Wejangan Mbah di Kala Senja

0
370

“Bapak masih belum pulang, Mbah?” Aku mendengus napas pelan. Berharap Mbah dapat menjawab pertanyaanku kali ini.

“Bapakmu itu kalau sudah waktunya pulang, bakal pulang juga,” kata Mbah sambil mengelus pucuk kepalaku pelan.

Aku menggerutu mendengar jawaban mbah. Jawaban ia selalu sama setiap kali aku menanyakan kepulangan bapak. Aku sudah bosan dengan jawaban seperti itu, bapak sudah enam bulan belum pulang ke rumah. Bulan depan aku sudah lulus SMA. Setidaknya bapak sudah pulang ke rumah sebelum hari kelulusanku.

Perasaanku berkecamuk setiap pagi hari. Lagi-lagi aku mendapati kamar bapak yang masih kosong. Kalau saja Bapak tidak pergi melaut, sudah pasti aku tidak akan mengalami perasaan seperti ini. Mbah hanya melihatku yang gusar dengan tersenyum kecut. Mbah mungkin sudah lelah menghadapi tingkahku ini.

“Mbah jualan dulu ya,” ucap Mbah sembari membawa bakul berisi geblog (makanan tradisional) singkong.

“Hati-hati, Mbah,” kataku lalu mengecup punggung tangan mbah.

Aku bisa melihat jalan Mbah sudah tertatih-tatih. Hari ini aku tidak bisa menemani mbah pergi ke pasar. Banyak data yang harus diurus di sekolah. Kalau saja aku luang, sudah pasti aku akan menemani mbah. Aku tidak tega melihatnya berjualan di pasar. Apalagi suasana pasar yang ramai dan cuacanya yang panas.

Setidaknya hari ini mbah ditemani kak Bima. Baru kali ini kak Bima mau mengantarkan Mbah. Biasanya Kakak pertamaku yang mengantarnya. Di antara tiga bersaudara, kak Bima sendiri yang pemalas. Kerjaannya hanya ke warnet dan pergi main. Ia mungkin sedikit sadar diri setelah diceramahi Kak Yudhis.

***

Hari sudah sore, Mbah belum kunjung pulang. Aku khawatir pada Mbah. Takut ada kejadian yang tidak terduga menimpanya. Kak Bima juga belum kunjung pulang, padahal ia memastikan padaku akan pulang tepat waktu.

Dari kejauhan aku melihat kak Bima yang sedang mengendarai motor menuju ke teras rumah. Setelah dari dekat aku bisa melihat Mbah yang membawa bakul di pangkuannya. Aku bisa menebak jualan hari ini habis terjual.

“Mbah, sini aku bawain,” Aku mengambil bakul di pangkuannya. Kak Bima membantu Mbah untuk turun dari motor.

“Kak Bima bawa motornya ngebut ya?” Aku melirik tajam ke arah kak Bima. Ia menatapku balik dengan tajam.

“Nuduh aja kamu, Laksmi” kata Kak Bima sewot. Ia langsung meninggalkanku dengan Mbah di teras rumah. Tidak aneh bagiku, ia memang bersumbu pendek dan tidak bisa di ajak bercanda sama sekali.

Aku tersenyum ke arah Mbah. Ia menggelengkan kepala pelan, heran melihat aku dan kak Bima yang tak pernah akur. Aku menuntun Mbah untuk berjalan ke dalam rumah. Ia memintaku untuk menyeduhkan teh hangat dan kue jahe di meja teras rumah.

Sementara Mbah sedang mandi, aku termenung melihat jalanan di depan rumah begitu sepi. Mobil dan motor yang lewat bisa dihitung dengan jari. Aku menengok ke arah pintu rumah, rupanya Mbah sudah selesai mandi.

Ia melangkah pelan menuju bangku di sampingku. Setiap sore, seperti biasa ia akan memberikanku wejangan hangat. Aku mengambil gelas teh di meja, tidak lupa aku mencelupkan kue jahe pada teh di gelas. Mbah terlihat begitu tenang. Aku tidak bisa membaca ekspresi wajahnya sama sekali. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat ini.

“Ruju,” Mbah memanggilku pelan. Panggilan kesayangan miliknya untukku, Ruju. Aku sempat mendengar penjelasan Bapak kalau arti dari Ruju adalah anak bungsu.

