Desain karya Budi Pradono berjudul kampung vertikal di Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD) 2016. Kompas/Lucky Pransiska

Di deru perkembangan Jakarta yang kian urban, kawasan Kemang berubah dari sebuah lokasi hunian menjadi kawasan bisnis yang penuh energi perubahan. Lewat pameran ”ICAD 2016: Seven Scenes”, tujuh desainer dan seniman mencoba membingkai geliat dan perubahan salah satu ”Jakarta kecil” itu.

Batang kayu bercat putih silang-bersilang, terangkai seperti perancah yang rapi. Dari samping, ia seperti berlapis-lapis rangkaian bingkai kayu, unik. Dari pintu masuknya, ia seperti sebuah ”kulit baru” bagi solid dan bersihnya dinding hotel. Ia tumbuh menjadi lorong kayu yang centang-perenang tapi indah.

Arsitek Budi Prodono ”mengotori” koridor hotel itu dengan apik. Dinding-dinding beton koridor hotel sudah selesai secara tuntas—bersih, rapi, bahkan terasa ”steril”—tanpa perlu diimbuhi centang-perentang perancah kayu itu.

Meski demikian, Budi tega ”mengotori” koridor, mengganti steril dan ajeknya suasana koridor itu dengan sebuah cerita berwujud rupa. Masuklah ke lorong perancah itu, dan rasakan bagaimana centang-perenang kayu itu mengepung kita, lalu ”bercerita”. Kait-mengait kayu-kayu itu sebuah ”rumah” raksasa bagi para figur mainan bercat abu-abu, juga rumah bagi benda-benda temuan lain—para penghuni lorong kayu Budi.

Instalasi ruang ”Kampung Vertikal” (2016, kayu, cat, benda temuan, dimensi bervariasi) karya Budi itu seperti sebuah fragmen hakikat kehidupan urban—yaitu pertarungan ruang. Penciptaan ruang-ruang baru oleh para ”penyerbu kota” yang digiring satu tujuan, yaitu turut mengais rezeki kota. Dinding beton koridor ”steril” itu seperti representasi dari ”para mapan”, yang sebenarnya menjadi kian mapan dan nyaman karena ditopang geliat para ”penyerbu kota” yang mencari rezeki kota.

Segala ”pertarungan ruang” di Jakarta juga menjadi tema dari mural besar karya perupa Eko Nugroho di dinding pelataran depan Grand Kemang Hotel berjudul ”Menyusun Serpihan Pelangi”. Pertarungan ruang di ”Jakarta kecil” memang seperti Kemang membuat rasa takut ”Para mapan” yang bersembunyi di bangunan beton seperti benteng, sementara ”penyerbu kota” waswas karena bisa seketika dianggap pengganggu dan harus diusir dari kota. Eko memilih menggambar ”tower” tinggi dengan para penghuni yang mengintip dan dinding-dinding ”tower” yang tertusuk pedang.

Karya Oscar Lawalata “Back to Black” (2016, kain hitam berpola, 4 x 4 x 4 meter)menjadi salah satu karya dalam pameran Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD). Pameran bertajuk “ICAD 2016: Seven Scenes” itu menghadirkan karya delapan seniman dan desainer, dan berlangsung 7 Oktober hingga 7 Desember.  Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong
Karya Oscar Lawalata “Back to Black” (2016, kain hitam berpola, 4 x 4 x 4 meter)menjadi salah satu karya dalam pameran Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD). Pameran bertajuk “ICAD 2016: Seven Scenes” itu menghadirkan karya delapan seniman dan desainer, dan berlangsung 7 Oktober hingga 7 Desember.
Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong

Membingkai Kemang

Pameran Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD) digelar setiap tahun dan menjadi khas karena selalu mempertemukan para desainer dengan para seniman. Sebagaimana enam ICAD sebelumnya, perhelatan yang selalu digelar di Grand Kemang Hotel, Jakarta, itu seperti jembatan di antara seni terapan dan seni murni, mengeksplorasi kemungkinan baru di antara keduanya.

ICAD ketujuh itu digelar sejak 7 Oktober hingga 7 Desember. Beragam acara diskusi, pemutaran film, ataupun pameran digelar dengan pameran seni rupa ”Seven Scenes” sebagai salah satu unggulannya. Kurator Hafiz Rancajale mengajak Budi Pradono, Agung Kurniawan, Eko Nugroho, Hermawan Tanzil, Oscar Lawalata, Tita Salina, dan kelompok seniman kolektif Tromarama membaca gagasan tentang ruang dan kota.

