Aku, Kau dan Insecurity

58
583

Insecurity menghampiri dan menyebar membubuhi diri. Tepat, di ruangan berukuran 4×4 meter persegi seorang gadis merenung sejak dua jam lalu. Helaan nafas beberapa kali terdengar. Mungkin sesak hampir membunuhnya, menjalar di sepanjang aliran nadi. Memporak-porandakan batin dengan ganas. Bersandar di balik dinding dekat sudut pintu kamar. Lalu, ia berbaring di atas kasur menatap langit-langit putih.

Kemudian, meraih ponsel pintar miliknya. Membuka beberapa akun sosial media secara bergantian. Bukan ketenangan setelah berdiam berjam-jam. Ia justru menangis sesenggukkan. Sembari berkata, “Semesta, mengapa aku kembali sesak?”.
Kepercayaan dirinya runtuh memandang sekitar. Tatapannya kosong meniti setiap ilustrasi bayangan yang baru saja dilihat. “Oh, mengapa aku begini?” ujarnya menjauhkan diri dari ponsel yang tadi dipakai melihat kehidupan orang lain.
Pencapaian orang lain di dunia, prestasi yang bagus, kedudukan menjulang, wajah rupawan, fasilitas mewah yang dimiliki, belum lagi perihal potret keluarga harmonis yang dipamerkan. Kehidupan yang terlihat mulus tanpa kerikil.
Insecurity kembali menyerang dirinya.
Membandingkan kehidupan ia antara satu manusia dengan manusia di luar sana. Menyakitkan tapi tak pelak hanya bisa ia resapi. Ribuan pertanyaan menyerbu bertubi-tubi. Irama tangis di tengah malam seperti nada melodi dari putaran lagu yang terus mengalun.
Terlihat cerah di saat bersama manusia lain. Namun, ia memang berhak lemah di depan dirinya sendiri. Tanpa mengatakan apapun, ia bangkit menopang dirinya. Rasa tidak percaya diri yang dipadukan beban kehidupan. Bak warna abu-abu bercampur hitam. Dalam pikiran, ia kembali beradu pendapat “Apa dunia mau menerima keluhan?”.
Keluhan kerap kali dianggap menjadi hal merepotkan. Maka, daripada memaparkan ia lebih suka diam merenungi. Cara ampuh mengobati yaitu menumpahkan segala sakit yang menghunus diri. Kini, ia bingung akan berbincang dengan siapa. Mungkinkah pada angin yang bergoyang di luar jendela atau di depan cermin pantulan dirinya.
Tak ada pilihan lain, meski seharian telah bersuara penuh gairah semangat. Saat ini, ia sedang berhembus memangkas timbunan rumput ilalang di dalam diri. Memikirkan masa depan, mengkhawatirkan kehidupan serta berargumen pada ketakutan. Seolah ia tak yakin bahwa dunia mampu menerimanya dengan baik.
Beranjak dari tempat tidur, ia menyalakan laptop. Membuka dokumen word, menuangkan kopi pahit dibalut rima puisi. Dengan lantang berkata, “Hidup sulit, jika hanya direnungi.” Benar, jiwanya bangkit menerima pembenaran.
Ia mulai sadar mentari tak selalu menyinari, bulan tak selalu datang mengunjungi. Keduanya saling melengkapi datang-pergi, seperti kesedihan dan kebahagian, hanya singgah tak sungguh menetap. Semua mempunyai porsi masing-masing.

 

Padahal, kebahagian di dunia tak selamanya menghampiri. Setiap manusia pasti pernah berkoar dalam kesedihan. Merasakan pedih, suram. Walaupun beda kadar disetiap bahagia dan sedih itu. Namun, cara bijak menghadapi insecurity adalah menerima. Lantas, bersyukur kepada Tuhan.

Rasanya selama hidup akan selalu ada insecurity secara berulang-ulang. Insecurity seharusnya menjadi penyemangat mengubah keadaan menjadi lebih baik, bukan justru memperburuk situasi. batin perempuan itu di tengah kegelapan malam, lalu menutup layar laptopnya.