Angin menerbangkan dedaunan kering, mengotori halaman yang tadi pagi sudah bersih disapu. Aku dengan agak tergesa, tengak-tengok, mencari seseorang.
Namanya Muhamad Abdul Muqorib, asli, bukan plagiat. Tapi paggilannya Topung. Aku tidak begitu paham bagaimana ia bisa sampai dipanggil Topung.
Orang yang tak dekat dengannya akan menganggap itu adalah nama aslinya, karena jika ditanya namanya siapa, dia akan menjawab lugas, “Namaku Topung”. Dia adalah salah satu kawanku, penampilannya urakan, berbeda dari yang lain.
Rambutnya bergelombang dan panjang alias gondrong, lebih sering pakai celana levis panjang yang robek di bagian dengkulnya. Orang yang baru mengenal atau melihat penampilannya pertama kali mungkin akan menganggapnya preman. Begitupun aku. Ah, Topung memang berbeda dari yang lain.
Sekian tahun aku mengenalnya, dan banyak menyangka segala kelakuannya. Tapi sungguh, dia adalah orang yang jujur, dalam segala hal. Itulah Topung, tidak suka meniru orang lain dalam hal apapun, ia selalu menjadi diri sendiri.
Dengan penampilannya yang demikian, siapa menyangka, pendidikan yang ditempuhnya dari semenjak pendidikan dasar hingga di universitas, semuanya berbau keagamaan. Saat ku tanya, apa saja prestasinya, ia hanya tersenyum.
“Pernah membanggakan, waktu MI, prestasiku tidak mengecewakan orang tua. Selalu masuk peringkat lima besar, tapi entahlah, SMP, semua itu berbalik aku jadi tak terkendali.”
“Kok bisa gitu?”
“Ya kamu tahu bukan, laki-laki itu kalau ditantang bertengkar, rasanya gimana? Huh, pengen langsung hajar aja gitu. Dan gak tahunya, itu berakibat buruk, aku masuk penjara menjelang ujian. Satu hal yang tidak kuduga sebelumnya.”
Dia merasa, bahwa kehidupan penjara yang tadinya ia anggap biasa saja, dan ia sepelekan, ternyata menyakitkan setelah ia jalani beberapa hari. Ia merasa sendiri, merasa tak ada yang peduli. Seperti ayam, yang hanya dikasih makan, melakukan kegiatan, menghabiskan seluruh waktu di kandang dan hanya bisa memandang kehidupan diluar dari balik jeruji besi.
“Emang, sekolah dimana?”
“SMP Sultan Agung”
“Lha terus ujiannya gimana?”
“Susulanlah. Karena, ujian sudah usai. Habis ujian, aku ditanya tuh sama kakakku, mau milih pergi jauh atau lanjut sekolah? Aku memilih untuk pergi jauh. Aku ingin berpetualang, aku ingin sedikit kebebasan.”
“Ealah”
Aku memang sedang menginterogasinya. Hanya ingin tahu bagaimana kehidupan yang dilaluinya. Aku sebenarnya termakan omongan orang, tentang keanehannya, dan segala berita buruk tentangnya. Kabarnya ia telah berkelana jauh, ke Demak, Kudus, hingga Jogja.
Tapi semenjak aku mengenalnya sejauh ini, dia bukanlah orang yang demikian ku sangkakan atasnya.
Sendirian saja tanpa sanak saudara, tanpa satu keluarga atau orang yang dia kenal, dengan kondisi ia baru saja lulus ujian susulan SMPnya. Dan bertahan hidup dengan berbagai cara, yang ada dalam bayanganku, ia mungkin mencuri, atau jadi pengamen, atau preman mungkin.
Tapi semenjak aku mengenalnya sejauh ini, dia bukanlah orang yang demikian ku sangkakan atasnya. Ia begitu jujur dan anti dengan curi mencuri, walau nampaknya agak bandel, dan penampilannya seolah nggak meyakinkan kalau dia itu orang baik.
Juga dia bukanlah orang aneh seperti yang sering ku dengar. Bahkan, dia adalah teman diskusi yang baik. Nyambung dengan apa yang sedang dibicarakan. Hanya saja mungkin orang tak begitu sabar dengan gaya bicaranya yang muter-muter hingga menganggapnya aneh.
Dari obrolanku dengannya, penilaian burukku terhadapnya mulai luntur. Ia bercerita tentang perjalanannya sampai di tempat ini.
Kala lebaran tiba, Topung pulang ke rumah, kakaknya yang sabar masih menanyakan “Masih mau sekolah nggak?”. Topung tetap memilih pergi jauh, ia bahkan belum mengerti pentingnya ilmu pengetahuan, ia menganggap bahwa sekolah dan pendidikan itu hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan banyak biaya.
