Sebuah perjamuan yang lama tiada, kau lepas aku menjauh dari waktu sehatmu. Demi sebuah perhelatan yang kau hadiri tepat di waktu sehatmu itu, dan yang kau lakukan demi sebuah kunjungan, aku dengan ibu.
Di dalam perhelatanmu yang nyaris merenggut setengah usiamu itu, dirimu bahagia karena lelah. Peluh tak jadi masalah, lapar masih bisa kautahan. Pagi jadi malam, siang jadi lengang, sore jadi berangkat, malam jadi kau jaga.
Lelahmu itu merimbun mapan, kau naungi kesetiaan ibu, dengan kesederhanaan. Rindu yang kau kandung, melerai kefanaan yang tiada ada artinya lagi, bagi aku dan ibu.
Waktu yang bergulir, tidak mengurangi malah menambah cintamu kepada aku dan tentu ibu, yang telah menuntunmu pada hakikat yang lebih jernih daripada sekadar kewajibanmu.
Kian berkurangnya umurmu, tubuhmu menyusut menjadi ringkih, sorot matamu memudar, kaki-kakimu mulai bergemetar.
Waktu yang membuatmu tak sadar akan hal itu, tapi masih kaukenali suara kehadiranku. “Tak terasa kamu sudah mahasiswa, Nak, perasaan baru kemarin kamu masih digendong-gendong ibumu,” katamu sepulang dari perhelatan yang kau hadiri demi, aku dan ibu.
Di tengah-tengah berlangsungnya perhelatanmu, pada suatu malam, ibu pergi menyusul, dan tak pernah kembali pulang. Aku ditinggalnya sendiri, hanya berkawan dengan puisi ibu.
Pada perhelatanmu yang panjang, kau dijemput, menyusul ibu, ke tempatnya yang paling layak. Ku tahu perhelatanmu telah usai, kau pun purna, di sisi-Nya.
Semenjak kau bertempat di sisi-Nya, aku belajar bagaimana menjadi tangguh, sama sepertimu, ayah. Sepeninggal ibu ke tempat-Nya yang paling layak, aku jadi ibadah.
Rinduku selalu saja basah, dihujani puisi, ibu dan ayah. Puisi yang mengalir dari atas ubun-ubun, mengalun ke sela-sela rambutku, yang mewangi puisi, seharum air mawar di hari lebaran.