Aku tidak terlalu familiar dengan bahasa Jawa di daerah sini, biasanya Bapak dan Kakakku selalu menggunakan bahasa Indonesia di rumah. Di sekolah pun aku selalu menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun ada beberapa di antara temanku yang menggunakan bahasa Jawa, aku hanya bisa mendengarnya saja. Kalau untuk berbicara, aku tidak terlalu fasih.

Wajar saja kalau aku tidak fasih, karena aku tidak dilahirkan di daerah sini. Aku baru saja pindah saat berumur 9 tahun dari Depok. Bapak awalnya bekerja sebagai buruh pabrik di sana. Lalu, ia harus berhenti dan pindah ke Indramayu. Bapak bilang Mbah hanya sendiri di sini. Sudah sepantasnya bagi Bapak untuk menemani Mbah.

Saat Bapak berubah profesi sebagai nelayan, aku merasa tidak keberatan. Aku belum tahu kalau nelayan melaut dengan jangka waktu yang cukup lama. Setelah bertahun-tahun Bapak menjadi nelayan, aku mulai kesal karena harus ditinggal dalam waktu yang cukup lama. Mbah juga kesusahan karena harus berjualan agar aku dan kakakku memiliki uang saku. Hanya kak Yudhis yang sudah bekerja. Pendapatannya pun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

“Kenapa ngelamun?” Mbah menyadarkanku dari lamunanku. Aku melihatnya tersenyum dengan lebar.

“Jualan tiap pagi gitu, Mbah enggak capek?” Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya. Jika setiap pagi Mbah harus berjualan demi menghidupi aku dan kak Bima, rasanya aku menjadi sedih.

“Capek udah pasti, tapi Mbah lebih seneng kalo liat kamu sama Nang Bima makan enak. Rasanya beban di punggung Mbah jadi ringan,”. Mbah menyeringai mendengar pertanyaanku itu. Bukannya merasa lega, aku malah semakin sedih mendengar jawabannya.

Mataku berkaca-kaca mendengar jawaban Mbah. Tak terasa air mata keluar menembus pelupuk mataku. Aku melihat Mbah memperlihatkan wajahnya yang sedih. Sungguh, aku tak berniat untuk menangis.

“Mbah, kenapa Bapak enggak kerja di sini aja?” Aku mengepalkan tanganku. Berusaha untuk tidak menunjukkan amarahku pada Mbah.

Mbah tersenyum ke arahku. Ia hanya melihatku yang sedang menahan marah. Aku bisa merasakan senja sore ini tak terasa nyaman seperti biasanya. Pembicaraan antara Mbah dan aku juga sampai ke batas yang mana aku tak bisa menahan semua rasa amarahku pada Bapak.

Kalau saja Bapak kerja di darat. Mungkin, aku bisa sedikit tenang menanti kepulangannya. Aku juga tak merasakan kesedihan mendalam seperti ini karena melihat Mbah harus berjualan setiap pagi. Aku tak sanggup melihatnya yang sudah sempoyongan saat membawa bakul.

“Laksmi, Bapakmu itu hebat. Mbah tau gimana capeknya cari uang buat nafkahin keluarga. Apalagi Bapakmu itu kerja jadi nelayan,” ucap Mbah. Sorot matanya mengarah pada jalanan di depan rumah. Aku keheranan, apa yang sedang dipikirkannya.

“Justru itu, Mbah. Laksmi takut Bapak enggak pulang kali ini. Laut itu beda sama daratan,” suaraku perlahan melemah. Rasa takut perlahan menyelimutiku kembali.

Aku pun tahu. Jika Bapak tidak pulang kali ini, bukan hanya aku yang merasa sedih, melainkan Mbah, kak Yudhis, dan kak Bima juga akan merasa sedih. Tapi, Mbah sepertinya lebih khawatir padaku. Ibuku sudah meninggal, tepat saat aku lahir dari dunia ini. Mungkin Mbah merasa aku akan lebih terpuruk dibandingkan kedua Kakakku.

“Pasti pulang. Laksmi enggak perlu khawatir,”

“Masalah Mbah jualan atau enggak, Laksmi tenang aja. Enggak usah dipikirin,” kata Mbah melanjutkan perkatannya sembari mengelus pucuk kepalaku. Tangannya terasa hangat. Suara Mbah juga membuatku tenang.

“Mbah, Laksmi mau bantu jualan geblog setelah lulus,”. kataku sembari menyeringai senang. Tujuanku setelah lulus memang akan membantu Mbah. Meskipun Bapak bilang aku harus fokus kuliah, setidaknya aku mau bantu Mbah.

