Mencintai Luka

48
3522

Setiap manusia pernah merasakan jatuh, tapi tak semua dapat menghadapinya dengan tangguh. Jatuh tak selalu menghantammu ke dasar. Justru jatuh cinta akan membawamu semakin kuat, tinggi, dan dapat belajar.

Itu adalah sepenggal kalimat yang pernah ku untaikan di masa remaja. Ketika aku masih percaya cinta akan membawa bahagia. Cinta akan membuatku digdaya, mengantarkanku pada nyaman paling istimewa. Sebelum akhirnya, kehilangan membimbingku pada hakekat cinta yang sesungguhnya.

Aku pernah menapaki manis cinta, saat aku dan seorang gadis saling mematrikan rasa. Ketika senyumku dan senyumnya menggelorakan gemuruh dalam dada. Saling bertatap muka, meski malu dan dengan sedikit lirikan mata. Hahaha. Hingga ku temukan dia dan hatinya dalam cinta yang sama.

Tatkala kuputuskan menyapu kunang di malam itu, mengajaknya ke Gazebo Rindu, ditemani petikan gitar nan syahdu, dan disitulah. Ku ungkapkan rasaku. Saat dua insan yang masih belum genap tujuhbelas. Saling bersua dan memuji paras.

Tiba – tiba mulutku bergumam, dan melontarkan rasa yang sedang meranggas. Detik itu juga, dia terhentak, terkejut mendapati aku nan penuh gugup menyatakan rasa. Lantas, rautnya tersipu. Bibir manisnya berkerut malu. Lentik matanya memaku. Tembam pipinya kemerah – merahan jambu.

“Intan, apa kau takut menolakku?, usah takut, aku takkan marah”
“Siapa yang takut?, hanya saja aku ragu?”
“Mengapa ragu?, bukankah aku telah memberimu kepastian?”
“Apakah ragu melulu tentang kepastian?, hehehe”
“Aku serius, Intan”, sahutku dengan tatapan canggung.
“Aku juga serius menerimamu”
“Tapi ada satu syarat yang harus kamu tempuh, Lintang”
“Apa itu, Intan?. aku pasti akan lakukan”
“Aku tak butuh apapun. Aku hanya minta, jangan pergi disaat aku benar–benar tulus mencintaimu”.
Dan, kita jadian di malam itu.

Kisah cinta kami bertahan lama. Dari yang dulu kami masih satu kelas. Hingga kini, kami yang hendak mencium bau universitas. Menempuh ilmu demi masa depan yang gemilang. Meski, kami harus ikhlas dengan perpisahan yang datang. Hingga pada akhirnya kami saling belajar, cinta tak selamanya tentang pertemuan.

Di stasiun kota, aku dan dirinya bertemu. Yang mungkin, untuk terakhir kalinya. Bersamanya, ku hanya bisa membendung tangis. Bukan karena ku lemah, tapi tanpanya temanku hanyalah resah.
“Sudahlah kamu jangan sedih,” seru Intan dengan nada lirih.
“Bagaimana tak sedih, sedangkan kau pergi dengan ketidakpastian. Kembali entah kapan. Dengan rasa yang masih sama, atau dengan rasa yang
berbeda?”
“Percayalah, jarak akan mencambukku dengan rindu,” ungkapku dengan nada terbata.
“Aku mencintaimu, Lintang. Dan percayalah, takkan ku biarkan jarak merenggut cinta kita”.

Dan pagi itu, adalah awal dari semua masalahku.

Entah bagaimana alam tetap bisa bersinergi, meski manusia selalu berambisi untuk menghabisi. Dan aku cemburu pada alam. Yang tetap mengasihi, meski selalu ditimpa luka dan tak pernah dihargai. Sama seperti perasaanku kini. Menikmati cinta tanpa pertemuan.
Menghargai cinta dengan kesendirian. Hatiku dahaga. Relungku keroncongan. Tapi kini, hanya rindu yang dapat kusantap.

Setelah enam minggu kepergiannya ke Semarang. Tak sepucuk pun kabar yang bisa ku dapatkan. Padahal, dia adalah wanita yang tak pernah luput memberiku perhatian.
Hingga setelah perpisahan itu. Perhatian padaku buntu. Aku benar – benar cemas.
Ya kalau boleh jujur, aku ingin mengungkap tabir bulan dan mentari. Meski dikala malam, bulan selalu dikelilingi bintang. Mengapa mentari masih saja memberikan sinar?.
Apa dia tak cemburu?. Hehehe. Aku heran.