Karya desainer grafis Hermawan Tanzil berjudul ”Kampung RT/RW” (2016) adalah sebuah pengantar naratif yang memahami bagaimana para seniman dan desainer itu membingkai ”Jakarta kecil” bernama Kemang. Hermawan berkolaborasi dengan sejumlah anak muda, mengumpulkan testimoni dari orang-orang yang sehari-hari tinggal atau mencari penghidupan di Kemang. Kesaksian geliat Kemang dari masa ke masa itu dijadikan sebuah ”buku panjang”.

Seniman video Tita Salina seperti merangkai dua karya Budi dan Hermawan, menghadirkan karya ”The Missing Horizon” (2016, video instalasi dan karya partisipatif). Video dalam karya Tita adalah refleksi dari semakin rapatnya kepungan gedung tinggi, membuat cakrawala tak lagi terlihat dari Kemang. Tita merekam pergerakan sinar laser berkeliling, yang akhirnya menciptakan garis horizontal baru di dinding gedung tinggi, sebuah cakrawala buatan.

Namun, Kemang bukan cuma kehilangan cakrawala. Kemang berubah dalam segala sisi lingkungan dan kehidupan warganya. Komodifikasi yang terjadi di Kemang bukan cuma komodifikasi ruang, melainkan juga komodifikasi segala penanda identitas. Perancang busana Oscar Lawalata dengan halus mengajak kita berkaca, betapa hiruk-pikuk kota tengah mengaburkan yang sakral dengan segala hal yang banal.

Ia menyulap kain-kain hitam berpola menjadi sebentuk kubus raksasa ”Back to Black” (2016, kain hitam berpola). Dengan kubus raksasa yang serba hitam itu, Oscar menyentil praktik komodifikasi simbol-simbol religius dalam tren mode dan gaya hidup. Rincian pola-pola rumit di kain hitam Oscar itu begitu samar, nyaris tak terlihat, seperti tipisnya perbedaan antara dorongan komersial dan dorongan religius dalam perkembangan gaya hidup warga perkotaan, membuat religiositas urban sedangkal urusan atribut penanda.

Hasrat untuk steril dan ”tampil suci” dalam keseharian kaum kota itu juga direfleksikan Agung Kurniawan dengan karya ”The Soap Project” (2016, sabun organik, kertas, besi, instalasi video, dimensi dan penempatan bervariasi). Agung mengolok bagaimana kehidupan manusia modern yang semakin sibuk dengan segala citra tentang diri, ketimbang membereskan pekerjaan rumah yang pokok.

Agung membuat sabun berbentuk wajah orang-orang yang dibunuh dan dihilangkan karena memperjuangkan kemanusiaan—Widji Tukul, Trubus, Munir, Marsinah, dan Udin. Agung mewujud-nyatakan frasa ”cuci tangan” dengan sabun-sabun itu.

”Dunia lain”

Segala refleksi yang dihadirkan para seniman dan desainer membuat Kemang seperti ”Jakarta kecil” yang berbeda dari perkembangan wilayah lain di Jakarta. Kemang seperti sibuk sendiri di dalam ”jagad besar” Jakarta, persis Jakarta yang sibuk sendiri di dalam ”jagad besar” Indonesia. Kemang adalah ”dunia lain” dari Jakarta, dan Jakarta adalah ”dunia lain” dari Indonesia.

”Persis pada titik itulah kesimpulan kami ketika mendiskusikan Kemang dengan para seniman dan desainer. Karya Hermawan Tansil, ’Kampung RT/RW’ memberikan gambaran paling jelas bagaimana Kemang berkembang sendirian, menjadi kawasan unik karena menjadi kantong hunian para ekspatriat, kawasan bisnis, sekaligus kawasan kreatif. Instalasi video Tromarama, ’Junghans VR’, menajamkannya. Karya saling bertautan dan menggenapi karena kami intens berdiskusi sejak Juli lalu, mencoba membingkai Kemang,” kata Hafiz.

Hafiz menyebutkan, sebagai proses yang mempertemukan seniman dengan para desainer, ICAD 2016 membuat beragam pencapaian dan cara pandang baru dalam proses penciptaan karya. ”Proses berkarya Oscar, misalnya, menjadi tantangan baginya untuk mengabstraksi gagasan, keluar dari kepiawaian dia untuk membuat rancangan yang serba konkret,” kata Hafiz.