Pantas penyanyi Tony Bennett penuh penghayatan menyanyikan lagu ”I Left My Heart in San Francisco”. Kota tua yang berbukit-bukit itu punya segala macam eksotisme dan romatisisme sejarah. Kami berkeliling kota dengan sebuah ”cable car” ”jadul”. Perjalanan dua jam itu seperti potong kompas meniti lini masa San Francisco sejak 1776.

Dari kejauhan, cable car sewaan yang dikemudikan Josh terlihat jelas. Bentuknya yang meniru bentuk trem legendaris San Francisco sangat kontras dengan bus, truk, dan mobil-mobil keluaran terbaru yang tengah melintas di Geary Street. Juga loncengnya, yang nyaring meminta pengendara lain bergegas.

”Ayo cepat, kita segara berangkat. Saya akan membuat kalian berkenalan dengan San Francisco” ujar Josh yang menyapa kami dari balik kemudi besarnya. Kendaraan itu mungkin sebuah bus, tapi sudah dirombak menjadi mirip kereta kabel atau trem khas San Francisco. Horn Blower Classic Cable Car, perusahaan tempat Josh bekerja, memang menawarkan sensasi eksotisme berkeliling kota menumpang ”trem” bersejarah San Francisco.

”Angin bulan September di San Francisco cukup dingin. Kalau kalian kedinginan, ambillah selimut di kolong bangku, ada sepuluh selimut di sana,” ujar Josh membunyikan lagi lonceng ”kereta” itu, pelan-pelan menjalankan ”keretanya” di antara hiruk-pikuk pagi San Francisco.

Josh piawai memandu perjalanan, melewati jalanan yang penuh warga menikmati pagi. Dengan banyolan di sana-sini, mengantar cerita bagaimana warga San Francisco begitu mencintai kota tua di pesisir barat Amerika Serikat itu, mengomentari para pejalan kaki menuntun anjing peliharaan mereka, yang memang ada di mana-mana.

”Rasa-rasanya, di kota ini ada lebih banyak anjing daripada manusia, ha-ha-ha. Kami selalu menikmati jalan-jalan pagi bersama anjing kami, menikmati San Francisco. Kami semua seperti Tony Bennett, lagunya terkenal di negara kalian? Saya putarkan saja, ya,” ujar Josh.

Bait-bait rindu lagu “I Left My Heart in San Francisco” pun mengiringi perjalanan meninggalkan pusat kota San Francisco. Ketika nyanyian Bennett habis, kami semakin mendekati Bay Area, semakin tak sabar untuk melihat Golden Gate Bridge, jembatan gantung yang terkenal itu.

Gempa besar

Josh mulai bercerita tentang tragedi gempa tahun 1906, yang selamanya mengubah wajah kota yang sejak abad 18 menjadi pintu gerbang Amerika Serikat menuju Samudra Pasifik. Pada 1906, terjadi gempa besar, disusul kebakaran yang terjadi selama empat hari berturut-turut, merusak sekitar 80 persen bangunan di San Francisco. Seluruh bangunan di kiri-kanan jalanan yang kami lalui adalah ”baru”, dibangun tahun 1906 atau sesudahnya, termasuk monumen megah yang sedang kami tuju, Palace of Fine Arts.

”Palace of Fine Arts dibangun pada 1914, dirancang untuk menjadi lokasi sebuah pameran besar, Panama-Pacific International Expotition. Pameran itu dibuat untuk merayakan selesainya Terusan Panama, sekaligus menunjukkan kepada dunia bahwa San Francisco telah bangkit dari bencana gempa 1906. Kami membangunnya dengan indah,” ujar Josh.

Sebagai gerbang Amerika Serikat menuju Pasifik, San Francisco menjadi kota dagang terpenting dan kaya di pesisir barat Amerika. Kemegahan Palace of Fine Arts memberikan gambaran betapa kuat hasrat orang-orang San Francisco pada 1915 untuk berkata ”bencana itu telah berlalu.”

Bangunan utamanya adalah pilar-pilar yang menyangga kubah raksasa, dengan sebuah laguna buatan ukuran raksasa dan taman asri yang pagi itu dipenuhi para warga. Palace of Fine Arts telah dipugar pada 1965, dibangun kian megah dengan imbuhan patung dan relief bergaya Romawi dan Yunani. ”Dari sejumlah bangunan yang dibangun sebagai lokasi Panama-Pacific International Expotition pada 1915, inilah satu-satunya yang tersisa. Kami mempertahankannya, karena warga kota mencintai monumen kebangkitan kami ini,” ujar Josh.

Para wisatawan mengunjungi kubah utama Palace of Fine Arts, di San Francisco, Amerika Serikat. Bangunan bergaya Romawi dan Yunani itu dibangun pada 1914-1915, dan digunakan sebagai lokasi pamberan besar Panama - Pacific International Expotition pada 1915. Pameran itu digelar untuk memeringati dibukanya Terusan Panama dan sebagai penanda keberhasilan San Francisco bangkit dari bencana besar gempa dan kebakaran kota yang terjadi pada 1906. Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong (ROW) 15-10-2016
Para wisatawan mengunjungi kubah utama Palace of Fine Arts, di San Francisco, Amerika Serikat. Bangunan bergaya Romawi dan Yunani itu dibangun pada 1914-1915, dan digunakan sebagai lokasi pamberan besar Panama – Pacific International Expotition pada 1915. Pameran itu digelar untuk memeringati dibukanya Terusan Panama dan sebagai penanda keberhasilan San Francisco bangkit dari bencana besar gempa dan kebakaran kota yang terjadi pada 1906.
Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong (ROW)
15-10-2016

Golden Gate Bridge

Josh tahu, Goldeh Gate Bridge selalu jadi minat utama turis. Ia mengantar kami menuju tepian teluk, di sebuah titik pemotretan terbaik jembatan gantung sepanjang 1.280 meter yang selesai dibangun 1937 itu. Kami pun berfoto-foto selama 10 menit. Beberapa dari kami langsung mengunggahnya ke akun-akun media sosial, memamerkan ”kemewahan” kami memandangi Golden Gate Bridge. Juga memandangi Alcatraz, pulau penjara yang terkenal itu.

