Cerita Cinta Kota Metropolitan

0
1608

Cerita cintaku bermula di salah satu sekolah menengah pertama di wilayah pesisir kota Metropolitan yang terkenal kemacetannya. Tidak seperti anak-anak lain pada umumnya, saat itu aku adalah anak kelas 9 yang tidak terlalu aktif dalam hal bersosialisasi dan berorganisasi (introvert).

Dari sudut pandang orang lain aku terlihat dingin dan cuek, mungkin karena aku enggak punya telepon seluler (HP) pada saat itu. Pada pertengahan semester di kelas 9 itu, keluar peraturan dari wali kelas yang mengharuskan murid laki-laki duduk dengan perempuan di kelas itu.

Setelah dipikir-pikir, ini terjadi karena (seperti biasa) anak laki-laki di kelas itu sangat bermasalah dengan pelajaran atau bisa dibilang tak pinter-pinter amat. Saat itu aku bingung untuk duduk dengan siapa, karena tak ada HP dan tak terlalu dekat dengan perempuan-perempuan di kelas itu.

Siswa perempuan yang ku kenal juga sudah punya teman sebangku. Sampai saat mendekati batas waktu untuk mengumpulkan nama teman sebangku, aku belum menemukan siapa pun untuk menjadi teman sebangkuku.

Enggak ada angin enggak ada hujan tiba-tiba salah satu perempuan di kelas itu bertanya mengenai teman sebangku. “Ehh, lu sudah ada teman sebangku belom?” tanya si perempuan itu.

Dalam hati ku, “Wah kesempatan dapet temen sebangku nih,”. Aku jawab lah “Ehh, belom sih. Gua juga ga tahu bakal duduk sama siapa tapi biarin lah ntar juga ada yang mau, ahahaha.”

“Ohh, hmm….kalo begitu mau gak duduk bareng?”. Dia bertanya sambil malu-malu. Gua jawablah sambil mengangguk “Boleh dehhhh….Hehehe”

Awalnya ku kira awal dia cuma basa basi aja, eh tahunya malah ngajak untuk duduk bareng. Di situlah cerita cintaku bermula.

Pertama kali aku duduk bareng sama dia di kelas, aku masih tetap jadi orang yang dingin dan cuek. Bahkan akupun masing canggung sama dia setelah beberapa hari. Jarang banget aku ngobrol sama dia.

Sekalipun mengobrol paling bahasannya basa basi doang. Memang itu juga pertama kali aku duduk sama cewek di kelas. Sampai suatu hari aku kehilangan buku cetak bahasa Indonesia satu-satunya yang ku punya.

“Put”, kata gua dengan memanggil awalan namanya.

Dia jawab, “eh iyaa, kenapaa?”

Gua boleh pinjem buku cetak bahasa Indonesia gak? Perlu banget nih, soalnya gua belom ngerjain sama sekali tugasnya buat besok”.

Dia kasih buku cetak itu sambil bilang “ini pake aja, gua udah ngerjain kok.”

Beberapa hari kemudian baru ku kembalikan buku dia yang udah selesai ku pinjam. Tapi karna aku lagi buru-buru mau main bola di lapangan, kayanya aku taruh buku itu terlalu keras, rasanya seperti membanting.

“Put, ini buku cetak lu” kataku sambil menaruh buku itu sedikit kencang ke meja karena buru-buru.

Di situ dia cuma lihat diriku dengan tatapan yang rada kesel dan entah kenapa tiba-tiba dia nangis. Aku yang bingung pun enggak tahu harus ngapain dan cuma bisa minta maaf berkali-kali dan bertanya salah aku apa. Apakah aku balikin buku itu terlalu lama? Apakah aku ngerusakin itu buku?

“Put, kenapa nangis tiba tiba? Ehh, maaf gua salah ya. Aduh salah gua apa Put ? Kok nangis tiba-tiba ?”. Seperti tipikal laki-laki kalo dibuat panik sama perempuan, aku coba mencari solusi tapi tetap ujung-ujungnya ya enggak ketemu.

