Ramai jalanan Depok, gue susuri untuk pertama kali waktu itu. Ngasih banyak pengalaman, dan jutaan kenangan. Doni salah satunya. Gue yang biasanya bilang “aku” jadi menyebut diri sebagai “gue” menyesuaikan diri pada lingkungan yang mayoritas demikian, karena kadang gue ogah dibilang kampungan.
Deni, tapi sering gue panggil Doni lebih tua dua tahun dari gue. Dan gue, Indra, belum genap setahun bersahabat. Di terminal Depok, kami sering bertemu, akhirnya saling sapa, dan merasa senasib.
Kemudian gue lupa, gimana kita bisa seakrab sekarang. Gue lupa bahwa diantara kita harusnya ada persaingan, mengingat dua pengamen jika berada ditempat yang sama, akan ada semacam pengurangan penghasilan. Tapi dia terlalu welcome sama gue.
Tidak mempermasalahkan kedatangan gue yang baru, dan bagi yang lain mungkin mengganggu. Bagi gue, Doni sudah seperti kakak di tempat ini. Siang dan malam, gue sama Doni selalu sama-sama. Bahkan buat ke wc, kita barengan, karena kudu bayar. Tapi kita lebih sering di Masjid Raya Depok buat mandi, dan bebersih badan, sekalian ibadah.
Tentu saja tetep bareng, karena harus bergantian menjaga barang berharga yang kita punya, tas berisi dua pasang baju dekil, dan alat mandi. Gue kadang-kadang harus menunggu baju kering hanya dengan pakaian khusus gue, celana bokser. Ya, gue cuma bawa baju dua pasang dari rumah. Kadang-kadang kalo bosen, tukeran sama Doni.
Doni, adalah pecinta buku, koran, dan segala bacaan yang bisa ia baca. Berbeda denganku. Yang ketika mau tidur dikolong jembatan. Tinggal meleberkan kardus, melapisinya dengan koran, dan tidur di atasnya tanpa kepikiran melihat isi tulisan dalam koran lebar yang gue gunakan sebagai alas. Dia bakal baca koran bekas itu hingga dirasakannya puas sebelum menidurinya.
Cuaca agak panas hari ini, sekitar pukul duabelas lebih, Doni berjalan santai menghampiriku, membawa serta kresek hitam yang tak ku tahu isinya apa
“Neh, buat elu”
“Apaan ni”
“udah, lo nggak usah banyak nanya.”
Gue mengamati isi kresek hitam yang ia berikan. “Busyet deh, lo dapet ini dari mana?”
“Mau apa kagak sih, kalo mau ya ngga usah nanya.”
“Ih, Elu kok sekarang sensitive banget?”
“Masa bodolah”
Aku memakan roti kecil, yang asing rasanya. Tapi aku menyukainya. Sembari menoleh kepada Doni, yang semenjak datang nampak gelisah. Bersamaan dengan itu, dia menoleh.
”Apa sih, liatinnya gitu!” Matanya agak sinis, sadis. Agak kejam, memang, tapi dia selalu jujur dengan apa yang ia pikirkan. Memang saat bersama denganku, dia sering ceplos tak terkendali. Dan aku tak mempermasalahkannya.
“Ya, cuma mau nanya lagi soal ini”. Aku mengarahkannya untuk memandang roti yang telah ku gigit sedikit.
“Haddeh, capek yah. Ngasih makan orang kayak elu. Pake di interogasi sagala”
“Kan, sekedar nanya, bukan interogasi. Urusan elu mau jawab apa kagak sih terserah elu. Yang penting jangan pasang muka serem sama gue,” ucap gue sambil mencaplok habis roti yang tersisa.
“Haha, iya deh,”. Doni memukul pundak gue. ” Eh Ndra, kamu tahu ngga, gue habis dari mana?”
“Ya, mana tahu, dari tadi kan, nggak bilang elu dari mana?”
“Ya, besok elo ikut gue.”
Aku mengangguk, tanda setuju. Dia adalah kawanku menjalani hari-hari di jalanan. Menerjang kerasnya perantauan. Hari ini memang agak aneh, dia dan aku tidak pernah makan seenak itu.
Kadang-kadang makan nasi sama tempe saja kita kudu rebutan. Tapi kali ini, dia entah kerasukan setan sebelah mana, muncul dari gang, bawa makanan dengan kresek hitam berisi kresek brand ‘starbuks’ beserta roti dan kopi yang harganya nggak bisa kita beli pake duit ngamen selama seminggu. Bahkan dia tampak mengalah memberinya kepadaku tanpa harus berebut.
