Teringat Kisah Perjalanan Panjangmu

3
310

Pada gerimis itu, kau mengudarakan cerita, tentang perjalananmu. Kau adalah guru yang terkenang sepanjang waktu. Hingga hari inipun, sekalipun kau telah menimbun diri dan tak tampak lagi. Kau begitu elok berkisah, hingga aku seolah ada dalam peranan. Sembari menatap lamat semua anak, kau berkata sedemikian rupa.

Aku bahkan masih utuh mengingat ucapanmu, tingkah tangan dan gerik tubuhmu saat bercerita hingga aku terbawa kedalamnya “Seseorang di sekitarku awalnya tak mengenalku, apalagi tahu namaku. Ini bermula dari sebuah keterbatasan. Dan keinginan apapun, yang seolah semua hanya mimpi ternyata dapat terwujud.

Aku sangat suka dengan warna-warna. Di awal tahun dua ribu dua, aku harus  pulang dari Kediri karena suatu hal. Ya, tak bisa melanjutkan mencari ilmu di pondok pesantren di Lirboyo. Karena saat itu, orang tua yg mengharuskan pulang dengan alasan beban biaya. Masalah klasik yang hingga kapanpun akan dialami para pencari ilmu yang ekonominya tergolong rendah.

“Pulang saja ya, kamu ngaji di rumah. Orang tuamu sedang sulit keuangannya,”.

Akupun pulang ke rumah, sesuai permintaan orang tua, karena hidupku masih bertumpu pada mereka, dari tempat tinggal dan segala biaya hidup. Aku menyalami tangan mereka berdua, tangan keriput dengan usia yang kian menua, ada tekad untuk membahagiakan mereka. Tapi sungguh, ragaku masih ingin mengembara. Melihat sibuknya dunia, menapakkan kaki di belahan bumi lain.

Disisi lain, aku binggung, tentang apa yang harus aku lakukan. Secara tenaga, tidak mungkin untuk seperti yang lain, yang secara fisik dan tenaga lebih kuat. Dan pada titik tak jelas ini, aku merasa dalam kehampaan.

Aku diterpa kebimbangan, karena tak memiliki bekal apapun. Baik dalam tata cara bermasyarakat ataupun secara financial tak mendukukung. Pembatasan sosial pun ku jalani, karena ada rasa malu untuk berbaur dan menampakkan diri di masyarakat. Saat kondisi demikian, aku ditawari seseorang untuk bekerja di pembuatan meubel jati.

“Kan, daripada dirumah, tapi nggak membaur sama tetangga, mending kerja aja di meubel jati. Lumayan kan, dapet penghasilan. Itu lebih baik daripada kamu di rumah saja bukan? Kalau kamu setuju, nanti tak antar ke sana, ya?”

Aku mengiyakan, memang apa yang di katakan itu ada benarnya. Dan saat itu juga keinginanku mengenyam pendidikan di ISI Jogja akhirnya tumbang. Dengan alasan yang sama saat aku tak bisa melanjutkan pendidikan di pondok pesantren, yaitu karena “biaya”, juga kesempatan yang kian tidak memungkinkan.

Aku menjalani hari-hari sebagai kuli di pembuatan meubel jati antara hari ini, hari besok, dan hari kemarin dengan kegiatan yang itu-itu saja. Monoton. Tapi ku lakukan, dalam benakku, timbul keinginan baru, untuk punya alat menggambar. Hal ini ku lakukan hingga empat tahun lamanya.Namun, pada hari-hari terakhir menjelang pengunduran diri, semuanya semakin sulit, untuk biaya hiduppun, susahnya minta ampun. Akhirnya aku memutuskan mencari pekerjaan lain.

Sesuatu yang mulanya hanya mimpi, tapi semua jadi nyata meski dengan proses panjang dan agak melelahkan.

Empat tahun ku lakukan pekerjaan ini. Aku berfikir jika usiaku mencapai tujuh puluh tahun dan terus disini, maka aku akan jadi kuli selamnya.