Setelah brainstorming, aku sadar bahwa yang bikin dia nangis itu bukan karena aku telat mengembalikan bukunya, tapi karena aku enggak sengaja membanting buku itu. Dari situ aku tahu dia orangnya sensitif dan lemah lembut. Mulai saat itu aku coba mengubah diriku yang tadinya dingin dan cuek, menjadi orang yang sedikit lebih hangat dan caring.

Sebulan lebih setelah duduk bareng. Hubunganku sama dia mulai tambah baik, aku udah mulai mengenal dia lebih baik dan aku pun udah jadi orang yang tak sedingin dulu, atleast buat dia. Di titik ini aku udah bisa basa-basi sama dia, tak seperti sebelumnya yang cuma bisa ngomong serius doang.

Setiap hari aku selalu iseng basa-basi, ledek-ledekan, bercanda kaya anak SMP biasanyalah, masih lucu-lucunya. Aku sama dia bisa dibilang lagi di masa di mana kita saling mengenalkan sifat-sifat kita masing-masing atau kalo orang bilang tuh PDKT. Dengan keterbatasan alat komunikasi karena kami sama-sama  tak punya HP, kami berdua sering tukar-menukar surat. Entah kenapa rasanya itu berbeda tukar-menukar surat sama chat saja memakai HP.

Suatu saat, kami lagi dalam kondisi mau pulang sekolah, yang aku tahu dia kalau pulang selalu bareng sama sahabat aku di kelas 8 dulu, yang kebetulan juga sajabat dia, naik angkot. Tapi kali ini aku melihat dia pulang sendirian. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk bertanya.

Dengan ekspresi takut aku bertanya. “Udah mau pulang Put?”

“Iya nih, lu juga udah mau pulang?” Dia bertanya balik.

Aku jawab “Yoi, hari ini enggak ada kegiatan ekstrakulikuler sih. Lu naik apa pulangnya?”

“Angkot sih” katanya.

Dengan ragu- ragu aku bertanya “Mau bareng gak, ke angkotnya? Siapa tahu searah.”

Dia jawab. “Boleh yuk”

Akhirnya kami jalan bareng ke halte sembari menunggu angkot datang. Awalnya aku kira, kami bakal naik angkot yang berbeda, karena saat itu masih belum tahu rumah dia di mana. Saat angkot yang biasa aku naikin datang, aku bingung melihat dia juga bangun dan jalan ke angkot itu.

Di dalam angkot aku langsung bertanya, “Put, lu selama ini naik angkot ini?”. Dia bilang “Iya, lu juga? Kok gak pernah ketemu sih hahaha”

Lucunya ternyata kami selama ini naik angkot yang sama, tapi mungkin enggak pernah ketemu karena aku selalu pulang lebih sore setelah ikut kegiatan ekstrakurikuler. Di angkot itu aku sama dia basa-basi lagi sampai aku sudah mendekati tujuanku untuk turun.

Lucunya, pas aku turun, dia juga ikut turun. Langsunglah aku tanya lagi, “Lah Put, ngapain lu ikut turun juga!?”. Dia juga bingung dan bertanya “Lah lu juga ngapain turun?!”. Ternyata selama ini rumah dia enggak terlalu jauh jaraknya dari rumahku.

Aku bilang sama dia, “Put gimana kalo mulai hari ini kita pulang bareng terus!” Dia jawab, “Setuju, kita juga searah kan jadi harusnya gak masalah”. Dari hari itu aku memutuskan untuk pulang bareng karena searah, lagi pula ini sudah mulai mendekati akhir semester jadi kapan lagi aku bisa bareng sama dia.

Bisa dibilang ini hal yang tak terduga. Aku cuma bisa senang kegirangan saat itu. Aku juga enggak tahu mengapa rasanya bener-bener seru bisa punya teman yang pulang searah, karena jarang sekali anak SMPku yang rumahnya sejauh diriku, hahaha.

Hubunganku sama dia semakin hari semakin dekat hingga akhir semester mulai datang. Kami berdua sudah sibuk menyiapkan diri untuk menghadapi banyak ujian. Waktu yang biasanya banyak dihabiskan bersama sedikit demi sedikit mulai berkurang.

Rasanya dia menjadi sedikit misterius, yang biasanya kami bisa pulang bersama, sekarang karena adanya bimbel yang diikuti dan berbeda tempat, aku merasa sedikit jauh darinya. Terlebih lagi selama ini aku dan dia cuma komunikasi secara langsung karena sama-sama tak punya HP.