Geblog buatannya lebih enak dari buatan orang-orang di sekitar daerah sini. Lembut, tidak terlalu kenyal. Selain itu, Mbah juga memiliki banyak pelanggan setia. Setidaknya aku ingin belajar membuat geblog dari Mbah. Mbah sempat melarangku untuk membantunya berjualan. Tapi apa daya Mbah, aku memaksa untuk tetap membantunya. 

“Iya, iya. Terserah kamu,” kata Mbah sembari mengangguk pelan.

“Kalau Laksmi yang jualan, udah pasti laris,” kataku  terkekeh pelan menggoda Mbah.

Kalahin geblog buatan Mbah dulu,” Mbah tertawa saat aku mencoba menantangnya. Sudah pasti rasa geblog buatanku tidak akan sama dengannya

Pembicaraan kami terhenti saat itu. Kami berdua hanya menatap jalanan yang sepi dan juga langit yang perlahan berubah warna menjadi gelap. Aku bisa merasakan angin sore menusuk kulitku.

“Gini, Laksmi. Seandainya Mbah enggak ada, coba kamu urus Kakak keduamu itu. Nang Bima emang bandel, tapi dia juga sering murung karena Bapakmu itu,”

Nang Yudhis udah bisa cari uang sendiri. Nang Bima emang pengangguran, tapi ya, namanya rezeki. Belum rezekinya buat dapet kerjaan.” Mbah mengatakannya dengan intronasi yang sangat pelan. Suaranya samar-samar terdengar.

Aku tidak terkejut saat mendengar ucapan Mbah. Sudah lama aku tahu kalau Kak Bima tertekan karena status penganggurannya itu. Apalagi dia cuma bisa bergantung pada Kak Yudhis dan Bapak. Setiap Bapak pulang melaut, Kak Bima selalu terkena imbas kelelahannya. Pasti Bapak bakal ceramahin Kak Bima yang belum kerja-kerja sampai saat ini.

“Ya Mbah, Laksmi tau,” Aku menangguk pelan. Paham maksud dari perkataan Mbah tadi.

“Kamu juga, harus sabar. Bapakmu kerja buat cari uang. Uangnya buat kamu juga,”

“Kalau sudah besar, kamu bakal paham perasaan Bapakmu itu. Kalau sudah punya anak, beban yang dipikul bukan cuma masalah pribadi aja, Laksmi.” Mbah melihatku yang sedang memperhatikannya. Aku bisa melihat senyuman terukir di wajahnya. Tulus sekali.

Angin yang bertiup sore ini dingin sekali. Dibarengi dengan wejangan Mbah, semakin membuatku merasa tak enak. Wejangannya kali ini bukan lagi masalah sepele. Ia bahkan sudah menitipkanku pesan.

“Mbah, masuk sudah mau ” Aku mengajak Mbah masuk ke dalam rumah. Langit sudah gelap. Sebentar lagi Magrib, Mbah selalu mengingatkanku untuk masuk ke rumah sebelum Magrib, khawatir ada sandekala.

Hari ini aku merasa sesak. Beban dipundakku juga semakin terasa berat. Aku semakin kepikiran dengan wejangan Mbah tadi. Perkataannya itu memang benar. Aku saja yang sulit untuk memahami kondisi Bapak.

***

Pagi ini mentari bersinar dengan terik. Awan putih juga menghiasi langit. Hari ini aku berniat untuk membantu Mbah jualan geblog. Senang sekali, karena sudah lama tak membantunya berjualan di pasar.

Aku mendengar langkah kaki di luar kamar. Suaranya samar, seperti seseorang yang sedang berlarian. Saat aku membuka pintu kamar, aku melihat Kak Bima yang sedang menggotong tubuh Mbah yang terkulai lemas.

“Mbah kenapa?” Aku terkejut bukan main saat melihat tubuh Mbah yang lemas. Raut wajah Kak Bima kesal bercampur sedih. Aku bisa melihatnya yang sedang putus asa.

“Kakak nunggu di luar. Biasanya jam segini Mbah udah bangun. Waktu lihat ke dapur, Mbah sudah pingsan” suara kak Bima bergetar. Aku bisa merasakan kekhawatirannya pada Mbah melalui suaranya itu.

Kak Bima langsung berlari menuju ke luar rumah. Rupanya sudah ada mobil darurat desa yang akan mengantarkan Mbah ke rumah sakit terdekat. Kak Bima menyuruhku untuk menjaga rumah sampai kak Yudhis pulang dari kantor.

“Mbah bakal baik-baik aja kan, Kak?” tanyaku  memastikan kondisi Mbah tidak seburuk itu.

