Nonton dan Berdialog di Kinosaurus

0
1987

Berangkat dari keinginan para pegiat film menghadirkan ruang dialog yang mempertemukan penggiat dan penonton film, lahirlah Kinosaurus. Di tempat ini, penggiat dan penonton film bebas berdialog dan berinteraksi, merayakan film sebagai kunci untuk membuka pintu pengetahuan tanpa batas.

Kinosaurus adalah bioskop kecil (microcinema) yang terletak di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Kinosaurus berada di bagian belakang toko buku Aksara, bersanding dengan Ruang Seduh yang menyediakan berbagai jenis kopi untuk dinikmati, Klub Ganara yang mewadahi berbagai aktivitas kreatif, serta laboratorium Laba-Laba yang kegiatannya juga tak jauh-jauh dari film.

Kelahiran Kinosaurus, digagas para penggiat film, seperti Muhammad Zaidy, Meiske Taurisia, Edwin, dan Adinda Simanjuntak pada Desember 2015. Selain bergiat membuat film, mereka juga memiliki ketertarikan pada pilihan menonton film di Jakarta yang dirasa membutuhkan alternatif baru.

”Kita lihat misalnya di Kine Forum di Taman Ismail Marzuki, ada lagi yang model festival. Di sana, kan, terbukti, masyarakat Indonesia butuh pilihan untuk apresiasi, untuk belajar. Nah, kami ingin menawarkan satu tempat yang memberikan pilihan-pilihan itu,” kata Edwin beberapa saat lalu.

Di Kinosaurus, film-film yang diputar umumnya tidak diputar di bioskop-bioskop besar. Tujuannya memang tidak untuk menjaring banyak penonton, tetapi lebih sebagai ruang alternatif. Karena itu, kapasitas Kinosaurus pun tak terlalu besar.

Kinosaurus Kemang, Jakarta. Kompas/Riza Fathoni (RZF) 20-09-2016 utk Matra Koming
Kinosaurus Kemang, Jakarta.
Kompas/Riza Fathoni (RZF)
20-09-2016
utk Matra Koming

Ruangan yang tersedia maksimal hanya menampung 30 orang. Saat film diputar, ruangan ditata dengan kursi-kursi rendah di bagian depan dan kursi yang lebih tinggi di belakang. Efek gelap didapat dari kain hitam yang menutup seluruh ruangan. ”Meski ruangannya kecil, kami tetap memberi banyak pilihan film yang didukung teman-teman dari film juga,” ujar Edwin.

Mereka bekerja berdasar pemograman. Misalnya pada bulan tertentu diputar film-film box office di luar film Hollywood, seperti film-film yang populer di Inggris, Perancis, Swedia, dan negara-negara lain. Dengan begitu penonton bisa belajar dari film-film hiburan yang juga mendatangkan uang, di luar film-film hiburan yang diputar di bioskop-bioskop besar.

Kala lain, misalnya dengan program yang lebih spesifik, seperti memutar film-film yang membicarakan hak asasi manusia selama satu bulan penuh. Jika respons penonton bagus, bisa dilakukan lagi.

”Jadi, begitu programming system-nya. Di luar itu, banyak juga film-film dari Inggris, Perancis, Denmark, Belgia, hingga Swedia yang kami putar,” ujar Edwin. Selain bekerja sama dengan jaringan pembuat film di luar negeri, Kinosurus banyak bekerja sama dengan institusi pusat kebudayaan, seperti Pusat Kebudayaan Perancis, British Council, Kedutaan Swedia, Kedutaan India hingga Kedutaan Taiwan.

Kinosaurus Kemang, Jakarta. Kompas/Riza Fathoni (RZF) 20-09-2016 utk Matra Koming
Kinosaurus Kemang, Jakarta.
Kompas/Riza Fathoni (RZF)
20-09-2016
utk Matra Koming

Kinosaurus juga sebenarnya tak tabu memutar film-film Hollywood yang sudah tidak diputar di jaringan bioskop besar karena mereka pun berhubungan baik dengan pihak jaringan bioskop besar. Hanya karena masalah teknis, kerja sama dengan bioskop besar tidak selalu bisa direalisasikan.

”Kita enggak punya proyektor yang compatible dengan punya mereka yang kini umumnya sudah menggunakan teknologi Digital Cinema Package (DCP) dan butuh space besar. Di Kinosaurus yang diputar adalah film-film dengan format blue ray, DVD, file digital, 35 mm, 16 mm, dan 8 mm,” ujar Edwin.

