Dukungan Dalam Diam

51
345

Katanya, menjadi pemimpin itu bukan dilahirkan tetapi di pelajari. Awalnya saya juga merasa begitu, hingga saya sadar menulis itu butuh bakat. Saya akhirnya menyadari itu setelah beberapa kali mengirim tulisan ke penerbit.

Pekan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Waktu terus berlalu namun tidak ada balasan. Bukan pertama kali tetapi ke sekian kali. Saya juga sudah lelah mengikuti seminar tentang menulis di mana-mana. Pelatihan berbayar dan gratis, pelatihan online dan offline semua saya ikuti. Namun, tidak ada hasil.

Rasanya seperti sebuah lagu semakin ku kejar, semakin kau jauh. Inikah juga hasil yang katanya tidak mengkhianati proses. Saya tidak mengerti bagaimana tulisan seseorang begitu menarik sementara saya tidak.

“Saya memang tidak bakat, Bay”

“Coba lagi, jangan menyerah”

“Bagaimana caranya ? Mungkin saya harus segera mencari pekerjaan lain”

Menulis ku anggap sebagai pekerjaan. Saya memang bukan jurusan sastra atau semacamnya yang berkaitan dengan menulis. Menulis telah menjadi bagian dari hidupku semenjak kecil. Hanya saja, tidak ada yang menyetujui ketika saya ingin melanjutkan kuliah di jurusan tersebut.

Katanya, jurusan kesehatan itu lebih bagus, memiliki prospek kerja yang bagus. Hingga dua tahun setelah lulus saya tidak pernah berminat mencari pekerjaan yang sesuai dengan pendidikan tersebut. Seringkali ceramah ku dapatkan karena keras kepala ini, namun saya tidak ingin lagi memperjuangkan yang bukan keinginanku. Jika begini ceritanya, sepertinya saya harus ikut jalur.

“Eh, Bay. Katamu kemarin di rumah sakit dekat kantormu ada lowongan kerja kan?”

“Oh iya itu, kenapa? Mau coba?”

“Saya rasa tidak ada salahnya, hidup harus realistis”

Saya mencoba menikmati segala prosedur yang harus saya ikuti. Ini hidup baru, perjuangan baru. Hinga akhirnya saya diterima kerja. Rasanya begitu mudah jalan untuk mendapatkan pekerjaan ini. Mungkin disinilah takdirku.

Semua mensyukuri keputusanku untuk bekerja. Ya tentu saja, masih ada ceramah yang selalu ada.

“Andai sejak dulu ya kamu bekerja”

“Ah, kamu memang keras kepala dari dulu”

“Untung ada Bayu yang bantu kamu, untung ya kamu ketemu dia. Kalau nggak, mau jadi apa kamu? Mungkin masih terus menulis tidak jelas”

“Sudahlah, kalau tidak bakat ya tidak perlu dipaksakan”

“Iya, iya, maaf bu, mbak, tante, pak”

Maaf menyelamatkanku kali ini. Saya harus fokus bekerja kali ini jika tidak ingin mendapatkan ceramah lagi. Manusia berencana, Tuhan yang merencanakan. Itulah hidup. Saya sungguh bingung, saya mulai fokus ketika email itu masuk.

“Selamat, naskah Anda kami terima”

Apa yang harus saya lakukan. Satu pesan yang membawa saya terbang sekaligus jatuh disaat bersamaan. Rasanya tidak jelas antara ingin bahagia atau sedih. Ingin ku abaikan, tapi ini sudah ku tunggu sejak lama.

“Bay, apa yang harus ku lakukam?”

“Urus saja keduanya, tidak apa. Saya yakin kamu bisa”

“Saya tidak ingin diceramahi atau dimarahi lagi”

Bukan, saya bukan tidak ingin diceramahi. Itu hal biasa bagiku. Tepatnya, saya tidak ingin mengecewakan mereka. Bayu yang membantuku mendapatkan pekerjaan, keluarga yang bahagia saya bekerja sesuai impian mereka. Namun, bagaimana dengan saya? Saya harus mencari jalan memenuhi keinginan semua orang.

Saya menerbitkan novel tersebut. Tanpa pertimbangan siapapun, tanpa diketahui siapapun. Novel tersebut bukan atas namaku. Beberapa minggu setelah menerima email, saya menemukan solusi tersebut. Menjadi penulis tanpa diketahui siapapun, termasuk acara launching buku.

Hal yang saya pelajari di kemudian hari, impian itu akan menemui jalan. Tidak selalu tepat waktu tapi di waktu yang tepat. Saya bisa tersenyum lega setelah ribuan kegagalan, ribuan percobaan, ribuan penolakan, ribuan kemarahan dan ribuan kekecewaan. Saya hampir lupa, restu orangtua adalah segalanya. Jika saya tetap keras kepala, mungkin hingga saat ini saya masih belum berhasil mewujudkan mimpi saya.

Impian saya atau impian orangtua. Itu bukan pilihan, keduanya harus diperjuangkan. Kini saya duduk manis di ruangan pribadi saya menunggu detik-detik buku saya beredar di luar sana. Aku mulai mencintai keduanya, pekerjaan ini dan menulis. Keduanya bisa berjalan berdampingan dan hal terpenting tidak ada lagi perdebatan di rumah.

“Bay, dimana? Makan siang yuk”

“Mau sih tapi lagi dikurung kerjaan nih, sori”

Hari ini seharusnya acara launching buku dan sebagai gantinya saya hanya akan makan siang bersama dengan tim penerbit. Hal ini sebagai salah satu bentuk apresiasi dan perayaan karena telah berhasil menerbitkan buku. Itu juga alasanku ingin mengajak bayu makan siang untuk memberitahukan segalanya. Sebelum keluarga, saya butuh Bayu menjadi perisai untuk kejujuran saya di hadapan mereka.

Namun, alangkah terkejutnya saya ketika masuk ke dalam ruangan dan menemukan keluargaku di sana termasuk Bayu. Mereka lalu  memelukku erat dan mengatakan selamat. Entah siapa yang memberitahu mereka. Mungkin benar, tidak ada yang bisa disembunyikan dari orang terdekat apalagi keluarga. Satu yang pasti saya bahagia.

Nama saya akhirnya tertulis di sampul sebuah buku.

 

Andi Pramesti Ningsih