Bersyukur Di Kala Pandemi

55
470

Akhir-akhir ini seluruh insan dihadapkan kepada musibah yang bisa dibilang hadirnya tergesa-gesa. Tentu kejadian ini mengakibatkan multi dampak. Dikala pandemi, semua orang berusaha untuk bertahan ,bertahan dalam sendu, bertahan dalam sepi, bertahan dalam gundah mungkin senjata sederhana yang bisa digunakan kini adalah “bertahan”.

Di saat sulit seperti ini menuntutku untuk berkontemplasi memahami sebuah emosi dan fikiran yang datang berganti tentang yang baik maupun buruk. Sebuah suka yang berbalut duka. Sebuah suka yang disambut luka pun sebaliknya.

Bagi sebagian pandangan, pandemi ini mengajarkan bagaimana semesta memberikan pesan-pesan yang tersirat bukan tersurat. Katamu, katanya, kata semua orang pandemi merupakan pembersihan dari segala yang buruk memberikan kesempatan untuk semesta. .

Bagiku pandemi memberikan dunia baru bagiku, dunia untuk memahami berbagai macam sifat manusia, dunia untuk berterimakasih, dunia untuk saling memaafkan, dunia untuk saling membantu, dunia saling berbagi, dunia yang memberikan energi positif dalam artian hal-hal baik walaupun baik dan buruk itu suatu hal yang bias. Sungguh. Setiap hari diingatkan seperti itu, karena si pikiran baik dan buruk sedang bersyukurnya dicintai. Mungkin dahulu pernah kudapatkan dunia seperti itu, namun kini ia memberinya lebih.

Sebuah emosi baru yang belum kurasakan sebelumnya. Aliran konstan naik dan turun. sebuah fragmen-fragmen pesimistis. Yang bisa kulakukan adalah belajar untuk menyerah pada keadaan, memiliki keyakinan bahwa semuanya terjadi untuk kemanusiaan yang lebih besar. Tetap terhubung dengan orang-orang terkasih, terus bekerja pada diri kita sendiri adalah yang diinginkan semesta untuk kita beradaptasi.

Foto : Riska Arlianda

Begini untuk singkatnya, setulusnya serta sebenar-benarnya, terimakasih karna kau masih ada dengan duniamu pun duniaku. Terimakasih atas kekuatan yang diberikan tatkala kelemahan sedang berusaha mencintai.

Mengutip dari penggalan surat Sjahrir kepada Maria:

“Malam ini aku merasa tenang lagi sayang. Seperti keadaan aku sekarang, sebagaimana juga perasaanku sekarang, aku tak bisa lagi menampik apa yang kamu sebut sebagai “inti yang paling dalam kita miliki” itu dia Mieske, yang bisa berbicara dari suratmu, membersihkan aku.”  Tanahmerah – 30 Mei 1935

 

Riska Arlianda, Mahasiswi jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran, Jatinangor Sumedang.

Comments are closed.