Kompas/Wawan Prabowo

Bibir berwarna putih, muka pucat dan badan terkujur lemas dalam selimut berwarna hijau tosca itu. Aku duduk di kursi yang tidak nyaman itu. Merebahkan badanku ke ranjang tempat malaikatku berada. Tatapan penuh harapan dan genggaman penuh kepercayaan kepada wajah murah hati itu bahwa ia akan bangun sebentar lagi dalam hitungan 60 detik… yang berakhir pada kesedihan atas harapan bodoh itu sendiri.

Aku merasa tak berdaya, bodoh, dan tak dapat diandalkan. Berusia 16 tahun tidak membuatku dapat melakukan apapun untuk membantu seseorang yang telah merawatku dalam kasih sayang. Rambut putih bercampur hitam yang menjadikannya seperti abu-abu ini mengingatkanku pada umurnya yang sudah tak muda lagi. Wanita dengan angka awal umur 6 ini lah yang menjadi teladanku selama 16 tahun.

Nenek Ainun adalah wanita yang sangat kuat dan tegar dari tahun kelahirannya, aku percaya. Kepribadiannya, cara dia bertindak dalam permasalahan, dan segala sesuatu tentang dirinya adalah 100 hal sendiri yang kukagumi dari dirinya. Nenek selalu mengajarkanku untuk menjadi rendah hati dan selalu berpikir bijak dalam menyelesaikan masalah, dan aku dengan bodohnya percaya 100 persen bahwa aku akan selalu bisa menyeselesaikan segala masalah kehidupanku dengan nenek di sampingku.

Kehidupan ini tentang aku dan nenek melawan dunia! Padahal, nenek bisa pergi dan kembali ke surga kapanpun dan mungkin tidak lama dengan sel-sel kanker yang berusaha menggerogoti tubuh indahnya. Aku selalu ingat sentuhan lembut nenek dalam memegangku saat mengajarkan cara berjalan. Cara nenek mengajariku dengan nasihat-nasihat yang penuh kesabaran. Kehangatan pelukan nenek di saat aku menggigil kedinginan akan kejamnya malam di Jakarta dalam rumah kecil milik kita berdua, dan ciuman yang tidak ada habisnya diberikan nenek kepadaku. Betapa nenek mencintaiku, dan aku mencintainya.

Orangtuaku membenci nenek karena mempertahankan bayi kecil tak berdaya yang hampir mereka buang. Pembelaan sekokoh Tembok Cina dibangun olehnya demi diriku.

Dulu, aku juga memiliki seorang kakek. Namanya Kakek Dilan dan aku sangat kagum terhadapnya. Meskipun aku tidak pernah bertemu dengannya, cara nenek menceritakan bagaimana kakek adalah seorang pejuang bangsa Indonesia yang ambisius, tidak mengalahkan cerita nenek bahwa kakek yang bukan hanya penjuang bangsa, melainkan pejuang cinta nenek.

Kakek meninggal tahun 1940, tepat 5 tahun sebelum kemerdekaan. Paling tidak, kakek meninggal bukan untuk sesuatu yang sia-sia. Kakek meninggal untuk sesuatu yang ia yakini, itulah yang membuat aku bangga memiliki kakek sepertinya. Saat kakek meninggal, nenek diberikan sejumlah uang sebagai ucapan terima kasih atas jasa kakek terhadap bangsa ini.

Nenek tidak pernah peduli akan uang yang ia dapatkan karena berapa pun uang yang ia dapatkan, tak akan bisa menggantikan pasangan hidupnya. Maka dari itu uang tersebut hanya ia simpan dan tidak pernah sekalipun disentuh olehnya, karena dengan meninggalnya Kakek Dilan, itu membuat nenek Ainun begitu tersiksa. Sampai akhirnya aku muncul sebagai cucu baginya! Nenek begitu terbuka tentang kehidupannya kepadaku. Nenek tidak pernah menganggapku sebagai anak kecil yang tidak mengerti apa-apa dalam hal bercerita kehidupan. Sebaliknya, nenek memperlakukanku bagaikan seseorang yang cukup dewasa untuk mengerti percintaan dan sulitnya kehidupan dalam masa itu.

