Taman Bumi Batur, satu-satunya ”geopark” yang diakui dunia di Indonesia, menawarkan pemandangan menakjubkan dari deretan pegunungan. Keindahan itu semakin kentara jika disaksikan menjelang matahari terbit dari ketinggian. Keindahan itu memikat wisatawan dari berbagai penjuru dunia. Mereka rela bangun di pagi buta lalu mendaki perbukitan sunyi di atas Danau Batur.

Setiap menjelang dini hari, jalur pendakian di Lereng Gunung Batur tampak menyala oleh kerlap-kerlip cahaya yang seolah menyambung dari kaki hingga puncak gunung. Cahaya itu berasal dari senter penerangan jalan yang dibawa para pendaki yang selalu ramai ke arah puncak Batur. Jauh dari keramaian kerlap-kerlip cahaya itu, segelintir wisatawan justru tertarik menempuh rute sunyi yang tak banyak dilalui demi pemandangan menakjubkan matahari pagi.

Sejak langit masih diterangi bintang-bintang pagi, rombongan sudah bersiap mendaki menuju Banjar Alengkong yang merupakan dusun tertinggi di atas Pura Hulun Danu Batur. Karena jalanan ekstrem yang tak bisa dilalui mobil biasa, perjalanan lebih nyaman ditempuh menggunakan mobil berpenggerak empat roda. Ditemani sopir andal Wayan Kocong, perjalanan dari hotel di Desa Kedisan menuju titik tertinggi Bubung Gede (1.525 meter di atas permukaan laut) menempuh waktu sekitar satu jam.

Memasuki Banjar Hulun Danu, jalanan terus mendaki dengan jurang di sepanjang kanan dan kiri. Tiba di Banjar Alengkong, mobil berjalan perlahan karena jarak pandang tak sampai 1 meter oleh tebalnya kabut. Mobil kemudian terpaksa diparkir di tepi jalan karena jalan setapak mendaki tak memungkinkan lagi ditempuh dengan kendaraan. Bersenjatakan senter di tangan, kaki menapaki bukit terjal mendaki dengan tanah gembur yang mudah lepas.

Puncak Rinjani

Apa boleh buat, kali ini, matahari enggan mempertunjukkan ritual pagi dengan terbit dari balik pegunungan. Hanya sesaat, Gunung Agung yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Bali dan Gunung Rinjani di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tampak membayang di langit sebelum kemudian kembali tertelan pekatnya kabut pagi. Pemandangan baru benar-benar cerah setelah lewat pukul 07.00.

Jika cuaca sedang murah hati, kombinasi pemandangan di Bubung Gede menyuguhkan keindahannya. Di sebelah barat tampak Danau Batur dan Gunung Batur, Gunung Abang dan Gunung Agung di sebelah selatan, sedangkan di sebelah timur terlihat Selat Lombok dan Gunung Rinjani di Lombok.

Untuk menghibur kekecewaan, para pemandu wisata yang menemani wisatawan asing itu mempertontonkan foto matahari terbit ketika cuaca cerah yang dipotret dengan menggunakan telepon seluler. Dari gambar tersebut terlihat indahnya Puncak Rinjani bersanding dengan Puncak Gunung Agung, Gunung Abang, dan Gunung Batur. Di kejauhan tampak pula indahnya lautan dan tepat di bawah tebing terlihat Danau Batur. ”Kalau matahari enggak muncul, kami juga merasa sedih,” kata pemandu wisata, Agus.

Perlahan setelah kabut menghilang, seluruh gugusan pegunungan dan danau mulai tampak. Namun, karena matahari sudah naik cukup tinggi, Gunung Rinjani dan pemandangan laut tak lagi tertangkap oleh mata. Sarapan pagi memang terasa berkesan karena dari balik kabut tiba-tiba datang Kadek Warni yang menjajakan kopi bali panas seharga Rp 5.000 per gelas.

Jalur pendakian Batur ini, menurut pasangan wisatawan dari Belanda, sangat menarik karena murah dengan biaya hanya Rp 300.000, sudah termasuk sewa kapal menyeberangi Danau Batur. ”Inilah keuntungannya tracking di Bali. Tidak ada matahari, maka tidak ada uang. Tapi setidaknya kami bisa sarapan di tempat indah ini,” tambah William yang menuai tawa semua orang.

Tak menyaksikan matahari terbit, perjalanan turun menuju Danau Batur bisa menjadi pengobat kekecewaan. Melewati hutan pinus, wisatawan disuguhi keindahan alam danau dan disambut perahu yang akan membawa mereka menyeberang. Rute jalan kaki di Kaldera Danau Batur ini terbukti banyak memikat minat wisatawan dari Eropa, Amerika, termasuk wisatawan Asia dari Singapura, Malaysia, dan India.

Untuk Kaldera Batur Tracking dengan jalur pendakian ke Bubung Gede tersedia sekitar 35 pemandu wisata yang tergabung dalam organisasi Bali Tracking Caldera Batur. Lokasi ini jarang dikenal wisatawan lokal dan justru diminati turis asing sejak setahun terakhir. Jumlah pengunjung dengan maksimal empat orang per grup biasanya ramai di musim kemarau seperti saat ini. Tiga bulan terakhir, sudah ada pendakian oleh sekitar 150 grup turis yang 99 persen adalah wisatawan asing.

Selain Bubung Gede, ada lima jalur pendakian lain di Kaldera Batur. Dua jalur di wilayah Desa Trunyan, satu jalur di Toya Bungkah, dan satu jalur lagi melewati Pura Jati. ”Kami jualan di sini, seluruh pengetahuan yang kami punya, kami sampaikan ke tamu,” kata pemandu wisata, Ketut Slamet.

Kepala Desa Trunyan, Wayan Arjana, menyebut pendakian di Trunyan sebagai jalur cantik yang berakhir di Puncak Bukit Abang I. Jalur pendakian yang bisa ditempuh dalam 45 menit di Trunyan ini sekaligus menjadi potensi wisata baru yang layak digarap di samping wisata kunjungan ke makam kuno masyarakat Bali Mula.

Jika ingin mendaki massal dalam suasana ramai, pendakian ke Gunung Batur (1.717 mdpl) bisa menjadi pilihan. Pada Senin (17/8), para pendaki yang didominasi mahasiswa dan pelajar sudah mulai naik sejak pukul 03.00 pagi dari titik pemberangkatan awal di Pura Jati, Toya Bungkah. Dari Puncak Gunung Batur, wisatawan dapat melihat pemandangan Danau Batur, Kawah Batur, Gunung Agung, Gunung Penulisan, dan perbukitan yang luas. Gunung dan Danau Batur adalah satu sisi Bali yang tak habis menyimpan keindahan.

Mawar Kusuma


Versi cetak artikel ini terbit di Harian Kompas edisi 30 Agustus 2015, di halaman 25 dengan judul “Mentari Rinjani dari Tebing Batur”