Kak Bima mengangguk dan tersenyum menanggapi pertanyaanku. Aku tidak benar-benar lega saat melihat respon kak Bima. Aku menunggu selama dua jam di rumah dengan perasaan gelisah. Kak Bima tidak kunjung mengabariku begitu pun dengan Kak Yudhis yang sedari tadi belum datang.

Aku mendengar suara motor mendekati rumah. Dengan sigap aku langsung berlari ke depan rumah. Mataku berkaca-kaca saat melihat kak Yudhis yang sedang turun dari motor. Aku berlari dan memeluknya. Badanku bergetar hebat. Rasa takut yang sudah ku rasakan semenjak dua jam lalu tidak kunjung berhenti.

Saat aku melihat ke samping, aku merasakan aura samar dari seseorang. Kak Yudhis membawa seseorang kemari. Aku bertanya-tanya siapa orang tersebut. Saat aku mendongakkan wajah, aku bisa melihat Bapak berdiri di sampingku.

“Bapak udah pulang?” Mataku terbelalak saat melihat Bapak sudah ada di sampingku.

Bapak tersenyum melihatku yang sedang memeluk kak Yudhis. Rasanya kesal bercampur sedih saat melihat Bapak sudah pulang. Kenapa Bapak pulang saat Mbah sedang di rumah sakit.

“Ayo ke rumah sakit,” Bapak mengajakku dan kak Yudhis untuk segera pergi ke rumah sakit.

Saat di perjalanan aku tidak bisa berhenti mencemaskan Mbah. Motor yang ku kendarai juga hampir menabrak sisi kanan jalan. Aku takut Mbah meninggalkanku. Apalagi aku kepikiran soal wejangannya kemarin sore.

Kak Yudhis memberitahuku Mbah sedang berada di UGD. Degup jantungku tidak beraturan. Napasku mulai sesak. Aku bisa melihat Kak Bima sedang berdiri di dalam.

“Mbah udah bangun,” ucap kak Bima pelan.

Aku menghampiri Mbah yang sedang tertidur di atas ranjang UGD. Saat aku hendak membuka mulut, Mbah sudah terlebih dahulu berbicara.

“Padahal kamu mau bantu Mbah jualan,” suara Mbah terdengar lirih. Sangat sakit untuk mendengarnya terdengar seperti itu.

“Kalau sakit, bilang ke kita Mbah,”

“Jantung Laksmi mau copot,” kataku menggerutu dihadapan Mbah. Ia hanya menyeringai mendengar perkataanku.

“Iya, cucu Mbah bawel banget,” ujar Mbah  terkekeh pelan. Wajahnya juga berseri saat melihat Bapak yang sudah pulang.

Kak Bima menjelaskan kalau tensi Mbah lebih rendah dari biasanya. Mbah mungkin sudah merasakan pusing hingga pagi tadi sampai pingsan. Dokter bilang Mbah tidak boleh berjualan lagi. Tubuhnya sudah tidak sanggup untuk berjualan.

“Mbah, tenang aja. Ada kak Bima yang nerusin dagangan. Biar Laksmi yang buat geblognya,” ucapku sembari mengacungkan jempol. Aku tidak ingin Mbah merasa sedih saat mendengar ia tidak bisa lagi berjualan.

Kak Bima menjewer telingaku. Ia menggerutu, kenapa harus dia yang jualan. Aku hanya tertawa saat melihat reaksinya.

“Daripada nganggur, mending jualan. Muka Kakak tuh lumayan ganteng. Barangkali nanti Kakak punya banyak pelanggan cewek terus viral” kataku tertawa saat mengucapkannya. Sampai-sampai Mbah juga ikut tertawa melihat tingkahku ini.

“Soal biaya rumah sakit, biar Bapak yang urus. Uang Yudhis simpan saja buat nikahanmu nanti” Bapak menepuk pundak Kak Yudhis pelan. Aku bisa melihat raut wajahnya yang tenang.

Aku sempat ingin marah pada Bapak karena tak kunjung pulang. Tapi saat aku melihat kondisi Mbah, memang bukan waktunya untuk marah. Justru aku merasa senang, Mbah sudah baik-baik saja. Bapak juga sudah pulang ke rumah. Aku akan selalu mengingat wejangan Mbah sampai kapan pun.

***

Penulis : Kompas Corner Universitas Multimeda Nusantara/ Galuh Anisya Fitrananda.

Editor :  Kompas Corner Universitas Multimeda Nusantara/ Maria Oktaviana.