Ia pergi berkelana lagi, dan pulang beberapa bulan kemudian. Kakaknya tetap bertanya, “Yakinkah, kamu masih nggak mau sekolah?”. “Nggak,” jawaban yang begitu singkat. Padahal kakaknya mengharapkan untuk dia sekolah, jika memungkinkan, sekalian jadi santri di pondok pesantren dekat rumahnya.
“Gini aja deh, kamu sekolah ya, nggak papa nggak nyantri, tapi ya semoga nanti kedepannya kamu ada keingginan buat nyantri. Soalnya aku nggak mau kamu nggak sekolah, yang jelas untuk sekarang aku nggak mau memaksakan kamu buat sekolah dan ngaji. Yang penting kamu sekolah aja dulu ya.”
Topung menuruti keinginan kakaknya, juga mengiyakan ajakan kawanya Munjin, yang sudah nyantri sejak kelas lima SD sampai sekarang menginjak sekolah menengah atas. Munjin yang mengantarkan Topung menghadap Kiyai pondok . Memasrahkan Topung untuk sekolah di pesantren.
Dalam perjalananya menempuh pendidikan dan sekolah di pesantren, ia tidak pernah dihukum ketika melakukan kesalahan. Mungkin karena keseringan melakukan kesalahan, hingga yang memberikan hukuman merasa bosan.
Maka dengan rasa tak bersalah (karena memang tak salah) dan tak merasa malu, ia menjalani hukuman
Namun, suatu ketika, saat pulang dan tidak berpamitan dengan pihak pesantren untuk mengambil beras digunakan untuk zakat fitrah, ia berpapasan dengan salah satu guru di jalan. Saat Topung kembali ke pesantren ia di hukum, ternyata, guru yang berpapasan dengannya melaporkan kepada pihak pesantren bahwa dia main PS.
Tapi baginya, ia tak bersalah, karena ia tak melakukan kesalahan yang di sebutkan oleh gurunya. Maka dengan rasa tak bersalah (karena memang tak salah) dan tak merasa malu, ia menjalani hukuman, dengan ditonton oleh seluruh santri putra dan putri penghuni pesantren.
Waktu berjalan begitu cepat, ia menyukai kehidupan di pesantren, namun sebentar lagi ia lulus, dan harus memilih jalan hidup selanjutnya. Ia menjadi salah satu orang yang menerima beasiswa dari KH. Chalwani Nawawi yang merupakan pemimpin pondok pesantren pusat. Namun ketika ditanya gurunya, “Kamu mau memilih kuliah peke beasiswa atau mencoba SBMPTN?”. Dia dengan tegas menjawab “SBMPTN”
Ia, menjalani masa persiapan menghadapi SBMPTN di Depok, bersama beberapa orang kawannya dalam beberapa bulan. Namun sayang, nasib berkata lain, ia gagal lolos SBMPTN. Akhirnya ia memilih untuk bekerja sembari menyiapkan SBMPTN tahun berikutnya.
Di tahun berikutnya, ia diterima di salah satu perguruan tunggi yang jauh dari lokasi ia bertempat tinggal. Akhirnya setelah lama kuliahnya berjalan, dengan menerka-nerka biaya besar yang harus dikeluarkan untuk transportasi dan makan sehari hari, ia memutuskan untuk keluar. Ia memilih bekerja, dan kawannya yang lain tetap melanjutkan kuliah.
Beberapa waktu berjalan, ia memutuskan pulang.
“Karena dirumah bingung mau apa, akhirnya aku daftar kuliah lagi di daerah asalku Magelang, tapi lagi-lagi, dengan alasan tidak cocok, aku keluar”.
“Haha, bahaya dong, sekali nggak suka tetap nggak suka”
“Yah, tapi perjalanan panjang itu yang membawaku sampai kemari bukan? Setiap perjalanan kan punya maksud yang disembunyikan oleh Sang Pencipta. Dengan aku yang agak sulit akrab dengan keadaan baru, sekarang ternyata bisa bertemu kamu, dan kawan-kawan yang lain disini.”
Memang benar, setiap perjalanan punya maksud yang disembunyikan oleh sang pencipta. Karena perjalanan panjang itulah Topung bisa sampai kemari, di kampus ini, dan menjadi kawanku.
UNSIQ, dengan segala kegiatannya, kupandangi dengan seksama. Topung nampaknya memang di takdirkan disini. Begitupun aku. Segala kegagalan yang telah lalu, membawaku, menghantarkanku kemari bertemu sekawanan manusia yang sulit ditebak apa maunya.
Tirta Danudirja, siswi kelas XII MA AN_NAWAWI SARWODADI jurusan Keagamaan
Comments are closed.