Hujan di pagi September, kali ini hujan tak serta merta membawa semua kenangan yang tlah berlalu, namun hadirnya kali ini untuk berpartisipasi membasahi jalanan yang kerap berdebu. Menumbuhkan kembali bunga yang ‘tlah layu dan menambah berat beban rindu. Rasanya ingin sekali ku berteman dengan waktu agar dia tak terlalu berambisi untuk berlalu. Namun hal ini tak membuat hari ku kelabu, justru warnanya kali ini lebih biru.
Aku benar-benar mencintaimu di senja itu. Disaat kita sedang menikmati swastamita bersama kemudian kau berseru, “Nikmati senjamu, nikmati kopimu dan menarilah dengan dunia. Bila saatnya tiba, datangi aku dihari itu. Hari dimana senja belum menenggelamkan dirinya dan angan-angan kita”. “Celaka!” bisikku.
Sungguh perkataanmu menggema seakan terperangkap didalam bilik sanubariku, melumat segala resah dan gelisah serta mengitari tanpa jeda. Apa sesungguhnya maksud dari perkataanmu itu? Entahlah, semuanya terdengar seperti akan menimbun semua harap dan anganku. Itu fikir singkatku saat itu.
Kuda besi yang kutunggangi pun membawaku ke tempat itu. Tempat dimana aku merasakan keindahan lebih daripada bunga yang sedang bermekaran ditaman. Aku merasa Tuhan sangat baik padaku saat itu. Aku dipertemukan dengan dirimu, pertemuan yang tak pernah kurencanakan sebelumnya.
Hadirmu yang selalu kutunggu, rangkulmu yang selalu kurindu dan senyummu yang membuat pelangi cemburu itu kini berubah menjadi tatap yang berbeda, tatap yang seolah ingin menciptakan jeda. Kau buat jarak mendekap sorak.
Kini suaramu terbingkai dipojok waktu, mengasuh rindu, memangkas waktu dan merajut pilu. Dulu katamu, hadirku tak hanya sebatas permukaan namun adalah tepian. Namun kini kau katakan hal yang sebaliknya. Kau bilang bahwa segala hal yang sudah tertuang tak perlu dikisahkan ulang. Katamu hidup sudah berjalan dan aku sekarang hanyalah bagian dari masalalu. Kau ajarkan aku untuk tak usah lagi menyapa dan kau harus tau karenamu hatiku menjadi binasa.
Sejak kejadian itu, aku belajar untuk melupakanmu. Melupakan segala hal yang membuat rindu namun berujung pilu, mengais sunyi yang membasahi kalbu dan perlahan aku merajut kembali semangat hidup serta membabat muram yang sudah menemaniku.
Di saat aku sudah berhasil melupakanmu tanpa cacat, kau hadir kembali dan mengatakan maaf karena telah membuatku melalui sepak terjang yang menyentak kelam. Kemudian aku tertawa sejenak sembari berkata, “Kenapa kau hadir kembali? Kenapa? Aku tahu bila hadirmu kali ini tak lagi untuk melepas dahaga. Melainkan untuk terus menebar luka, bala dan dusta. Kau harus tahu, kepergianmu memperkuat akar tegakku.
“Kini aku tak lagi membutuhkanmu, seperti dulu kau tak membutuhkanku. Aku berterimakasih padamu sebelumnya, kar’na hati yang kau patahkan ini aku bertemu dengan seseorang yang dapat memulihkannya. Mencintaiku tanpa jeda dan tak memandangku sebatas tepian melainkan lautan. Dia tak hanya mencintai senja namun dapat mengartikan cinta. Teruntuk kamu, kenanglah aku untuk melukis keseimbangan, sebab segala hal yang terkisah pasti berjejak,” kataku lagi.
Penulis : Vina Anisa
Editor : Adonia Bernike Anaya
Dokumentasi : Tim Editorial Kompas Corner