Orangtuaku membenci nenek karena mempertahankan bayi kecil tak berdaya yang hampir mereka buang. Pembelaan sekokoh Tembok Cina dibangun olehnya demi diriku. Pembelaan untuk orangtua yang tidak menginginkan bayi yang telah mereka lahirkan. Semua terasa menyedihkan, tetapi indah pada saat yang bersamaan mengetahui ada yang membela diriku yang tak berdaya saat itu.

Nenek membuat sebuah perjanjian kepada anaknya sendiri, bahwa ia akan merawatku dan tidak akan meminta bantuan apapun dari anaknya itu. Entah apa yang nenek pikirkan, meskipun akulah darah dagingnya, untuk apa membela sebuah jiwa yang bahkan belum dikenalnya? Dan sekarang, nenek sedang menderita kanker darah putih atau yang biasa disebut leukemia. Maaf, tetapi aku tidak dapat menjelaskan tentang penyakit nenek, bukannya aku tidak mau, tetapi penjelasan dokter tidak ada yang dapat aku pahami lebih lagi selain, “Kami sudah berbuat semua yang kami bisa, tetapi nenekmu tidak tertolong.”

Inginku curi uang orang egois dalam dunia ini, dan kupakai demi perawatan terbaik bagi nenek.

Apa-apaan? Untuk apa ada rumah sakit apabila tidak bisa membantu orang sakit? Jika nenek saya masih tertidur dalam koma dalam penyakitnya, itu berarti, Anda belum melakukan semua yang Anda bisa! Itu berarti Anda tidak ada gunanya di dunia ini! Untuk apa Anda mendapat ilmu kedokteran selama bertahun-tahun lamanya dan mendapatkan dua huruf pernyataan gelar di depan namamu, jika Anda tidak bisa membantu nenek saya yang sakit? Untuk apa sebuah profesi dokter diciptakan apabila tidak bisa membantu orang yang sakit? UNTUK APA? Rasanya uang ucapan terima kasih Kakek Dilan yang terpaksa aku pakai untuk perawatan nenek kali ini terbuang sia-sia.

Beribu-ribu pertanyaan tanpa logika muncul dalam kepalaku penuh emosi jiwa. Api kemarahan dan kekecewaanku pun berkobar-kobar. Aku tidak dapat menahan semua perasaan yang bercampur aduk dalam tubuhku. Aku benci rumah sakit. Aku benci orang-orang yang tidak membantu nenekku. Aku benci segala sesuatu yang ada di dunia ini yang tidak berguna apa pun untuk nenek. Inginku pergi dan lari ke ujung dunia, mencari jawaban untuk penyakit nenek. Menurutku, semua penyakit yang ada, pasti memiliki obat untuk memulihkannya. Sama saja seperti permasalahan dalam dunia, pasti memiliki jalan keluar untuk menyelesaikannya. Inginku curi uang orang egois dalam dunia ini, dan kupakai demi perawatan terbaik bagi nenek. Semuanya hanya keinginanku yang tak tercapai. Keinginan dan kebodohan dalam menghalalkan segala cara demi mendapatkan nenek yang sehat kembali seperti dahulu.

Aku hanya seorang remaja 16 tahun, yang belum bisa mencari uang, untuk segala perawatan medis Nenek yang tidak murah harganya. Hingga pada 5 Mei 2016, tepat pukul 18.00 Waktu Indonesia Barat, Tuhan mengambil jiwa paling suci yang pernah kukenal, nenek akhirnya dinyatakan meninggal dunia. Aku hanya dapat memeluk tubuh dingin dan kaku tanpa nyawa itu dan mengulang semua kenangan indahku bersama nenek sambal mengucap terima kasih dalam hatiku. Terima kasih ini berawal dengan terima kasih kepada pembelaan kokoh nenek kepadaku yang tak berdaya, terima kasih atas semua yang telah nenek berikan ajarkan kepadaku. Terima kasih telah memberikanku kesempatan untuk merasakan semua ini, dan terakhir terima kasih telah menjadi Malaikatku selama ini. Selamat tinggal, Malaikatku.