Orang bilang, rindu itu adalah bumbu cinta. Yang paling nikmat dari rindu, adalah rasa saling percaya. Tapi kenapa aku malah digelayuti cemburu?. Dihantui kegelisahan yang menggebu . Apa berarti aku telah menistakan rasa ini?. Ku tak dapat melahirkan percaya dalam hati. Hingga hanya gelisah dan cemburu yang kudapati.

Jika hati adalah frasa, maka hanya ada kata “rindu” didalamnya. Jika hati ini rindu, maka berarti kamu yang sedang mengisi relung itu. Ku bilang, kini dunia sedang tak ramah.
Sebab dunia membiarkan dua cinta untuk terpisah. Namun aku tak se-lebay itu.

Meski sedikit, namun rasa percaya itu masih ada. Ku yakin, suatu saat dia akan kembali.
Membawa cinta yang serupa. Dan kita saling memuntahkan rindu. Membuang jauh cemburu. Dan itu semua, denganmu, Intan.

Aku t’lah gila membuai hati. Bahkan kehadirannya, sudah kujelma bagaikan denyut nadi. Terus menerus. Sampai tiga bulan setelah kepergiannya, aku masih digelayuti rindu.
Hingga aku lupa pada jati diriku. Aku yang dikenal tangguh menghadapi masalah, nyatanya kini diselimuti raut gelisah. Bukankah jarak itu hanya angka. Yang bisa kutambah, kurangi dan kubagi?.

Lantas, mengapa aku sibuk menghiperbolakan jarak yang seakan-akan membuatku mati. Aku begitu intens menafsirkan cinta, hingga ku lupa ada janji yang harus kujaga. Seberkian waktu sebelum perpisahan itu, dia pernah bilang padaku. Untuk tetap menjadi diriku. Tetaplah jadi aku yang tegar, karena ku punya banyak mimpi untuk dikejar.

Senja di sabtu ini terguyur hujan. Aku bersyukur, sebab whatsappku dipenuhi curhatan. Kawan – kawan ku tak bisa berkencan, dengan gadisnya malam ini. Dan seperti biasa, aku menyisipi malam dengan secangkir kopi.

Tiba – tiba kudengar dering ponselku menyapa. Kulihat dari Facebookku ada notifikasi yang tak terduga. Intan mengirimkan pesan. Awalnya aku tak percaya. Hingga ku buka dan benar itu dia, Intan Putri Cantika.

“Hai”. Cuitnya masuk di dinding Facebook ku.

Kami saling bersahut sapa. Seakan meluapkan segala rindu yang terpendam begitu lamanya. Dan aku mensyukuri itu, takkan ku biarkan dia pergi lagi dariku. Aku heran, harusnya aku menagih alasan dari tiadanya kabar selama ini. Tapi mengapa tak ku tanyakan? Huh.

Kami berbincang panjang di Facebook. Tiba – tiba, Intan memohon maaf padaku, atas nihil nya kabar selama ini untukku. Semudah itu aku melupakan rindu. Se-sederhana caraku setia, meski ia telah lama tak disampingku.

Aku bingung harus mengetik apa lagi, sebab aku tak biasa berbincang tanpa bertatap muka. Konyolnya diriku. Ku sampaikan padanya, kutulis pada secarik kertas “Aku rindu paras, dan kesempurnaan sikapmu”. Lalu ku potret dan ku persembahkan ke dinding Facebook-nya. Ku tandai dia, dan kita saling berbalas tawa di kolom komentar. Ha ha ha…

Rindu tak selamanya menjelmakan luka, kataku. Jika pun ada luka, saling percaya lah obatnya. Dan cinta itu sederhana, cemburu yang membuatnya rumit. Egoisme-lah yang melahirkan rasa sakit.

Malam minggu ku begitu cerah, meski diluar hujan begitu deras tercurah. Di mataku cintanya tak pernah berubah, hingga perasaanku akhirnya tak jadi patah. Jarak tak menjadi penghalang, justru ia melatihku untuk menjadi petualang. Kangen itu biasa, tapi saling percaya itu luar biasa.

Aku dan dia menghabiskan malam ini dengan panjang. Hingga tak ku sadari, waktu tlah menuju sepertiga malam. Hari t’lah berganti, dan dia masih setia menemani. Meski matanya lekas terkantuk-kantuk. Namun ku masih temukan kasih itu dari pelupuk. Ha ha ha.

Hujan lekas reda. Dan aku baru sadar. Bahwa usaha melupakannya, hanyalah
fatamorgana. Namun sepertinya, rinduku akan ter-reinkarnasi. Sebab masih belum jelas, kapan Intan akan kembali. Tiba – tiba Intan menelponku.