Hari selanjutnya, pagi sekali jam delapan, dia bangunin gue yang masih ngantuk berat. Dia membangunkanku tanpa memperdulikan kantuk yang gue derita, gue bangun dengan terpaksa.
Menggiring gue yang sempoyongan menahan kantuk ke WC umum, dia bawakan sabun. Kemudian ngajak gue ke warnet. Mengambil pesanan baju bekas yang ia pesan yang di atas namakan penjaga warnet.
Memberikannya beberapa potong pakaian bekas itu ke gue. Pakaian yang bagi gue terlalu mewah menempel di badan.
“Eh, lu udah mandi kan?”
“Ya, tadikan udah, lo gimana sih?”
“Idih, lupa gue ya? Nih, ganti baju, dekil!!”
Gue turuti keinginannya. Mengganti baju dekil, dengan baju yang di berikannya. Selang beberapa saat, ia membawa gue ke halte dengan busway tertulis transit menuju Jakarta. Entah dia akan membawa gue kemana.
Dia memang aneh beberapa hari belakangan, sering ngilang. Begitu terlihat di kolong jembatan tempat kita merebahkan badan, dia akan terlihat linglung, lesu, lelah, seperti baru ikut turnamen apalah.
Dia, bawa gue ke sebuah rumah mewah di Perumahan Pondok Indah. Memencet bel ketika sampai di depan gerbang sebuah rumah besar. seseorang menampakkan kepalanya dari balik gerbang.
“Hai bro, masuk” dia begitu ramah dan nampak bahagia ketemu sama Doni.
Gue dan Doni memelintasi gerbang, memasuki halaman sempit yang sesak dengan tanaman hias dan beberapa bumbu dapur. Indah sekali. Dan berhenti di sebuah ruangan yang sering di sebut orang ruang tamu.
Kami menghempaskan bokong di sofa empuk ruang tamu itu. Gue memainkan tangan dan memandang sekitar. Sesekali mendongakkan kepala ke dinding yang berhiaskan beberapa lukisan cantik.
“Eh, lo udah makan belum sih Den?” Si tuan rumah mebuyarkan keheningan kami.
“Oh, belum dong, kan kita ke sininya pagi banget, tapi tadi sempet macet, jadi telat”
“Oh, gitu. Makan dulu yook. Eh, lo bisa makan daging ham atau maling nggak sih?”
“Enggaklah, kita nggak makan itu”
“Oke, kalo gitu, emak gue cuma ada misoa di lemari. Loe bantuin gue masak ya, gue kebetulan belum makan juga sih. Baru bangun.”
Kemudian, mereka kayaknya pergi kedapur. Gue bengong, di tinggalkan mereka. Gue bisu, nggak tahu apa yang terjadi, gue merasa aneh sama Doni sekarang. Lagipula, semenjak kapan Doni berkawan dengan orang elite gitu? Dapat dari mana juga itu kawan barunya? gue jadi banyak tanya membinggungkan yang melayang di kepala.
Tapi di balik itu, gue menikmati nyamannya keadaan di sini. Di rumah ini, gue makan hingga kenyang, dengan nasi empuk hangat dari magicom. Satu hal yang sudah lama nggak gue rasakan semenjak jadi anak rantau yang kelantungan di jalan, dan melepaskan diri, mencoba berdikari dalam hal apapun tanpa orang tua.
Beberapa jam, kami dirumah mewah yang nggak pernah gue bayangin itu. Dan, Doni begitu bebas berpendapat tentang apa saja yang kawan barunya itu bicarakan, Doni selalu bisa menimpali, melempar balik jawaban dan memberikan beberapa pertanyaan.
Sesekali, mereka menertawakan ujung suatu topik yang mereka bahas. Gue mengamati, juga ikut tertawa ketika mereka tertawa (ya, gue menertawakan diri sendiri yang tak mengerti hal yang mereka bahas).
Dalam perjalanan pulang, di angkot gue memandangi Doni yang duduk berhadapan sama gue.
“Kenapa lo” Lagi-lagi, dia menerkam tatapan gue. Tapi kali ini gue diam, sampai kolong jembatan, gue masih diam. Diapun, tanpa gue minta, menjelaskan apa yang sebenarnya gue pengen denger dari dia.
Doni mengusapkan kedua tangannya ke muka. Menoleh kepadaku. Nampak bersiap menjelaskan sesuatu.
“Gue sekarang Kuliah Ndra. Makannya gue bisa kenal Koko Chan. Dan berapa hari belakangan ini guelebih sering ngilang. Lo tahu kan, Masjid Raya Depok, deket jalan Margonda itu? gue selama ini sekolah disana Ndra, gue dapet banyak hal di sana terutama dari pak Nur Rohim.
