Sepotong Kue Ulang Tahun Terakhir

0
1960

“Kinara, hari ini hari apa?” ujar seseorang di depanku.

Dengan lantang tanpa rasa ragu aku menjawab “Hari ulang tahunmu, Biru.”

Tak berselang tawa Biru pecah, seperti melodi yang menyibak mentari pagi ini. Biru, mungkin berpikir aku lupa. Tapi, mana mungkin aku melupakan hari kelahiran teman kecilku itu. Apalagi kami sudah diperkenalkan saat berusia 2 tahun. Belum lagi tanggal ulang tahun aku dan Biru hanya berbeda satu hari.

“Kamu terlalu pintar, Nara.” Biru mengeluarkan sesuatu dari balik tas ransel yang ia bawa. Tas yang sudah melekat sejak menyusuri bukit. Hingga tiba di rumah pohon milik Biru, hadiah dari orang tuanya karena Biru meraih peringkat pertama di kelas.

Dengan senyuman yang masih bertengger di lesung pipinya, ia menyodorkan sebuah kotak makan berwarna biru polos “Ini kupersembahkan sepotong kue ulang tahun untuk Kinara.”

“Terima kasih, Biru.” Aku langsung membuka tutup makan yang terpasang.

Biru selalu saja memberikan aku kue ulang tahunnya setiap tahun, secara berulang. “Biru, mengapa kau selalu memberikan aku kue ulang tahunmu?”

Tanpa berpikir lama, ia mengatakan “Karena aku ingin kau ikut menikmatinya.”

Dengan nada lemah sembari memandang Biru aku berujar dengan suara redup. “Tapi Biru, aku tak membawa kado. Kau juga tahu Biru, orang tuaku tak pernah membelikanku kue ulang tahun. Bagaimana cara aku membalas memberikanmu kue ?”

“Nara, kau tak perlu memberikan aku apapun. Kinara adalah kado terindah yang pernah ada.” Biru suka sekali membuat kupu-kupu dalam perutku berterbangan. Aku tersipu malu di hadapannya.

Berganti aku memberi Biru pertanyaan, “Biru, kau tahu besok hari apa?”

“Tentu aku tahu, Nara. Pada tanggal 29 September seorang bidadari cantik bernama Kinara diturunkan ke bumi oleh semesta.”

“Biru, cukup…kau terlalu berlebihan.” Kataku pura-pura kesal sekaligus senang.

“Wajahmu memerah, Nara. Kau baik-baik saja?”

Dengan kondisi masih sedikit kesal aku mengalihkan pembicaraan dengan mengajak Biru bermain saja. “Ah, sudah aku malu. Lebih baik keluarkan monopoli milikmu Biru.”

Biru sibuk mencari benda yang kusebutkan tadi. Tapi, lama sekali mengobrak-abrik isi dalam tasnya itu. “Nara, maafkan aku sepertinya aku lupa memasukkannya.”

Aku pasrah dan bingung harus bereaksi seperti apa. “Ya sudah Biru, kita main yang lain saja.”

Biru tampak berpikir, “Mau main apa, Nara?”

“Bagaimana dengan masak-masakan?”

“Nara, kau sedang bercanda ya.” Biru terlihat kesal dengan ideku.

Aku tertawa terbahak-bahak melihat raut wajahnya. “Mengapa kau terlalu sensitif, Biru? Ayo ambil bola di atas sana.” Aku menunjuk ke arah benda berbentuk lingkaran. Pandangan Biru mengikuti jari telunjukku.

Di dalam rumah pohon itu aku sengaja menyembunyikan bola plastik di bagian atasnya dengan sebuah ring. Gunanya untuk kita berdua main bersama. Tapi hanya aku yang tahu, Biru tidak.

Permainan bola tendang melelahkan sekali. “Kau kalah, Nara.” Biru sangat bersemangat, seolah itu hal yang aneh dan menakjubkan. Padahal itu kemenangan yang memang selalu ia dapatkan.

Aku memberi selamat dan menyalami Biru. “Aku kalah dari manusia yang berulang tahun hari ini, selamat Biru, kau hebat.”

Setelahnya, kami berbincang serta berbagi cerita. Tentang sekolah, teman dan kehidupan ke depannya. Seorang anak tingkat sekolah menengah pertama yang sudah merancang masa depan. Biru, selalu punya visi dan misi yang berimbang. Kadang aku berpikir, bagaimana ia bisa memiliki otak sedemikian kompleks?.

Pertemuan itu diakhiri mentari yang mulai turun pada perpaduannya. Aku dan Biru pun memutuskan untuk pulang. Kami menikmati momen itu. Hari ulang tahun, Biru.

~10 tahun kemudian~

Kini, tahun demi tahun sudah berlalu begitu cepat. Aku sedang merenung kisah tahunan silam itu. Cerita persahabatan seorang anak perempuan dan laki-laki. Setiap tahun merayakan ulang tahun dengan sepotong kue sebagai pelengkap suasana. Tahun itu menjadi penutup sepotong kue ulang tahun yang tak pernah ada lagi untukku dari Biru. Biru, aku merindukanmu.

-Selesai-