“LDR” Hingga Idul Fitri

0
178

“Ibu…, Jum’at besok sudah puasa ya? adek ndak sabar ni pengen tarawihan di masjid,” tanya Naila.

Putri kecil ini gembira sekali akan menjumpai bulan suci Ramadan. Wajah manis, dan tubuh mungil yang lincah tampak elok ketika ia sedang bergembira. Dalam benaknya sudah terbayang saat tarawih bertemu teman-teman sebayanya. Maklum saja, ia masih SD, masih senang bermain dan bersendagurau kapan pun tanpa lelah. Tak hanya itu dia merindukan pasar ta’jil yang menjajakan banyak makanan dan minuman kesukaannya.

Ibu tersenyum melihat semangat Naila. “Iya, Naila Jum’at besok sudah bulan Ramadan. Naila sudah siap, kan?”. “Sudah dong Bu. Naila kan sudah besar.” Ibu tambah tersenyum dan mengelus kepala putri kecilnya yang begitu semangat.

Kamis sore, kumandang azan asar menggema di langit biru. Namun ada yang tak biasa terdengar dikuping umat muslim. Kalimat “al-Salatu fi buyutikum” (salatlah di rumah kalian) yang terlantun dua kali terdengar sayup-sayup. Seakan membuat tanya, ada apa ini?

“Bu, kok azannya gitu,?” tanya Naila dengan polos. Ibu hanya terdiam tak menjawab sembari mengambil mukenah dan sajadahnya. Naila dengan wajah lugunya hanya menatap ibunya yang belum menjawab tanya dalam dirinya. “Nak, yuk kita salat asar, mukenahnya dirapikan ya.” Hanya kalimat itu yang terlontar dari Ibu tanpa menjawab tanyanya. Naila hanya manut dengan raut wajah bingung sebab hatinya masih dilanda tanya yang belum terjawab.

Selepas Salat, Naila sudah duduk manis dengan wafer kesukaannya di depan televisi. Ketika itu ia tengah asik menikmati serial anak-anak yang ditayangkan. Pukul 16.00 stasiun televisi yang ia tonton menayangkan ­headline news.

“MUI menghimbau kepada umat Islam untuk melaksanakan ibadah salat di kediaman masing-masing. Himbauan ini dikeluarkan karena dikhawatirkan salat berjamaah di tempat ibadah berpeluang terjadinya penularan virus yang sedang marak saat ini.” Terdengar berita yang dibawakan penyiar, Ibu yang sedang memasak langsung ke depan televisi menyimak pemberitaan itu.

Saat ini memang sedang dilanda pageblug yang belum ada penawarnya. Akhir-akhir ini pemberitaan pasti selalu terkait pageblug entah dari pencegahannya, jumlah kasusnya, dan lain sebagainya. Ibu pun terus mengikuti namun ia tak tahu harus bagaimana menjelaskan kepada putri kecilnya, Naila.

—-

Di kamar yang tak begitu luas, Doa selepas salat magrib telah diaminkan oleh Ibu dan Naila. “Naila, besok sudah mulai puasa. Nanti kita salat Isya dan tarawih di rumah saja ya,” ucap sang Ibu dengan senyum kepada putri kesayangannya. “Kok tidak di surau Bu?,” tanya Naila dengan sedikit murung.

“Iya, nak. Ramadan kali ini surau-surau di kampung tidak ada tarawih, makanya kita tarawih di rumah.” “Kok gitu?” rasa tanyanya tambah besar dalam hatinya. Jawaban dari ibu sama seperti tadi sore ketika Naila menanyakan azan yang beda dari biasanya.

Hingga selepas salat Isya pun kedua tanya Naila belum terjawab. Ia hanya memendam bingung mengapa senyum yang terlontar padanya. Begitu pula selepas salat tarawih. Naila masih ingin menanyakan apa sebab dua hal yang ia tanyakan hari ini. Tapi ia ragu akan dibalas senyuman dan elusan kasih sayang di kepala oleh Sang Ibu.

Di kala Naila terkantuk-kantuk memikirkan sebab pertanyaan sejak sore tadi di pangkuan Ibu, Ibu mengambil gawai. “Assalamulaikum Le, piye kabare?”. Ibu menelpon anak sulungnya yang sedang kuliah di kota. Sontak Naila yang terbiasa dekat juga dengan kakaknya itu terbangun ikut menyimak.

“Waalaikumsalam, baik Bu. Ibu sama Naila gimana?,” balas Yoga dari kota tempat ia belajar kini. Tiba-tiba Naila menyeletuk di depan gawai. “Kak Yoga puasa ini pulang kan? Kakak kan biasanya kalo sore keliling kampung terus ke sawah naik sepeda sama kakak. Kak Yoga pulang kan?”.