“Lintang, kamu besok sibuk nggak. Gimana kalau besok kita bertemu di Gazebo Rindu jam 7 malam?,” tanya Intan.
“Loh, kamu sudah di Blitar?. Baiklah kalau begitu, besok aku akan menjemputmu jam 7,” jawabku
“Tak perlu dijemput, kamu langsung kesana saja. Ya udah ya, aku mau tidur. Selamat malam, Lintang”.

“Jangan buat dia terluka, atau saya akan kembali dan mengajarkan kepada Anda, Arti luka yang sesungguhnya”.

Dari sini tumbuhlah keraguanku. Sikapnya yang kini, membuatku tiba–tiba takut kehilangan dia dari pelukanku. Namun sebisa mungkin aku harus tetap berfikir positif. Antusias, esok akan menjadi hari spesial bagiku.

Desir angin malam merayu tubuh, cahaya bulan menghangatkan badan. Bintang – bintang dengan gagah bertenggeran. Gelap langit menggelayuti sekitaran. Namun, suasana di Gazebo Rindu membuatku nyaman. Bukan karena hiasan maupun lezatnya hidangan. Tapi tentang kenangan masa remajaku, disaat pertama kali aku berani ungkapkan perasaan.

Aku terlampau bersemangat, hingga tak ku sadari datangku terlalu cepat. “Sorry Lintang, aku telat,” suara Intan berjalan dari selatan bersama sosok lelaki yang asing di mataku.

Mataku tajam menatap sesosok lelaki itu. Aku belum pernah mengenal lelaki itu sebelumnya. “Tan… Ini siapa ?,” tatapku kosong ke arah mata lelaki itu.
“Duduklah. Aku akan jelaskan.”
“Jadi, dia ini Hatta anaknya Om Darwis. Teman papaku”.
“Tapi, kenapa kamu ajak dia kesini?”, tanyaku gelisah.

“Sebenarnya, selama ini aku…”
“Aku pergi ke Semarang demi melaksanakan perintah papaku untuk bertunangan dengan Hatta. Maafkan aku, Lintang… Aku tak bisa menolak perintah papaku”.
“Maaf?… Untuk apa maaf?….”
“Harusnya, aku yang meminta maaf… Karena aku telah mencintaimu sepenuh hati. Merindukanmu lama, dari awal kepergianmu hingga kini. Mengharapkanmu sebegitu dahsyatnya. Dan, aku juga berterimakasih. Atas luka abadi yang telah kau lekasi detik ini, terimakasih telah membuat aku merindukanmu setiap saat, dan gelisah setiap waktu… “, tegasku dengan air mata yang tak kuasa lagi kubendung.
“Lintang… Tapi….” , Intan pun tak kuasa menahan air di pelupuk matanya.

“Anda”, mataku tajam memandang lelaki itu.
“Saya minta pada Anda, jaga Intan dengan sepenuh hati dan jiwa anda. Dia akan nyaman dengan perhatian, jadi jangan pernah meninggalkan dia. Selamat, Anda ditakdirkan Tuhan untuk menjadi pemenang atas hati dan paras cantiknya. Jangan buat dia terluka, atau saya akan kembali dan mengajarkan kepada Anda. Arti luka yang sesungguhnya”.

“Maafkan aku, Lintang. Aku tak pernah bilang padamu tentang hal ini, sebelumnya. Aku tahu kamu tulus mencintaiku. Maka dari itu, aku tak tega melihatmu terluka,” sahut Intan dengan nada terbata-bata.

“Aku akan lebih terluka. Ketika kamu tak pernah mau menceritakannya. Kamu kenal aku sebagai lelaki yang tegar. Maka jangan khawatirkan aku”. Dan aku pun beranjak pergi dari Gazebo Rindu. Meninggalkan semua hal yang sempat ku banggakan, sebelum akhirnya segala tentang itu menjelma sebagai kenangan.

Sesederhana inikah akhir cintaku?. Semudah itukah menghilangkan rasa?.
Dulu, aku fikir dia adalah kekasih sempurnaku. Yang takkan mudah berpaling dan mengkandaskan harapku. Namun nyatanya, seluruh persepsiku hanyalah semu.

Sialan. Andai, dulu aku tak jatuh cinta. Aku takkan merasakan sakit yang kini ku tempuh perihnya. Merasakan getir dari kepergian, terpuruk dari tingginya harapan.
Terhantam sepi melawan pelik, tertimpa derita yang tak dapat ku tampik. Andai ku bisa membuat takdir. Aku akan membuat perpisahan ini binasa. Agar ku bisa, temui dia selamanya. Agar hatiku tak hancur berkeping – keping. Biar cintaku tak pernah kau anggap asing.

