Bagi mereka yang suka musik, mungkin pernah membayangkan dirinya terlihat keren beraksi di panggung dengan tata lampu megah. Setelah turun panggung, fans jejeritan minta tanda tangan dan foto bersama. Bangunlah.

”Coba saya tanya, berapa jam dalam sehari kalian memikirkan band atau musik kalian?” tanya Farid ”Rian” Amriansyah kepada belasan peserta workshop musik di acara Go Ahead Challenge 2015, Sabtu (22/8) di Jakarta. Jawabannya beragam, ada yang sejam, ada yang enam jam.

Rian adalah mantan vokalis band Auman yang kini mengelola label Rimauman Music. Ia dan bandnya berasal dari Palembang, Sumatera Selatan. Kiprahnya di lingkungan musik independen serta pengalaman nge-band membuatnya jadi pemateri di acara itu.

Dia bilang kepada peserta pelatihan itu bahwa selama aktif bersama Auman, Rian sepanjang hari memikirkan bandnya. Dia berpikir rencana bagi band dan berjejaring, terutama dengan band sewarna dari sejumlah kota di Indonesia dan luar negeri.

Auman, band bercorak hardcore/stoner metal, ia bentuk pada 2010 dan membubarkan diri pada 2015. Mereka menghasilkan satu album penuh Suar Marabahaya yang disukai banyak orang. Album itu mereka produksi sendiri dengan menitip edar pada label Demajors.

Rian berujar, sejak band terbangun, mereka membikin rencana jangka panjang lima tahunan. Rencana itu tersusun dalam sebuah buku.

Buku itu ia ibaratkan sebagai buku Garis-Garis Besar Haluan Negara ala pemerintah. Hal sama ia terapkan pada band yang ia asuh saat ini, Gerram, juga dari Palembang. Ia sempat menunjukkan buku yang mencatat jadwal kegiatan band.

Auman sendiri dikenal sebagai band tur ”garis keras”. Dari Palembang, mereka pernah menempuh perjalanan darat 72 jam pergi-pulang untuk tampil selama 30 menit di Rock in Solo di Jawa Tengah. Panitia tak sanggup membelikan tiket pesawat. Dana mereka pas-pasan. Kamar hotel dipakai 10 orang.

Mereka juga pernah menyusun tur singkat ke Malaysia dan Singapura yang digagas komunitas, tanpa sponsor. Namun, mereka puas. Album dan kaus yang mereka bawa ludes.

Tur, bagi Rian, adalah hal penting. Selain untuk memperdengarkan musik mereka, tur juga menggembleng mental personel band dan kru. ”Perjalanan bareng, apalagi kurang nyaman, akan menunjukkan karakter sebenarnya seseorang,” ujarnya.

Walau begitu, tur adalah satu bagian saja dari perjuangan yang harus ditempuh band. Tur hanya bisa terwujud jika band itu sudah punya rekaman. Lebih baik lagi jika sudah dipublikasikan atau diulas media massa. Karena itu, menyusun media kit adalah keniscayaan.

Album bisa diproduksi swadaya jika punya uang Rp 25 juta, bisa juga sedikit lebih murah seperti yang dilakukan Kelompok Penerbang Roket. Dengan dana segitu, band bisa mencetak sekitar 1.500 keping cakram padat. Distribusinya bisa diedarkan sendiri atau titip edar.

Artikel ini tidak akan cukup menjelaskan cara membesarkan band. Namun, hal prinsip seperti rekaman yang layak dengar, berjejaring, berpromosi, dan berpentas tak boleh dilupakan. Setelah itu terlaksana, baru bisa mengecap enaknya jadi anak band. Seringai, misalnya.

Arian 13, vokalis Seringai, menceritakan, setelah 13 tahun berdiri dan punya tiga album, kuartet asal Jakarta itu masih harus bersiasat untuk bertahan. Salah satunya membuat merchandise. Kaus Seringai mereka produksi sendiri.

Seringai memproduksi sekitar 30 desain kaus. Setiap desain dibuat 300 helai. Dari harga jual Rp 135.000 per kaus, band mendapat Rp 40.000. Seringai juga membayar ilustrator untuk merancang kaus mereka, selain sebagian dikerjakan Arian sendiri.

Arian dan Rian sama-sama punya hasrat di musik. Namun, nasib band masing-masing berbeda. Maka dari itu, menjadi musikus bukan satu-satunya pilihan. Bekerja dari balik layar bisa jadi alternatif.

”Jadi kru panggung profesional bisa ditekuni. Atau menjadi jurnalis musik,” kata Arian.

Nah, kalian sudah membuat pilihan?

(Herlambang Jaluardi)


Versi cetak artikel ini terbit di rubrik ‘Kompas Kampus’ harian Kompas edisi 1 September 2015, di halaman 33