Bandung malam ini sangat sepi, jalan layang yang Hinata lewati tak seperti biasanya. Sesekali Hinata melirik ke arah spion motor yang ia tumpangi, ‘matanya indah’ batin Hinata.
“Kenapa liat-liat? saya aneh ya?”, Hinata tertegun seketika mengaburkan pandangannya, “hah? ngga kok.. itu lampu kota nya cantik”.
“Oh, saya kira liatin saya haha“, balas lelaki dengan kemeja flanel kotak-kotak warna merah tua yang sedang mengendari motor itu.
Lelaki itu Marka Aditya, lelaki yang diliputi pesona. Ntah mengapa sosok-nya mampu mengambil fokos setiap pasang mata. Dia seperti apa yang selalu perempuan idam-idamkan. Melihat setiap manusia apa adanya, seakan setiapnya sempurna. Terasa berbeda saat bersamanya. Ya, ia penyebab sebagian jiwa jatuh cinta.
Orang-orang memanggilnya Marka, tapi aku lebih suka menyebutnya dengan nama Adit, lebih tepatnya kak Adit karena dia kakak tingkatku.
“Kalo mau peluk bilang aja, jangan tarik baju saya kayak gitu“, ucap lelaki tadi, terlihat sekilas senyuman tipisnya.
“Ngga, ngga ada yang mau peluk! Kak Adit geer“ Hinata kembali gelagapan membalas perkataan lelaki dengan aroma parfum yang begitu semerbak. Aroma yang familiar untuk para lelaki namun sangat cocok dipakai olehnya. Lelaki tersebut terkekeh kecil.
“Lampu merah depan belok kiri kan?“, tanyanya lagi kepada Hinata.
“iya“, Hinata mulai menyadarkan dirinya agar tak jatuh suka terlalu dalam. “Dari situ ikutin jalannya aja, nanti ada pertigaan belok kanan”, tutur Hinata menyambung jawabannya tadi.
“Kenapa dijelasin detail? kan kamu saya bonceng, padahal nanti di belokan selanjutnya kamu bisa kasih tahu lagi,” lagi-lagi lelaki itu terkekeh.
—
Mengapa rumahnya dari kampus tak begitu jauh pikir Hinata. Perjalanan nyaman yang sedari tadi ia rasakan sebentar lagi akan usai padahal belum genap 30 menit mereka diatas motor.
“Lapar ga? saya lapar euy”, tanya sang lelaki memecahkan lamunan hinata.
“Eh? eu.. mau makan apa?”, jawab hinata yang nyatanya tidak menjawab pertanyaan.
“Daerah sini biasanya ada tukang apa malem-malem gini?”. Hinata mengedarkan matanya, ia menemukan mie ayam roda biru kesukaannya di bahu kiri jalan.
“Mie ayam mau ngga?” tunjuk Hinata.
“Hayu, kebetulan saya suka mie ayam“, balasnya. “lah sama dong, Nata juga suka”, Hinata tersenyum kecil.
Sama-sama suka mie ayam saja membuat Hinata senang, bagaimana jika mereka sama-sama suka dalam makna cinta. Betapa bahagianya pikir Hinata.
Marka meminggirkan motornya tepat disamping roda mie ayam tersebut. Mereka turun dari motornya lalu segera menempati meja yang hanya ada satu di tempat itu.
“mas pesen dua ya“, ucap sang lelaki. Hinata seketika menyambar ucapan tersebut “yang Nata saosnya sedikit”. Marka lagi-lagi terkekeh.
Entah berapa kali hari ini Hinata melihat ekspresi Marka yang jarang sekali ia temukan di kampus. Ekspresi senyum dan tawa kecil yang sangat manis baginya.
“yang satu saos nya sedikit ya mas”, tambah lelaki itu memperbaiki pesanannya.
Sambil menunggu mie ayam, mereka mengobrol. Tanpa Hinata sadari ia semakin jatuh suka. Tatapan mata Marka yang selalu menatap lawan bicara tidak bisa dielakan pesonanya.
“Oh, jadi kamu ga suka pedes?”, tanya Marka sambil menatap mata Hinata begitu hangat.
‘Sadar Hinata, dia hanya menanyakan suka pedes atau tidak, bukan bertanya suka dia atau tidak’, batin Hinata meraung menyadarkannya agar tak hilang kendali.
“Iya, ngga suka”, jawab Hinata pelan. “Kenapa ga suka?,” tanyanya lagi.
“Ya karena pedes lahh,” jawab Hinata dengan nada kesal. Dia tidak suka pedas karena pedas, apalagi selain itu jawabannya? Orang-orang yang tidak suka pedas pun pasti berfikir demikian pikir Hinata.
Kali ini Marka tertawa, tidak lagi terkekeh atau tersenyum kecil. Tawanya renyah sekali hingga gigi gerahamnya terlihat, ya dia tertawa lebar selebar rasa suka Hinata kepadanya. Hinata semakin jatuh suka.
Mie ayam sudah tersaji di meja. Mereka makan dengan khusyuk dan nikmat. Bagi Hinata makan mie ayam kali ini sangat berbeda dari biasanya. Mie ayam dengan rasa jatuh suka ditemani orang yang ia suka.
Rasa Hinata kepada Marka seperti kutipan Franz Kafka, “If a million loved you, I am one of them, and if one loved you, it was me, if no one loved you, then know that I am dead.” — Franz Kafka