Gue nemenin lo nyanyi nggak jelas sampai malam hari sambil belajar dengan baca koran, atau buku bekas yang bentuknya udah nggak jelas, dan paginya sebelum lo bangun jam sebelas, gue ke masjid ikut kelas sekolah di sana.
Itu alasannya kenapa gue nggak pernah ada di sekitar lo saat lo bangun. Beberapa bulan lalu gue daftar bidik misi di universitas tertua negara kita di sebrang jalan tempat kita sering ngamen. Yang mahasiswanya pake jas kuning. Yang kadang darinya kita, mengharapkan pundi-pundinya.
Ternyata ketrima, gue jujur ga nyangka Ndra. Salah satu mimpi gue kecapai. Dan beberapa hari ini menjalani semacam MOS kalo disekolah, dan, koko Chandra, adalah salah satu senior yang pertama kali gue kenal.
Dia nampaknya tahu gue siapa, asal usul gue gimana. Dia minta gue buat tinggal di tempatnya. Kayaknya, kita bakal pisah lama deh Ndra. Dengan gini, gue nggak mungkin buat jadi pengamen terus disini. Gue juga pengen bermanfaat buat orang banyak Ndra.”
Gue cuma termenung mendengar penjelasannya, ya kita belum genap setahun menjalin persahabatan. Dan nampaknya, akan ada satu hal yang mengharuskan gue dan Doni tak lagi seperti dulu.
Angin sepoi menggerakkan rambut gue, gue mengikat kedua dengkul gue pake tangan. Kita duduk di trotoar menatap lalu lalang kendaraan.
“Ndra, suatu saat, gue bakal punya pajero, mini cooper, BMW, atau mobil bermerk wah yang nggak kita kenal merknya Ndra, elo juga Ndra. Dan, gue bakal keliling dunia, tanpa memakai biaya dari orang tua. Kalau perlu, gue bakal bawa mereka,”.
Dia nampak mantap berucap, gue menoleh padanya tersenyum getir membayangkan hari yang akan datang tanpa kawan yang satu ini. Malam itu, terakhir kali gue liat Doni, karena saat jam sebelas siang, saat gue bangun, doni dan seperangkat tasnya sudah tidak ada.
Tinggal buku tulis kusut yang biasa buat nulis Doni tentang kesehariannya. Di cover bukunya, menempel foto gedung-gedung bersejarah dunia, yang ingin dia kunjungi. Dari gambar ka’bah hingga Paris.
Gue buka buku itu, tiba-tiba gue ngerasa kehilangan. Dan, gue juga pengen hilang dari tempat ini. Kolong jembatan tak lagi menggairahkan setelah berpikir panjang. Gue mengunjungi sekolah Doni sebelum gue pulang ke kampung halaman gue di Wonosobo.
Ada hal yang merasuk ketika melihat sekolah “MASTER”, gue merasakan semangat Doni, ada hal yang tiba-tiba tumbuh dalam diri gue. Gue pengen kaya Doni, gue pengen jadi orang yang berpendidikan, yang luas pergaulan, yang tak merendahkan orang, yang mampu bersahabat dengan siapa saja, yang bercita-cita mulia dan gigih dalam menggapainya.
Dan pada halaman awal buku usangnya, tertulis “Indra, sorry. Gue nggak bisa nemenin elo kaya biasanya. Kapan-kapan ya, kalo gue nggak sibuk. hahaha……….” Dia agak sembrono memang,bahkan di saat seperti ini. Ia sertakan akun instangramnya. Dia pake Instagram, bahkan saat Instagram belum setenar sekarang.
Gue akhirnya pulang kampung, mengakhiri petualangan di jalanan. Gue kembali menyebut diri menjadi “aku”. Dan menjadi salah satu siswa “MANASA” demikian banyak orang menyebutnya, sekolah alam di Wonosobo.
Sekolah yang unik, dengan dinding bambunya yang nyentrik, yang berada di luar kelas dapat memandang yang di dalam, begitupun sebaliknya. Juga ditemukan dimana setiap sudut mata memandang, akan terlihat banner motivasi berbahasa inggris.
Suasana disana begitu damai. Berbeda dari yang lain. Hingga sekapangpun, menikmati hari-hari menyenangkan disana. Mengenal Pak Agus Sulistiyono, pak kepsek luar biasa yang tak pernah ada di tempat lain. Bahkan di sekolah Doni, di Depok. Tentu saja, setiap siswa menganggap tempatnya bersekolah baik baginya.
Comments are closed.