Tiga tahun terakhir, teknologi DCP sudah mulai digunakan di dunia perfilman Hollywood, termasuk di Indonesia. Hanya beberapa bioskop tertentu yang belum menggunakannya. ”Jadi, ini memang masalah pilihan. Kami menawarkan film yang lain yang penontonnya ada, termasuk film-film Indonesia lama, seperti kemarin kita putar, Opera Jawa dan A Copy of My Mind. Kan, baru tahun lalu, tetapi masih ada dan banyak yang belum sempet nonton,” kata Edwin.

Untuk film-film Indonesia tersebut, selain memutar filmnya, mereka juga mengundang pembuat filmnya untuk mendiskusikan film mereka. Beberapa nama beken yang pernah dihadirkan di Kinosaurus, misalnya, Garin Nugroho, Riri Riza, dan Joko Anwar. ”Dari situ kami berharap kemudian menimbulkan kesempatan untuk sharing pengetahuan antara penonton dan pembuat filmnya atau kebalikannya,” kata Edwin.

Kinosaurus Kemang, Jakarta. Kompas/Riza Fathoni (RZF) 20-09-2016 utk Matra Koming
Kinosaurus Kemang, Jakarta.
Kompas/Riza Fathoni (RZF)
20-09-2016
utk Matra Koming

Respons positif

Meski belum genap setahun, sejauh ini respons masyarakat terhadap kehadiran Kinosaurus cukup positif. Saat ini, aktivitas pemutaran film di Kinosaurus difokuskan pada Sabtu dan Minggu. Jadwal dan film yang diputar dapat dilihat melalui situs web dan Twitter Kinosaurus. Untuk umum, harga tiketnya Rp 50.000, sementara untuk pelajar Rp 35.000.

”Kami masih terus lihat respons masyarakat sambil belajar juga, tes terus, cari cara promosi yang pas. Komunikasi terus ke penonton, suplai informasi. Kalau filmnya terlalu asing, kami kasih tahu karena kadang tidak selalu ada pembuat film yang bisa dihadirkan,” kata Edwin.

Di luar program pemutaran film rutin, Kinosaurus belakangan juga makin kerap digunakan sebagai tempat memutar karya pembuat film indie yang umumnya anak-anak muda. Malah tidak melulu film, tetapi juga kegiatan di bidang-bidang yang juga menawarkan pengetahuan baru, seperti musik, pembacaan puisi, hingga peluncuran atau bedah buku. Salah satunya acara yang menghadirkan penulis Eka Kurniawan.

”Memang awalnya dari film, tetapi film selalu bersentuhan dengan banyak hal, dan pada akhirnya membicarakan isu tertentu. Mau film yang menghibur pun tetap ada konten yang ingin dibicarakan oleh pembuatnya,” kata Edwin.

Ruang dialog seperti itulah yang menurut Edwin kini kian hilang karena tidak terfasilitasi dengan baik. Padahal, kebutuhannya makin banyak karena saat ini komunitas film di Tanah Air berkembang pesat. Mereka tidak melulu bicara tentang bagaimana membuat film, tetapi juga tentang apa yang ingin dibicarakan di film mereka.

”Kami senang kalau melihat ada interaksi antarmanusia. Penting sekali melihat anak-anak muda dan manusia pada umumnya untuk ngobrol, membicarakan unek-uneknya. Karena berbagi pengetahuan selalu menyenangkan,” kata Edwin.

Tak bisa dimungkiri jika saat ini makin banyak kanal yang tersedia untuk mengekspresikan pemikiran-pemikiran setiap individu, seperti halnya Twitter. Namun, menurut Edwin, saluran ekspresi analog yang memungkinkan setiap orang berjumpa dan ngobrol jangan sampai hilang.

”Kami enggak terlalu punya mimpi yang muluk-muluk. Karena ketika kebudayaan menonton dan membicarakan film menjadi terawat, sudah beres tujuan kami. Dari awal itu saja, memberi pilihan dan warna terhadap tontonan orang-orang,” kata Edwin.

Kinosaurus Kemang, Jakarta. Kompas/Riza Fathoni (RZF) 20-09-2016 utk Matra Koming
Kinosaurus Kemang, Jakarta.
Kompas/Riza Fathoni (RZF)
20-09-2016
utk Matra Koming

DWI AS SETIANINGSIH


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Oktober 2016, di halaman 28 dengan judul “Nonton dan Berdialog di Kinosaurus”.