Mengenal Naufal Abshar, Seniman Muda yang Berprestasi

60
13220

Persepsi masyarakat tentang seniman harus diubah. Dahulu, seniman dinilai profesi yang kurang ”dipandang”. Zaman sekarang anggapan tersebut sudah tidak relevan. Hal itu disampaikan Naufal Abshar (27) saat dihubungi lewat panggilan whatsapp pada Kamis (21/05/2020).

Naufal merupakan seniman muda asal Bandung yang menjadi pemenang grafis desain album terbaik di ajang Anugrah Musik Indonesia 2019. Kolaborasinya bersama Kunto Aji dalam album Mantra-Mantra dinilai sukses.

Sebelum menggeluti profesinya. Suatu hari setamat SMA, ia berkunjung ke sebuah pameran. Ada satu lukisan yang menarik perhatian. Lukisan kunci kecil berwarna merah di tengah canvas besar. Ia sempat heran, kenapa lukisan sederhana bisa masuk pameran.

Pikirannya menjawab bahwa seni lukis tidak mengenal batasan. Ia meyakini karya mewakili banyak gagasan dan makna. Lukisan sederhana ini membulatkan tekadnya menekuni seni lukis.

“Seni enggak mengenal istilah benar-salah. Pohon bisa jadi warna merah, laut bisa jadi warna kuning, sesuai perspektif dan imajinasi pelukisnya. Itu yang membuat saya ingin menjadi seniman,” ujar Naufal.

Karyanya yang paling berkesan adalah lukisan seorang anak memegang piala. Anak itu mewakili dirinya. Sewaktu masih sekolah di taman kanak-kanak (TK), ia sering ikut lomba mengggambar, tapi tidak pernah menang.

Akhirnya ketika lomba di Bandung, ibunya memberikan piala harapan tiga. Ia merasa senang dan semakin termotivasi. Beberapa tahun lalu, baru terungkap bahwa itu piala replika dan sebenarnya ia kalah. “Kalo waktu itu saya enggak dapat piala, mungkin saya akan melepaskan mimpi ini,” jelasnya.

Apresiasi seni

Salah satu pameran yang diikuti Naufal. Foto: Dok. Pribadi Naufal Abshar.

Naufal pernah menggelar sekitar 50 pameran kelompok dan tiga pameran tunggal. Ia menilai, apresiasi seni di luar negeri lebih besar. Selaras tingginya edukasi seni yang mereka dapatkan. Dewasa ini apresiasi di Indonesia cukup baik. Terlihat dari ramainya pengunjung pameran tunggalnya pada tahun 2017 di Jakarta dan Art Fair 2019 di Yogyakarta.

Selain itu, mereka mengenal edukasi dan apresiasi seni sejak kecil. Orang tua kerap mengajak anaknya ke museum. Berbanding terbalik di Indonesia. Menurut dia, Indonesia belum memiliki museum seni yang bagus.

Dari segi edukasi, kurikulum seni di sekolah mengajarkan langsung praktik. Tanpa mempelajari sejarah seni, tokoh seniman besar, dan lukisan berpengaruh. Berdampak rendahnya tingkat apresiasi seni. Perbandingan apresiasinya sekitar 60:40.

Di luar negeri, mereka datang ke pameran untuk diskusi karya. Pameran menjadi ajang belajar dan observasi. Disini umumnya pengunjung datang untuk berfoto dan update di sosial media. Bahkan, tidak jarang menyentuh lukisan. Padahal, lukisan adalah benda sensitif yang tidak boleh dipegang.

Rendahnya edukasi seni melahirkan anggapan miring terhadap seniman. Profesi yang dinilai tanpa masa depan. Ia meyakini, hidup tanpa seni akan membosankan, sehingga seni memiliki peranan besar dalam kehidupan.

“Orang awam melihat seniman itu tidak punya masa depan, enggak tau kerjanya ngapain. Padahal negara maju memprioritaskan lima bidang fundamental, scientist, psychologist, mechanic, doctor, dan artist. Tapi kita mengesampingkan sisi keindahan,” ujar Naufal.

Prospek seni

“Zaman sekarang kita sudah terkoneksi, enggak harus dateng dari galeri ke galeri.  Sudah ada Instagram yang membuat kita terhubung satu sama lain. Tinggal giat membuat karya menarik, otentik, dan berbeda,” sambungnya.

Masyarakat sudah mulai sadar pentingnya seni dalam kehidupan. Banyak bermunculan perusahaan yang berkolaborasi dengan seniman. Untuk keperluan kampanye, promosi, dan celah kerjasama lainnya.

Prospek industri seni dinilai sangat menjanjikan. Ia mengakui bahwa seniman Indonesia termasuk salah satu seniman terbaik di Asia Tenggara. Kalau di Asia ketiga, setelah Cina dan Korea Selatan. Seniman kita disegani kehebatannya di luar negeri, tetapi minim publikasi.

Seniman sangat mungkin menjadi wirausaha. Ia menyebutnya sebagai artpreneur. Gabungan antara seni dan wirausaha. Naufal awalnya hanya berfokus di seni lukis. Selain transaksi lelang lukisan, ia mulai mengembangkan sayap pemasukan. Ia berkolaborasi membuat merchandise, pakaian, dan proyek platform digital.

“It very very promissing, if you think that will be promissing,” ujar Naufal.

Kesalahan fatal

Kebanyakan seniman tidak berkembang karena bersembunyi dibalik studio. Ia menyatakan hal tersebut tidak salah, tetapi jika ingin besar harus berani unjuk gigi.

Banyak seniman saat pameran, hanya menaruh lukisan, setelah itu pergi. Padahal pameran adalah waktu dan tempat seniman pamer, karya dan diri.

Idealnya, seniman berdiri disamping karyanya. Pameran merupakan ajang menambah relasi. Bisa bertemu seniman lain, pengunjung, atau kolektor. Seniman bisa aktif mengenalkan diri dan karyanya. Dari situ ia bisa mendapat apresiasi dan masukan kedepannya.

“Ada yang beranggapan biarkan karya berbicara sendiri. Lho, setiap orang punya interpretasi masing-masing kok. Disitulah seniman bisa menceritakan karyanya. Orang akan menilai bahwa seniman ini menguasai karyanya,” tambahnya.

Tips dan trik

Naufal sedang mempresentasikan karyanya. Foto: Dok. Pribadi Naufal Abshar.

Menurutnya, ada tiga hal yang harus diperhatikan sebelum terjun ke dunia seni. Pertama, kita harus mengetahui visi jangka panjang. Jangan sampai terjun di dunia seni, tapi tidak tahu ujunganya mau melakukan apa. Setelah punya tujuan, susun strategi untuk mencapainya. Ia meyakini bahwa sukses itu tidak kebetulan, sukses itu diciptakan.

Kedua, jangan menyerah. Ketika menemukan kegagalan, lakukan cara lainnya sampai kamu berhasil. Tokoh besar tidak ada yang sekali coba langsung berhasil. Setiap orang punya jalan dan waktunya masing-masing.

Ketiga, banyak melakukan riset. Supaya menambah referensi dan inspirasi. Dengan riset, kita bisa mengkombinasikan elemen-elemen terdahulu. Tapi, bukan plagiat, kita harus menciptakan formula sendiri. Mengingat sebenarnya tidak ada yang baru, hanya mengembangkan yang sudah ada.

Zaman sekarang seniman harus proaktif. Jangan hanya menunggu bola, harus menjemput bola. Mulai aja dulu, banyak melakukan eksperimen. Dengan mulai berproses, kita mulai berprogres.

Alwin Jalliyani, mahasiswa Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran Bandung