Yoga yang sedang duduk di samping jendela sambil menikmati tehnya hanya tersenyum mendengar pertanyaan adiknya itu. Ia ingin menjawab tapi tak ingin pula memberi kecewa. Telepon itu hening tiada ada yang berkata satupun di ujung mana pun. “Kak…. Pulang kan?,” celetuk Naila kembali. Ibu pun tak tahan dengan tingkah Naila yang sedang aktif-aktifnya. Yoga pun tak tahan tuk menjawab, “Ya, nanti kakak usahakan.” Selepas itu terdengar sorak gembira seorang putri kecil sperti mendapat hadiah.

“Le, Ibu tahu kamu sebenarnya ingin pulang. Tapi kalo situasi seperti ini ndak usah dipaksakan. Tetap di sana ya! Nanti Ibu kirimkan sangu buat selama puasa dan sesuatu menjelang idul fitri kamu sama teman-temanmu di sana.” Rayu Ibu pada anak sulungnya agar ia tak memaksakan pulang di kala pagebluk yang melanda negeri ini.

Ndak apa Bu, Yoga usahakan pulang saja. Lagi pula kuliah daring Bu, bisa kok di jalani dari rumah.” Mendengar jawaban anak sulungnya itu, Ibu hanya terdiam. “Ya sudah kalo begitu. Nanti kalo ada apa-apa kabari Ibu ya Le! Semoga kamu baik-baik saja di sana.” Hanya pesan itu saja yang menjadi penutup telepon malam Ramadan antara Yoga dan Ibunya yang saling merindu.

 

Hari-hari terus bergulir dalam suasana Ramadan yang tak biasa. Tanpa tarawih di surau, tanpa buka bersama, tanpa belasan anak bermain sepak bola di kala senja, tanpa pasar bazar yang penuh sesak dan segalanya yang beraroma khas Ramadan.

“Bu, nanti tarawih di surau ya, Naila pengen ke surau. Masak sudah sepuluh malam kita ndak ke surau,” celetuk Naila ketika berbuka puasa. “Naila, lihat sendiri kan di televisi? Di mana-mana seperti surau, pasar dan sekolah ditutup karena pagebluk yang membuat khawatir La.” Kalimat itu yang terlontar dari ibu. Sedikit menjawab pertanyaan Naila mengapa ia tarawih dirumah. Tapi juga menambah tanya, mengapa karena pagebluk menjadi begini?

Jawaban itu pula menambah murungnya di setiap harinya. Rasanya sepi sekali bagi seorang anak kecil yang lagi sedang asyik-asyiknya bermain. “Bu, kenapa sih di mana-mana sepi? Di mana-mana tarawih enggak ada?,” tanya Naila dengan raut wajah cemberut. “Naila, lihat sendiri kan di televisi? Di mana- mana seperti surau, pasar dan sekolah ditutup karena pagebluk yang membuat kawatir La.”

Lagi-lagi jawaban Ibu sama setiap Naila bertanya soal yang sama. “Ah, jawaban ibu setiap hari gitu terus, ga ada jawaban lain. Mana sih si pagebluk itu? Mau Naila nasehati.” Naila bosan mendengar jawaban ibunya yang selalu begitu terus, ia terlihat wajahnya memerah geram mendengarnya. “La, sudahlah kita memang di himbau seperti ini dulu sampai pagebluk benar-benar teratasi.”

“Naila ga mau dengar lagi jawaban ibu. Kak Yoga juga kenapa belum pulang sih? Dah hari ke lima belas padahal. Biasanya Kak Yoga dah mengajak ke sawah.” Dengan wajah memerah Naila menangis marah dan lari ke kamarnya. Ibu hanya bisa pasrah melihat putri kecilnya ini.

“Pak, kami itu mau pulang. Kalo ga pulang kami mau sahur pake apa? Buka pake apa? Pasar-pasar pada tutup, apalagi warung-warung.” Dengan nada tinggi Yoga membalas perintah petugas kepolisian untuk kembali ke kota. “Lah kamu ini gimana? Kamu kan sudah mahasiswa bisa lah memikirkan hidup sendiri. Lagian kemaren sudah di data pemerintah juga dah dikasih bantuan, kamu ndak daftar apa?,” balas petugas. “Percuma, bantuannya cuma bisa sampe dua minggu. Mending saya pulang pak,”. Yoga tambah emosi. “Ah… sudah sana balik ke kosanmu saja! Lewat jalan manapun kamu tak bakalan diizinkan.”

Dengan motor kesayangannya, Yoga tetap mencari celah untuk pulang ke kampungnya. Namun apalah daya melewati jalur manapun sudah ditutup oleh petugas. Kalau pun bisa dilalui mesti ada petugas yang berjaga. Apapun alasan yang dilontarkan, apapun cara Yoga menjelaskan tetap saja petugas menyuruhnya balik, apapun alasan dia.

Yoga pun menyerah dan kembali ke kosannya. Ia merenung dan menangis sepanjang perjalanan. Terbayang janji kepada adiknya. “Seharusnya sore ini aku sudah bersepeda bersama Naila.” Guamnya ketika sampai di kos, namun yang ia temui kali ini hanya teman-temannya yang senasib, gagal pulang ke rumah.