Aku lebih suka terpisah oleh jarak, dan merasakan rindu. Daripada harus patah, dan terpisah abadi oleh waktu. Bagiku, lebih nikmat mencintai diantara jarak yang membentang. Daripada terciptanya luka, diantara cinta yang tersekat oleh kenang.

Sesal. Harusnya, masa depan dia untukku. Senyum manisnya menawan mataku. Lembut tangannya memeluk erat tubuhku. Hati dan cintanya menghantam keras, tusuk relungku. Dan harusnya, dia kini milikku. Sebelum aku dipaksa untuk melupakan. Cintaku diberhentikan. Rinduku dimakzulkan. Dan segalanya menjadi kenangan.

Dan kini ku tak dapat temui senyum itu. Bahkan untuk singgah, cinta kita tak lagi punya marwah. Serta untuk melupakanmu, itu tak semudah caramu mengkandaskan cintaku. Tak segampang merasakan rindu. Lebih sakit dari cemburu. Lebih ganas dari gelisah. Sebab untuk melupa, ku harus mengusik hati yang t’lah patah.

Sebab aku ini lelaki tangguh, Yang takkan menangis ketika siapapun merobek jantung dan kulitku

Kini, ku hanya dapat mengungkit memori. Meski daku tak punya hak untuk mengulanginya kembali. Hanya dapat menemuinya dalam ingatan, berjumpa dalam kenangan. Sulit memang bertahan dalam duka yang tak berkesudahan. Terpenjara oleh perkataan. Temaram dalam perpisahan. Larut bersama perih yang mendalam. Kalau memang ini menjadi pilihan terbaik dari Tuhan. Aku rela, menobatkan derita ini sebagai teman.

Harusnya, malam ini membahagiakan. Seandainya kita tak berjumpa perpisahan. Seandainya kita tak tersekat menjadi aku dan kamu. Dan seandainya, kau tak egois dengan caramu. Tepat satu tahun setelah dua rasa tercurah, sebelum akhirnya jarak memaksa keduanya untuk saling patah. Kunikmati coklat hangat ini berdua. Ya, bersama bayanganku.

Ku jelajahi siang, langit tak secerah biasanya. Sebab, awan menghalangi binar surya.
Ku pandang malam, bulan tak nampak bulat seperti biasanya. Karena, bayang bumi membias hingga menutupi cahyanya.

Ku tapaki hatiku, yang katanya menjadi tempat bernaung paling nyaman. Nyatanya, hatiku sedang tak karuan. Sebab,luka ini meresistansi dua hati yang saling berjauhan. Aku disini. Dan Intan, di pelukan lelaki pilihan Ayahnya.

Akhirnya, ku mulai untuk mendapati lupa. Mencoba untuk lekas bertahan tanpa hadirnya. Meski sulit, meski pelik. Namun ku yakin suatu saat akan terbiasa. Sebab aku ini lelaki tangguh. Yang takkan menangis ketika siapapun merobek jantung dan kulitku. Tapi aku akan lemah, saat dia biarkan hati ini untuk patah.

Tak ada lagi yang bisa ku andalkan, tak ada yang dapat ku sesalkan. Yang ku bisa lakukan , hanyalah pasrah pada keadaan. Dan saya sangat yakin, ini adalah petuah tersirat dari Tuhan.

Yang mengajarkanku, untuk tidak terlalu keras dalam merindu. Tak perlu lantang dalam harap. Tak usah berlebih dalam mencintai. Sebab pasti, Sang Maha Cinta tahu. Kemana panah cinta dihatimu akan melesat. Dan Tuhan mengisyaratkan itu melalui, KEHILANGAN.

…..

“Hujan hanyalah tentang dua hal. Tentang yang jatuh untuk memberi, dan yang menerima untuk disyukuri. Jadi, tidak ada kata kenangan dalam hujan. Sebab kenangan hanya sebatas alasan, dikala kamu lemah dan tak mampu melupakan”.

“Pertemuan hanya akan mengajarkanmu tentang kebahagiaan sejenak. Namun, perpisahan akan mengajarkanmu untuk menghargai pertemuan dengan bijak”.

“Awalnya, melupakan itu mudah. Sebelum kamu pergi dan memintaku untuk pasrah”. “Dibalik hubungan yang bertahan lama. Ada dua hati yang saling erat menjaga”.

“Pertemuan kita melahirkan cinta. Yang kita rasakan, dan nikmati riuh nya berdua. Namun, ketika perpisahan datang menciptakan luka. Mengapa aku sendiri yang merasakanya?”.

…..

Catatan :

Resistansi : Kemampuan menghambat dalam kadar tertentu.
Filantropi : (bahasa Yunani:Philein berarti cinta,dan anthropos berarti manusia).

Rizky Saputra