Kartini Pendekar Kebaya

55
469

Raden Adjeng Kartini, pahlawan bangsa yang hari kelahirannya masuk ke salah satu jajaran hari besar nasional. Semua orang di negeri ini memperingati hari lahirnya setiap tahun di tanggal 21 April.

Jasa-jasanya tertuang dalam lirik lagu nasional Ibu Kita Kartini. Banyak hal-hal kontroversional yang dilakukannya demi menjunjung tinggi nilai emansipasi. Beliau tidak takut menggugat budaya konservatif yang menghambat kemajuan kaum perempuan.

Baginya, perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki terlebih dalam mendapat pendidikan. Cita-citanya dalam menyempurnakan hak-hak perempuan terdokumentasi dalam beberapa buku yang berisi surat-suratnya kepada beberapa teman Kartini. Tapi sayang, belum merasa cukup sukses dalam pergerakan emansipasi, Kartini harus mengorbankan dirinya untuk ikut prinsip patriarki dengan mengagalkan studi lanjutnya demi pernikahan.

Sebenarnya Kartini ini seorang pahlawan atau model duta kebaya nasional ?

Kadang-kadang kita lupa atas segala jasa seorang pendekar bangsa perempuan ini. Tanggal 21 April hanya menjadi sekadar peringatan dengan baju kebaya semata. Saya yakin, sebenarnya Kartini ingin pergerakannya yang belum tuntas terus dilakukan oleh generasi penerusnya. Tetapi mengapa peringatan Hari Kartini terkesan sepele karena yang diingat hanya kebayanya. Sebenarnya Kartini ini seorang pahlawan atau model duta kebaya nasional?

Bukannya ingin menghilangkan nilai dari kebudayaan Indonesia, tetapi menurut saya, merayakan hari kelahiran seorang pahlawan emansipasi bukan dengan cara meniru gaya berpakaiannya. Katakanlah seorang perempuan sesukses apa pun dirinya tidak patut melupakan dari mana ia berasal dan Kartini dalam menyuarakan hak-haknya dalam balutan kebaya, maka kita ikut menggunakan kebaya.

Tetapi zaman telah berubah, dan masih banyak nilai-nilai yang bisa diambil dari seorang Kartini selain meniru caranya berpakaian. Memakai kebaya boleh saja, tetapi hal tersebut tidak mereduksi angka kematian ibu—Kartini meninggal setelah melahirkan anak—pernikahan usia dini pun masih terjadi.

Di zaman melek teknologi ini juga sempat ada tes keperawanan sebelum melanjutkan pendidikan tinggi, tentu saja hal itu menghambat perempuan dalam mendapat pendidikan yang setara. Edukasi dalam pernikahan muda juga masih kurang. Pernikahan muda malah dipromosikan demi menghindari zina, katanya.

Presentase seorang perempuan yang memimpin sebuah lembaga juga belum mencapai taraf yang seimbang karena budaya patriarki masih mendarah daging di negeri ini. Peran perempuan dalam organisasi dipersempit dengan beberapa aturan lebih yang harus ditaatinya sampai tidak diikutsertakan dalam foto kabinet. Tentu saja semua keresahan ini butuh pergerakan yang lebih diutamakan daripada menggunakan kebaya satu tahun sekali.

Saya sendiri sebagai perempuan, akan lebih bangga jika setiap tahunnya di hari lahir Ibu Kartini terdapat kemajuan dalam pergerakan emansipasi ini. Sepertinya berita pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual lebih enak didengar ketimbang berita TK Kuncup Mawar Melati Ali Baba menggelar parade kebaya jalan kaki keliling kota.

foto dokumen pribadi

Mungkin kita punya cara masing-masing dalam memperingati hari lahir seorang pahlawan, tetapi jangan sampai membuat kartini kehilangan jati dirinya. Amat sangat memalukan karena ada beberapa oknum yang malah membandingkan pakaian yang dikenakan ibu kartini tidak lebih baik dari burka dan cadar dan menjadi perdebatan dengan aktivis budaya yang sebenarnya hal seperti ini tak perlu terjadi.

Yang harusnya terjadi adalah pergerakan perempuan demi mendapatkan hak yang sepenuhnya sama dengan kaum laki-laki. Buatlah Kartini bangga di alam sana. Buat beliau tahu jika pergerakannya tidak sia-sia. Kenanglah Kartini sang pendekar bangsa, pendekar kaumnya, bukan seorang Kartini model kebaya tahunan.

Diffa Zahra, mahasiswa Politeknik Negeri Media Kreatif Jakarta Jurusan Penerbitan