Menjelang Magrib, Yoga memandang foto-foto Ramadan tahun lalu di telepon selulernya. Air mata tambah pecah. Tiba-tiba ada panggilan masuk dari Ibunya. Sepertinya benar kata orang-orang, ibu tahu soal isi hati anaknya.

“Assalamualaikum Le, sudah sampai mana?,” tanya Ibu dengan suara lembutnya. Yoga masih terbawa emosi kerinduannya yang tak terbendung. “Le, Ibu tahu kamu itu pengen pulang. Pengen menikmati Ramadan dan Idul Fitri sama Ibu dan adikmu. Tapi ya gimana, pagebluk ini belum berakhir. Yang sabar ya Le, Ibu selalu mendoakanmu. Besok Ibu kirimkan makanan buat kamu ya, kamu mau apa?”.

Ucapan Ibu tambah memecah air mata Yoga. Tiba-tiba saja Naila dari kejeuhan berlalri menghampirri Ibunya yang sedang menelpon kakaknya. “Kak Yoga sampai di rumah jam berapa? Lebaran tinggal tiga hari lho…” Lontar Naila di dekat ibunya yang sedang menelepon.

“Bu, Dik, maaf ya Kak Yoga belum bisa pulang lebaran kali ini. Yoga cuma hanya bisa telepon. Belum bisa pulang. Naila, baik baik ya sama Ibu” sepotong kalimat itu saja yang bisa diucapkan membalas tanya Ibu dan Naila. “Kok Kakak gitu? Kemaren kan dah janji mau pulang. Naila ga mau maafin Kakak.” Naila malah ngambek karena janjinya tak dipenuhi. “Ya sudahlah Le, kamu jaga kesehatan ya, paketnya besok ibu kirim. Urusan Naila ndak usah kamu pikirkan banget ya Le.” Ucapan itu menjadi akhir penutup telepon menjelang magrib.

“Kenapa sih jadi aneh gini?  Tarawihan ga ada. Teman-teman ga ada yang keluar rumah. Kak Yoga ga jadi pulang. Aneh, padahal lusa sudah Lebaran” Naila ngambek kepada Ibu dan Kakaknya karena suasana Ramadan yang kali ini beda dengan tahun-tahun sebelumnya.

“Naila, ndak boleh gitu. Kan Bulan Puasa mengajak kita untuk sabar dan enggak boleh marah-marah. Nanti kalo berhasil melewatinya akan mendapat…” belum lagi Ibu selesai berbicara, Naila mendadak mengangkat kepalanya dengan senyum manisnya. “Kemenangan” sontak Naila yang termenung.

“Jadi Ibu sabar ya kaya gini? Apa lagi ditambah Naila yang ngeyelan ini sama Ibu.” Tanya Naila dengan sedikit penyesalan yang terlihat dari raut wajahnya. “Iya, Naila, Ibu sabar dan selalu memaafkan anak-anak Ibu kok walau ya kamu itu ngeyelan kadang.” Jawab Ibu dengan elusan kasih sayangnya pada putri kecilnya itu. “Kalo gitu, Naila juga sabar dan ikhlas deh di sisa Ramadan ini.”

Gema takbir tlah berkumandang di malam satu Syawal dari surau-surau entah itu memang muazin atau rekaman. Naila tampak gembira di sekitar obor-obor yang sengaja dinyalakan untk menyambut Idul Fitri. Ibu yang melihatnya dari teras tersenyum melihat gembira putri kecilnya itu tanpa kakaknya.

“Assalamualaikum Bu, apa kabar?” Kalimat pembuka telpon di malam satu syawal antara Yoga dan Ibunya. “Baik, Le. Kamu sehat-sehat ajakan. Adikmu tu lho gemes liatnya seneng menyambut Idul Fitri” mendengar kabar itu Yoga menjadi senyum-senyum sendiri di kamar kosanya. Naila yang sedang menari-nari gembira melihat ibunya menelpon ia langsung menghampiri. “Kak Yoga…” teriak Naila ketika ia tahu yang di telepon Ibu itu kakaknya. “Kak, maafin Naila ya, Naila ga bakal marah, enggak bakal ngambek lagi sama Ibu yang sabar juga sama Kakak yang enggak jadi pulang.” Celetuk dengan suara imutnya.

Sepertinya Ramadan dan Idul Fitri kali ini bagi keluarga kecil Naila, inilah yang berbeda dan berkesan. Walau tak bisa berkumpul di hari kemenangan, mereka tetap penuh dengan canda gurau walau melalui telpon. Hari-hari terus bergulir, mereka berharap pagebluk segera berakhir hingga akhirnya mereka berkumpul lagi setelah Ramadan dan Idul Fitri tahun ini

 Muhammad Irfan Habibi, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Walisongo, Semarang