Sekolah Menengah Kejuruan, Antara Ada dan Tiada

0
311

Banyak orang bertanya-tanya mengenai kelangsungan ekosistem pendidikan di Indonesia, ketika mendapati beberapa data yang menunjukkan sebetulnya ada yang tidak beres dengan sistem pendidikan kita. Data itu terutama yang menyangkut tentang kompetensi teman-teman lulusan Sekolah Menengah Kejuruan atau SMK.

Pada dasarnya SMK itu dibangun atas pondasi menjawab kebutuhan pasar, menjawab kebutuhan sumber daya manusia yang siap kerja. Juga menjawab tantangan zaman bahwasanya revolusi 4.0 membutuhkan tenaga-tenaga ahli khusus yang dapat langsung menerapkan ilmu dan kemampuannya pada berbagai sektor. Tapi mengapa hal itu seakan menjadi pemanis belaka ?

Kenyataan di lapangan sama sekali tak seindah yang dibayangkan. Siswa SMK yang mendambakan setelah lulus ingin kerja, malah menjadi sasaran empuk pengangguran di negara ini. Jika diibaratkan, SMK seakan jembatan antara sumber daya manusia yang siap kerja dengan para perusahaan atau industri, tetapi itu hanya sebatas angan-angan karena jembatan tersebut dibuat dari kertas yang mudah sobek, mudah rusak, dan mudah dipermainkan.

Banyak menganggur

Kementerian terkait, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, pemerintah, institusi lain, kemana janji-janji manis presiden yang dahulu mengobarkan dengan lantang vokasi untuk Indonesia? Kalau sudah begini siapa yang salah, dan siapa yang menanggung risikonya?

Jika diperhatikan tren tingkat pengangguran terbuka di Indonesia menurut tingkat pendidikan, masih di dominasi oleh mereka yang lulusan SMK. Pada bulan Agustus 2021, Badan Pusat Statistik menyebut sebanyak 11,13 persen pengangguran tertinggi berasal dari SMK. Hal ini selayaknya harus menjadi perhatian Kementerian Pendidikan, terutama Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi.

Faktor tidak terserapnya para lulusan ke dunia kerja juga menjadi masalah utama mengapa banyak pengangguran yang berasal dari SMK. Di sisi lain jika kita lihat pada ruang yang lebih terbatas dan seringkali menjadi paradigma publik diluar sana adalah, karena para lulusan SMP yang dalam kualitasnya “kurang” itu lebih memilih melanjutkan studinya ke SMK bukan SMA.

Bukankah SMK  didesain sedemikian rupa agar membantu penurunan jumlah pengangguran di Indonesia, tapi mengapa malah sebaliknya?

Jadi menurut paradigma tersebut hal ini juga mendukung bagaimana ekosistem dan kualitas siswa SMK menjadi kurang terbentuk. Selain itu jika ditarik lebih jelas lagi sebetulnya yang diharapkan dari lembaga hanya sebatas bagaimana menyelenggarakan pendidikan, tanpa memperhatikan pembekalan kepada siswanya agar dapat terjun langsung ke dunia kerja. Oleh karena itu keterampilan inti atau softskill yang dimiliki siswa SMK tidak begitu komprehensif. Fakta itu sejalan dengan kondisi guru produktif, artinya guru yang memiliki keterampilan pada bidangnya hanya sebesar 23,2 persen.

Jurusan yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri juga menjadi tiang penghalang utama yang sangat fundamental. Bagaimana tidak, sebut saja jika suatu kota yang ekonominya bergerak pada bidang jasa dan manufaktur, pada SMK terkait di kota yang sama malah tidak menyediakan jurusan tersebut. Hal itu tentu mempersulit link and match atau “perkawinan” antara dunia kerja dengan SMK yang malah berujung pada terciptanya pengangguran.

Bagaimana sih harusnya peran pemerintah dalam merespon sistem pendidikan kita yang tidak efisien dan tidak menjawab kebutuhan ini? Bukankah SMK itu didesain sedemikian rupa agar membantu penurunan jumlah pengangguran di Indonesia, tapi mengapa malah sebaliknya?

Menurut penulis, masalah ini harus diselesaikan secepatnya, karena masalah pendidikan  paling memakan waktu, dan dampaknya tak bisa dirasakan lima atau sepuluh tahun dari sekarang. Butuh puluhan tahun lama untuk menghasilkan dampak positif dari penerapan kebijakan. Pada sektor pendidikan vokasional, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mestinya harus aktif dan adaptif dari segala aspek, bukan hanya dalam penganggaran atau pendanaan saja, tapi bagaimana merestrukturisasi kebijakan-kebijakan sesuai dengan kebutuhan terkait. Pendidikan juga bukan hanya ranah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi semata, melainkan harus dijalankan lintas sektor, kolaborasi dari berbagai kementerian merupakan kunci untuk mempercepat pemulihan pendidikan vokasi.

Kebijakan yang diciptakan oleh pemerintah harus tepat sasaran, dalam hal ini harus lebih melihat sisi fakta yang terjadi di lapangan. Bukan malah membuat kebijakan yang berdasarkan teori dan cuap-cuap belaka, karena nyatanya di lapangan, pendidikan kita butuh implementasi yang efektif dan substansial untuk menyelesaikan masalah besar tersebut.

Muhammad Fhandra Hardiyon, mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta, Program Studi Jurnalistik.