”Di ujung jembatan itu, ada sebuah terowongan yang menghubungkan Golden Gate Bridge dengan Marin City,” ujar Josh, menutur riwayat terbaru Golden Gate Bridge. ”Sayang sekali, kalian terlalu sibuk sehingga kita tak sempat ke sana. Terowongan itu dulu bernama Rainbow Tunnel, karena pintu terowongannya dicat dengan warna-warna pelangi. Kami sangat bangga dengan Rainbow Tunnel. Tapi kami juga sangat bangga kepada aktor komedi Robin Williams, yang punya tautan sejarah penting San Francisco. Pada 2015, kami mengganti nama Rainbow Tunnel menjadi Robin Williams Tunnel. Rugi benar, kita tak sempat ke sana,” ujar Josh.

Wah, Josh ini benar-benar membuat penasaran sekaligus jengkel. Ia tertawa menenangkan, bercerita bahwa kami sedang menuju salah satu tempat sejarah terpenting San Francisco. ”Kita sedang menuju asal-usul San Francisco, kalian tak akan kecewa,” kata Josh.

Josh memang tak mengecewakan. Menjelang tengah hari, cable car yang kami tumpangi memasuki ”kota benteng” Presidio, cikal-bakal San Francisco. ”Benteng Presidio berawal dari kedatangan para tentara Spanyol di Presidio pada 1779. Ia pernah menjadi kubu pertahanan tentara Spanyol, pernah menjadi markas tentara Meksiko, dan akhirnya direbut tentara Amerika Serikat dalam perang Amerika Serikat-Meksiko pada 1848,” kata Josh, mengemudikancable car menjelajah bangunan-bangunan tua yang terlihat kokoh.

Ya, gempa hebat 1906 pun tak menghancurkan Presidio. Bahkan, Presidio yang ketika itu masih menjadi markas tentara AS menjadi salah satu tempat pengungsian terbesar para warga San Francisco yang menjadi korban gempa dan kebakaran 1906.

Jembatan Golden Gate Bridge di San Francisco, Amerika Serikat. Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong (ROW) 15-10-2016
Jembatan Golden Gate Bridge di San Francisco, Amerika Serikat.
Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong (ROW)
15-10-2016

Buffalo Soldiers

Kami melewati sebuah patung tentara di sana, dan Josh menuturkan riwayat besar Buffalo Soldiers yang merupakan bagian dari 10th Cavalry Regiment di Presidio. Itulah resimen para tentara keturunan Afrika-Amerika, para mantan budak yang bergabung dengan tentara Amerika Serikat dalam perang Civil War yang berlangsung pada tahun 1861 hingga 1865.

Dalam perang itu, tentara Amerika Serikat berhasil mengalahkan tentara Konfederasi pendukung perbudakan, dan kemenangan itu selamanya menghapuskan perbudakan warga Afrika-Amerika. Untuk mengenang sejarah perang yang turut membentuk bangsa Amerika Serikat itu, pada 1866 Buffalo Soldiers resmi didirikan di Kansas. Pada 1903, Buffalo Soldiers terpilih menjadi pasukan kehormatan menyambut kunjungan Presiden AS Theodore Roosevelt ke Presidio.

Sejak 1 Oktober 1994, pemerintah mengalihkan fungsi Presidio sebagai markas militer menjadi taman nasional, mengakhiri riwayat 219 tahun Presidio sebagai salah satu pangkalan militer terpenting Amerika Serikat. Sejak itu, Presidio dilindungi sebagai salah satu warisan sejarah Amerika Serikat.

Saat melewati Presidio Officers’ Club, kami melihat para arkeologis yang sedang menggali situs arkeologi terbaru, mencari peninggalan tentara Spanyol di Presidio. ”Kami punya sejarah sangat panjang di Presidio, yang juga membentuk sejarah San Francisco dan sejarah Amerika Serikat. Kami bahkan masih terus mencari tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi di masa lalu,” kata Josh, yang membunyikan loncengnya menyapa para arkeolog itu.

Perjalanan singkat bersama Josh membuat babak-babak sejarah kota tua itu berkelebatan di kepala. Kami pun kembali menyusuri jalanan San Francisco, yang kini terasakan ”berbeda” ketimbang sebelum kami melihat kemegahan Palace of Fine Arts dan Presidio. Bukan megahnya bangunan-bangunan itu yang membuat San Francisco tiba-tiba ”berasa beda”, tapi cerita-cerita di balik bangunan-bangunan itu. Pastilah, cerita pula yang membuat hati Tony Bennett selalu tertinggal di San Francisco.

Penggalian arkeologi di Presidio, sebuah bekas benteng dan pangkalan militer Amerika Serikat di San Francisco. Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong (ROW) 15-10-2016
Penggalian arkeologi di Presidio, sebuah bekas benteng dan pangkalan militer Amerika Serikat di San Francisco.
Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong (ROW)
15-10-2016

Aryo Wisanggeni G


Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Oktober 2016, di halaman 30 dengan judul “Romantisisme Sejarah San Francisco”.