Dunia semakin tak menentu. Berita tentang korona berhamburan, sampai-sampai aku bingung mana yang harus kupercaya. Setiap membuka akun media sosial, tiada henti-hentinya berita bermunculan dan menawarkan dirinya untuk dibaca. Tidak ada yang mengaku ini hoaks. Semua tampil memukau dan meyakinkan.
Aku dipaksa membuat pilihan, membuka akun media sosial atau duduk diam saja. Mencoba untuk tidak membuka akun media, rasanya berat. Di buka pun, kepala jadi pusing karena berhamburan berita yang disajikan. Yah, begitulah, orang lagi senang-senangnya memproduksi berita.
Tadi aku mendengar komentar lepas pak Jojo, si tukang sayur itu. “Enggak usah percaya sama berita online yang enggak jelas, mendingan baca koran, lebih akurat,” demikian nasihatnya padaku. Membaca buku atau koran atau majalah terpercaya lebih baik ketimbang media daring. Seperti itulah yang aku simpulkan.
Terus kupikir-pikir, benar juga ya. Di rumahku ada koran Kompas dan majalah Tempo dan majalah Basis. Kadang aku lupa, kalau Kompas memberikan berita terakurat setiap hari dan menjadi media mainstream negeri ini.
Saat pikiranku terarah pada koran Kompas di atas meja tamu, seorang teman yang tinggal satu asrama denganku yang kebetulan sedang mendengar perdebatan kusir di YouTube berceloteh, “Aku ini bodoh, mendengar orang-orang yang sedang mempertontonkan kebodohan mereka di depan publik.” Aku kaget, seketika itu juga, bangkit dan langsung ke kamar tamu, mulai membaca halaman demi halaman koran Kompas.
Itulah kisahku bagaimana menghilangkan kepenatan di tengah merebaknya pandemi korona ini. Menghilangkan rasa pusing karena membombardirnya berita dari media daring yang kebenarannya masih dikaji ulang, dapat ditangkal dengan membaca berita mainstream. Tidak akan sia-sia. Sajian yang ada, membuat pikiran tebuka dan mata melek.
Begitulah kisahku menjadi waras. Kisah tentang mengisi diri dengan banyak membaca bahan yang berkualitas untuk tetap menjernihkan hati dan budi di tengah merebaknya informasi. Temanku yang selalu on fire di akun Face Booknya selalu memperbarui status setiap hari. Kadang terlibat perdebatan lewat komen di unggahan yang berseliweran di media sosial.
Kreatif, Inovatif, Energik.
Sudah saatnya kaum muda bersikap kritis. Begitulah pikirku dan Itu yang menjadi keresahanku hari-hari ini. Sebab anak-anak muda cenderung malas membaca. Anehnya aaat ada informasi muncul dengan mudahnya dibagikan tanpa mengecek kebenarannya. Padahal kaum muda adalah penopang bangsa ke depannya.
Cukuplah kita menikmati kekuasaan mereka yang banyak bicara tetapi sedikit bertindak, terlibat dalam adu jotos dalam forum resmi atau mereka yang di tengah merebaknya wabah justru membahas pengesahan RUU KUHP yang menjadi polemik itu dan Omnibus Law di gedung DPR Senayan, Jakarta. Jadilah generasi kreatif.
Saat menerima hadia dari Kompas setelah tulisan diterbitkan di kolom Muda, saya bangga dengan hadia bajunya. Bukan hanya hadianya, tetapi tulisan di baju yang saya terima. Tulisannya demikian, Kreatif, Inovatif, Energik. Ternyata itu tema ulang tahun Kompas Muda ke 13. Dan menurutku tema yang aktual dan relevan. Kaum muda sejati ialah mereka yang kreatif, inovatif, energik.
Benediktus Jonas, Mahasiswa Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang, Jawa Timur