Kemudian  setelah keluar dari pekerjaan itu, aku melamar  kerja  di Sampoerna Hijau yang kebetulan sedang di adakan kontes mural painting. Dan bersyukurnya, hal ini membuahkan hasil. Aku mendapat juara tiga tingkat provinsi. Tapi pekerjaan ini hanya kerja kontrak. Namun, meskipun hanya kerja kontrak, dari hasil pekerjaan ini bisa  untuk membeli alat gambar sperti spray gun, kompressor, pencil art dan yang lain. Sesuatu yang mulanya hanya mimpi, tapi semua jadi nyata meski dengan proses panjang dan agak melelahkan.

Di lain waktu, aku tetap belajar menggambar hingga  menemukan jati diri sebenranya. Dan menyusun rencana untuk apa yang harus ku  lakukan setelah kontrak ini selesai.

Bersamaan dengan itu, sebelumnya,  aku di daftarkan ke perguruan tinggi oleh kakak perempuanku, meski bukan di universitas yang ku inginkan.  Tapi kupikir, tidak masalah, selama aku masih bisa mencari ilmu, aku akan menjalaninya secara suka rela.

Di bangku kuliah pun aku dapat berkawan dengan banyak orang. Juga dikenal banyak orang. Hingga di semester ke empat, aku baru menyadari, bahwa pendidikan yang selama ini ku tempuh, merupakan jurusan keguruan.

Aku kaget bukan kepalang, Untuk menjadi guru saja, bagiku bukan ‘aku banget’. Sungguh tak ada sedikitpun keinginan untuk menjadi guru. Untuk mencari ilmu kukatakan ‘ya’ tapi ‘tidak’ untuk jadi guru.. aku berpikir, untuk  tak melanjutkan kuliah. Tapi, Tuhan berkata lain, Dra. Fuaidah Aminy berkata:

“Jika  kamu tidak suka mengajar minimal selesaikan kuliah kamu  hingga sarjana dulu.  Karena itu juga biaya, dan kamu pun tak tahu bukan? Kedepannya  mau  jadi apa. Yang penting sekarang, berpikir positif semoga saja ilmu kamu bermanfaat”

Aku  melanjutkan sisa masa  pendidikan, dengan perasaan ingin bersegera lulus.

Orang tua mengharapkanku menjadi guru, apalagi dengan ijazah pendidikan keguruan. maka setelah lulus kuliah, aku menjadi pengajar. Memenuhi keinginan orang tua. Walau sebenarnya, aku menjadi kacau, karena tidak fokus, menjadi pengajar dan mendalami dunia seni sekaligus.

Di tahun duaribu sepuluh, aku diangkat menjadi pegawai negri sipil, aku tak begitu bagga, karena yang ku banggakan hanya kesenian. Tapi lambat launpun, aku menyukainya, karena aku selalu diposisikan menjadi guru kesenian, hal yang selama ini ku dalami.  Dari hal ini juga, aku mendapatkan banyak jaringan.

Di tahun duaribu dua belas, aku memutuskan untuk menikah. Dengan seorang perempuan yang begitu ku cintai dan begitu mencintaiku. Aku bahagia, menjalani hari-hari dengannya. Dia adalah perempuan cantik, menawan. pandai memasak, selalu ceria, dan  begitu berbakti padaku. Aku merasa sempurna sebagai seorang lelaki, dengan lahirnya anak pertamaku.” Kau akhri ceritamu, menatap langit-langit ruang kelas, seperti menerawang pada masa dahulu.

Dan, semenjak cerita ini usai, kau tak nampak lagi pada pandangan kami. Tak kami tahu, apa penyebab hilangmu, kami tetap menanti, hingga kami tahu bahwa kau benar-benar pergi.

       Tirta Danudirja, siswi kelas 12 MA An-Nawawi Sarwodadi Jurusan Keagamaan

3 COMMENTS