Suka Cita Santri di Balik Mahasiswa Bergerak

0
147

Beberapa pekan ini kita terlalu menyibukkan diri untuk mengoreksi dan mengkritisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), serta beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) lain yang dinilai cukup bermasalah. Sampai sebetulnya kita lupa untuk memberikan ucapan selamat kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya kepada santri dan pesantren atas disahkannya RUU Pesantren menjadi Undang-Undang (UU) Pesantren pada Selasa (24/9/2019) lalu.

Para santri bisa bernafas lega. Setelah menunggu sejak tahun 2013 yang merupakan tahun pembahasan RUU ini dimulai, kemudian masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2015. Kemudian menjadi RUU usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2018, hingga disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna ke-10 tahun sidang 2019-2020. Mungkin ini pengesahan RUU yang mendapatkan sambutan hangat masyarakat di akhir kepengurusan DPR RI periode 2014-2019 ini.

Kini, amanat Pancasila sebagai philosophische gondslag dan pandangan hidup bernegara untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah tercipta. Keadilan sosial dalam aspek pendidikan itu telah dirasakan oleh para santri dan lembaga pesantren.

Terhapus sudah potret buram negara yang dahulu terkesan gagal dalam mengimplementasikan amanat Pancasila dan UUD NRI 1945. Tidak ada lagi pendidikan nomor satu, dua, dan tiga, semuanya sama. Sebagai sub sistem pendidikan nasional, lembaga pendidikan pesantren telah mendapatkan haknya atas perlakuan yang proporsional, adil, dan setara.

Penantian santri

Sudah sejak lama memang seharusnya undang-undang ini disahkan. Bagaimana penantian santri dan pesantren menunggu-nunggu kehadiran produk hukum yang dapat memayungi mereka. Meskipun dalam perjalanan legislasinya memang melewati adanya pertentangan, baik dari organisasi masyarakat (ormas) Islam itu sendiri, ataupun dari keagamaan lain. Karena mulanya undang-undang ini memang di desain menyangkut pula pendidikan keagamaan, hingga pada akhirnya nomenklatur dan substansinya diubah menjadi pesantren saja.

Tidak bisa dimungkiri bahwa akan selalu ada pro kontra dalam setiap kebijakan yang diambil, karena pada dasarnya memang sulit menghasilkan kebijakan yang seratus persen sesuai dengan keinginan masyarakat secara paripurna. Pada akhirnya memang tidak semua orang bisa kita bahagiakan.

Lulusan santri pesantren yang dulu sulit melanjutkan pendidikan karena ijazah pesantren yang mereka dapatkan tidak diakui oleh negara, hingga keuangan pesantren yang cenderung berjalan dengan logika profit dan swastanisasi kini tinggal cerita. Dengan kehadiran undang-undang ini, diharapkan tidak ada lagi 3.000 lulusan santri tiap tahun yang tidak dapat melanjutkan pendidikan seperti yang terjadi pada Pesantren Lirboyo beberapa tahun silam.

Begitu UU Pesantren disahkan, ijazah lulusan pesantren memiliki tingkat kesetaraan dengan lembaga formal lainnya. Tentu dengan syarat memenuhi jaminan mutu pendidikan.

Tidak akan ada lagi pondok pesantren yang mengalami kesulitan dalam hal pendanaan dan pengelolaan pendidikannya. Data menurut Forum Silaturrahim Pondok Pesantren menyatakan tahun 2018 masih terdapat 3.122 pondok pesantren tertinggal. Diharapkan kondisi akan berubah menjadi pondok pesantren yang berkembang dan sejahtera. Karena saat ini, pada Pasal 49 UU Pesantren telah menjamin, bahwa pesantren akan mendapatkan dana abadi dari pemerintah.

Begitu pun diharapkan tidak akan ada lagi 19 pondok pesantren yang menyebarkan paham radikalisme sebagaimana dilansir Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tahun 2019. Pasalnya dalam Pasal 9 UU Pesantren mengharuskan, bahwa tiap pesantren memiliki kiai dengan kompetensi ilmu agama berlatarbelakang pendidikan pesantren pula. Dengan demikian kita tidak perlu resah dan risau dengan potensi hadirnya paham-paham ataupun pembelajaran yang bertentangan dengan ideologi bangsa dan nilai-nilai Islam itu sendiri.

Justru kehadiran undang-undang ini memberikan secercah harapan kepada kita akan lahirnya tokoh-tokoh berpengaruh dan berkontribusi bagi bangsa ini. Sosok tokoh seperti Nurcholis Madjid akan lahir kembali. Bagaimana tidak, selain menerapkan kurikulum kitab kuning, para santri pesantren pun akan memiliki wawasan kebangsaan dan keilmuan yang setara dengan siswa di lembaga formal lainnya. Prinsipnya, pendidikan pesantren tidak terpisah dari sistem pendidikan nasional.

Filter ideologi

Bahkan UU Pesantren inilah yang akan menjadi salah satu upaya preventif negara terhadap ancaman destruktif yang terjadi, yang berperan ganda juga sebagai filter ideologi. Karena jika kita bertitik tolak pada sejarah peradaban bangsa, maka hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari, ada, dan berfungsinya peran pesantren dalam membangun karakter bangsa. Di mana hal ini sejalan dengan pemikiran Prof. Mahmud MD, bahwa agama-agama di Indonesia menjadi spirit kehidupan bernegara dan mempengaruhi berdirinya negara Indonesia itu sendiri.

Meskipun hari ini bukanlah hari santri, tapi tetap UU Pesantren ini akan menjadi kado terindah bagi para santriwan dan santriwati Indonesia. Mengutip pemikiran T.S Eliot, bahwa masa kini dan masa lampau akan muncul di masa depan, dan masa depan terdapat di masa lampau. Oleh karena itu, kita tidak boleh melupakan peran pesantren dalam pembangunan bangsa dan negara. Sekali lagi, selamat!

Egi Arianto, mahasiswa Hukum Pidana Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta