Terima kasih, Korona

0
197

Sudah sejak awal Januari tahun 2020, virus korona mulai muncul di kota Wuhan, provinsi Hubei, Tiongkok. Sudah sejak awal Maret, Indonesia terkena dampak virus yang sudah menyerang lebih dari 160 negara. Hal ini menjadi mimpi buruk bagi dunia.

Pandemi itu, menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) per 23 Maret 2020, sudah menyebar ke 187 negara dan menginfeksi 294.110 warga dunia, mengakibatkan 12.944 orang meninggal dunia. Perekonomian di banyak negara menukik tajam, berbagai macam pertandingan olahraga harus ditunda, dan beberapa negara harus mengisolasi (lockdown) seluruh wilayah negaranya.

Virus yang tidak mengenal ras, golongan, suku, agama tersebut sudah menyerang berbagai macam golongan orang. Mulai dari artis, pejabat negara, bahkan olahragawan yang terkenal akan fisik yang prima juga ikutan terkena virus ini. Akibatnya banyak negara memutuskan ratusan juta pelajar di seluruh dunia harus belajar secara daring dari rumah.

Lalu untuk apa kita berterimakasih kepadanya ? Ada pepatah mengatakan, watak asli seseorang terlihat ketika ia mendapati sebuah perkara, dan tekanan menimpa dirinya. Virus korona memperlihatkan kita bagaimana watak asli negara-negara yang sedang berjuang menghadapi pandemi ini.

China bersorak “Ayo Wuhan, kamu pasti bisa”. Italia dengan protokol lockdown yang sedang dilaksanakan tetap bermain alat musik di atap rumah-rumah mereka sambil saling mendukung satu dengan yang lain. Korsel dengan pengecekan drive-thru yang ditempatkan di berbagai sudut kota dapat mengendalikan wabah pandemi ini.

Indonesia? terjadi kepanikan pada masyarakat lalu memborong barang mulai masker, hand sanitiazer dan barang kebutuhan pokok, rumah sakit tidak mau menerima pasien yang diduga terkena korona karena takut jumlah pasien yang berkurang, hoaks dimana-mana, persentase pasien korona yang meninggal dunia tertinggi di Asia, dibanding jumlah penderita.

Inikah watak asli negara kita yang menjunjung tinggi keberagaman dan gotong royong dalam ideologinya? Mari kita refleksikan bersama. Berkat wabah ini pula, dunia juga sedang beristirahat sejenak dari kegiatan sehariannya, melihat kembali dan dalam keheningan lockdown dan isolasi merenungkannya.

Bagaimana tidak, dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi yang ada, dunia menjadi ajang perjumpaan maya yang melupakan bagaimana hangatnya perjumpaan dengan tatap mata. Media sosial jadi ajang kontroversial, agar bisa terkenal namun sarat akan nilai. Tiktok menjadi ajang pembuktian eksistensi diri dengan menaikkan gengsi diri, bahkan syahwat orang yang menonton.

Mari kawan, lihatlah dalam hening isolasi, dalam hening lockdown, apa saja yang korona bisa berikan kepada kita. Egosentrisme sedang menginvasi kita. Apakah kita masih memiliki hati untuk bersimpati, bahkan berempati untuk menghadapi wabah ganas ini? Mari kita bersatu, dan kita ingat kembali Pancasila, dasar negara kita yang menjunjung gotong royong dan keberagaman. Hanya dengan kesatuan kita bisa, bersama melalui pandemi ini.

Feliks Erasmus Arga, siswa SMA Seminari Mertoyudan Magelang, Jawa Tengah dan magangers Kompas Muda Harian Kompas 

Previous articleKakak
Next articleMencintai Luka
Seorang Skolastik Jesuit yang sedang menjadi mahasiswa filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta. Aktif sebagai anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan pembina Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) di Pastoran Mahasiswa Keuskupan Agung Jakarta (PMKAJ) Unit Selatan