsip pribadi

Perjalanan dari Bundaran HI menuju Lebak Bulus ditempuh dalam waktu 20 menit. Selama perjalanan saya sempatkan untuk memandang ke luar jendela dan menikmati gedung-gedung yang dilewati oleh kereta. Kalau boleh dibilang, salah satu kelebihan dari MRT jika dibandingkan dengan KRL adalah perjalanannya yang lebih “halus”. Jika misalnya pada saat naik kereta pengunjung sering dikagetkan dengan suara derit rem pada saat berhenti di stasiun, suara tersebut hampir sepenuhnya tidak ada pada MRT. Selain itu, pada saat awal keberangkatan dari tiap stasiunnya, penumpang tidak terlalu banyak “bergoyang” karena percepatan kereta, yang seringkali jika di KRL membuat pengunjung kehilangan keseimbangan.

Sesampainya di stasiun Lebak Bulus, saya dan Nabil berpamitan dengan Nayla. Kami berdua pun melanjutkan perjalanan kembali ke stasiun Bundaran HI. Akan tetapi, sesampainya di Bundaran HI kami sempat tidak bisa melakukan tap out pada gerbang. Awalnya kami mengira bahwa saldo di kartu kami kurang. Namun ternyata, setelah diperiksa oleh petugas, barulah kami tahu bahwa ternyata tidak bisa melakukan tap in dan tap out di stasiun yang sama saat keberangkatan. Kami pun naik kereta sekali lagi, dan turun di stasiun Dukuh Atas.

Sekarang saya mengerti mengapa teman-teman saya yang lain begitu antusias mengunggah berbagai foto mereka yang sedang naik MRT di media sosial. Tampilan stasiun, kereta, dan suasana yang dihadirkan di MRT memang menampilkan berbagai “kebaruan” dalam pengalaman bertransportasi bagi penumpangnya.

Memang pada dasarnya MRT tidak lebih dari sekadar alternatif moda transportasi untuk memudahkan perpindahan penumpangnya. Namun, dari pengalaman pertama mencoba naik MRT ini timbul kebanggaan sendiri akan moda transportasi yang disediakan oleh pemerintah.

Semoga berbagai angkutan umum yang ada di Jakarta bisa memiliki fasilitas baru yang sama dengan MRT, sehingga rasa “kebaruan” tersebut juga bisa dirasakan secara merata di berbagai moda transportasi yang ada di Ibukota.

Gianluigi Fahrezi, mahasiswa Jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta