Modernisasi ataupun globalisasi merupakan hal yang tak dapat kita hindari. Kemajuan ini kadang-kadang tak menjadikan kita pribadi yang maju. Dimulai dari pola pikir kita yang bahkan jauh dari kata maju.
Banyak dari kita yang beranggapan bahwa apa yang kita lakukan tak jauh dari sebuah modernisasi dan merasa semua berdasarkan sebuah kemajuan. Namun pada faktanya modernisasi yang berlangsung tetaplah berjalan beriringan dengan pola fikir yang jauh dari modern.
Kita lebih sering hidup bersama pemikiran “nenek moyang” yang kita tidak tahu tentang kebenarannya, bahkan hingga saat ini sebuah stigma lampau tetaplah berkembang ditengah masyarakat yang dianggap “modern”.
Rasis merupakan hal yang sangat tidak kita sukai, tapi mungkin kerap kali kita lakukan. Rasis menjadi sebuah pola pikir yang sudah terpenjara dikalangan manusia dan turun menurun disebarkan. Melanggar hak orang lain bukan lagi menjadi urusan yang penting untuk dibahas, karena jika sudah berbeda kulit, ras, maupun agama bisa saja menghapus kata adil dan hak antar manusia.
Sikap Menghadapi Rasisme
Hal itu tampak dengan bagaimana kita masih menyikapi rasisme hari ini. Akhir-akhir ini kita melihat kejadian yang tak wajar di Amerika Serikat. Seorang peria kulit hitam mati sia-sia di tangan polisi berkulit putih, hal itu dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Tak dipungkiri di Amerika Serikat kerap kali terjadi hal-hal yang mengintimidasi masyarakat kulit hitam serta membedakan sikap perilaku terhadap orang lain dengan menjadikan perbedaan sebagai patokannya.
Sayangnya hak asasi manusia hanyalah sebatas hak untuk diri kita, namun tidak untuk orang lain dan menganggap hak kita tidak ada yang mengatur. Itu menjadikan stigma yang berkembang tentang hubungan antar manusia tidak dapat dipahami dengan baik. Cerita di Amerika Serikat ini sangat menggambarkan bahwasanya saat ini bedanya seseorang menjadi penentu dia bisa hidup dengan aman dan terhindar dari rasa takut atau tidak.
Kita terkadang dapat berkata “aku tidak pernah melakukan rasis”, namun kadang-kadang kita dengan nyata memperlakukan orang lain secara tidak baik karena kita menganggap dirinya tidak terlihat sama seperti kita. Selain itu stigma-stigma tentang klasifikasi khusus untuk pria tampan maupun wanita cantik pun sudah mendarah daging di masyarakat.
Hal tersebut sangat di sayangkan karena hal tersebut bisa merujuk kepada praktik perundungan. Tindakan itu tak sedikit menjadi beban pikiran untuk sebagian orang, merasa diri mereka tidak aman, atau bahkan berujung kepada bunuh diri.
Seseorang kerap kali bersembunyi dibalik hak bersuara dan hak menyampaikan aspirasi, namun tidak sadar akan hak orang lain seperti, hak orang lain untuk tetap merasa aman, hak untuk hidup dan lain-lain. Hak tersebut acap kali digunakan untuk menunaikan kebencian diskriminasi sesama manusia. Dengan sosial media yang sangat berkembang pesat terkadang menjadi wadah saling menyindir, wadah untuk berkata kasar dan untuk sebagian orang menganggap itu menjadi suatu kebanggaan.
Pada dasarnya tatanan negara, tatanan internasional bahkan agama yang kita anut memberikan nilai yang positif serta memberikan aturan yang harus kita jaga sesama manusia. Akan tetapi, dewasa ini kita seakan merasa “lebih tahu” daripada Tuhan dengan melanggar hak orang lain. Sangat disayangkan moderniasi ini semakin membuat kita acuh dan kembali ke pemikiran yang primitif.
Kadang-kadang lucu ketika melihat mayoritas dengan seenaknya menekan minoritas, entah itu dari sisi agama, ras, suku dan lainya. Penting bagi kita untuk memahami segala sesuatu itu dengan baik. Jangan hanya bersuara ketika hak kita diganggu namun tak “beradab” ketika menggangu hak orang lain.
Menurut saya tidak ada yang salah dengan sebuah modernisasi, tapi diri kita dalam menyikapinya lah yang mungkin masih salah. Modernisasi diharapkan mengubah pola hidup kita dan pikiran kita agar lebih mudah untuk menjalankan sesuatu atau memahami sesuatu, jika kita salah menyikapinya maka kita akan salah langkah untuk diri kita bahkan untuk di sekitar kita akibat keegoisan diri kita. Tak salah ketika moral kembali hilang karena modernitas.
Saling menghargai
Tak sedikit juga orang yang mulai bergerak dalam menegakan hak yang adil, yang mulai peka terhadap sekelilingnya dan sadar bahwasanya dia tidak hidup sendiri. Mengubah pola fikir orang-orang terdekat kita juga bisa menjadi hal sederhana yang dapat kita lakukan untuk meminimalisir kasus serupa, karena tidak dipungkiri stigma-stigma rasis atau lainya itu lahir dari keluarga dan lingkungan sekitar kita.
Perlahan mari kita sadari hidup itu takkan mungkin untuk tidak menemukan perbedaan. Cobalah saling mengerti, perlahan tinggalkan rasa ingin menang sendiri. Tidak semua yang berbeda adalah musuh kita, tidak semua yang berbeda dengan kita harus kita jauhi.
Hiduplah dengan saling merangkul saling menghargai saling menganggap satu sama lain dan mari kita jadikan modernisasi ini sebuah refleksi untuk diri kita untuk tidak saling menyakiti, diskrimasi, rasis dan sifat buruk yang menganggu keberlangsungan hidup ini. Krisis moral setidaknya bisa kita minimalisir.
Muhammad Fuad Tingai Very Juan, mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Comments are closed.