Kesempatan aku untuk mengobrol dengan dia hanya di kelas saat jam pelajaran itu pun kalau dia tak sibuk belajar, karena ya memang aku rasa dia itu serius banget kalo urusan akademik, berbeda dengan aku yang lebih santai dan mengalir saja.

Ditambah lagi waktu sekolah sudah mulai dikurangi oleh pihak sekolah, yang biasanya dari setengah 7 sampai jam 3-an sekarang sekolah hanya setengah hari sampai jam 12 Siang.

“Put, bagaimana persiapan ujiannya?” Aku tanya di kelas.

Dengan ragu-ragu dia jawab “so far so good sih, gak tahu kalau besok.”

“Hahaha, sama sih gua juga, gua sih positive thinking saja, abis dari dulu SD setiap mau ujian gua bawa santai melulu,” kataku dengan pede.

Dia memang orangnya serius, dia juga pesimistis, padahal kalau dipikir -pikir, dia itu menempati rangking satu di kelas dan benar-benar pinter. Tapi setiap dia mau ujian atau ulangan harian dia selalu yang paling takut mendapat nilai jelek.

Sementara, aku yang sering dapet nilai MTK “Dji Sam Soe” (dua, tiga, dan empat) masih bersyukur dapet nilai, sama seperti anak laki-laki lainnya. Mungkin itu juga yang membuat dia jadi pinter banget, karena ketakutan yang dia punya, dia selalu belajar dengan giat tak seperti aku yang tak ketakutan jadi ku bawa santai kalau mau ujian.

Ujian tinggal hitungan hari lagi. Sekolah diliburkan seminggu agar siswa-siswinya bisa mempersiapkan diri, terutama mental. Dari ujian-ujian yang sudah ku lewati di sekolah ini pengawas ujiannya selalu sangat sangar, bahkan kalau kalian terlihat banyak bergerak, kertas ujianmu bisa diambil dan di sobek.

Se-menakutkan itu, mungkin itu juga alasan kenapa dia selalu belajar dengan giat. Di minggu santai itu aku tak bisa komunikasi sama dia, tapi kadang-kadang aku iseng tulis surat kaya biasanya buat dia, terus aku kirim ke rumahnya.

Ujian telah berlalu, wisuda pun tinggal hitungan hari lagi. Terakhir kali ku lihat dirinya itu sebelum ujian di minggu santai. Aku sempat ketemu sebentar sambil basa-basi ngobrolin ujian. Hari wisuda pun tiba, hari yang aku sudah tunggu-tunggu akhirnya datang.

Aku sangat menunggu hari ini tak cuma karena aku tahu kalau sudah wisuda itu aku bakal lulus dari SMP ini, tapi karena aku juga tahu mungkin ini hari di mana aku bakal ketemu dia lagi setelah sekian lama sekolah libur setelah ujian. Di hari itu juga nama siswa-siswi yang lulus disebutkan berserta dengan nama SMA di mana masing-masing akan melanjutkan sekolahnya.

Di situ aku mendengar namanya disebut dan aku tahu dia diterima di sekolah nomor satu di wilayah itu. Bisa dibilang aku kecewa karena aku sama dia tak bakal satu sekolah lagi. Ditambah lagi, di hari itu aku tak liat dia sama sekali, karena harusnya setiap habis MC menyebutkan nama dan sekolah yang disebutkan siswa-siswinya akan naik ke panggung. Aku yang awalnya berpikir dia terlambat semakin lama semakin berpikir dia tak akan datang. Ternyata benar saja dia tidak datang hari itu.

Di minggu santai sebelum ujian ku tuliskan surat. Di dalam surat yang ku selipkan coklat favoritnya itu ku tulis:

“Put, gimana persiapan ujiannya? Pasti lagi heboh-hebohnya ya apalagi udah minggu terakhir buat belajar. Semoga semua baik-baik aja ya. Semangat ya belajarnya! Semoga dimudahkan ujiannya dan nilainya memuaskan! Ini juga ada coklat diterima yaa (kuakhiri surat itu dengan lambang cinta yang belum terbalaskan).”

Itulah surat terakhir yang aku tulis buat dia. Sepertinya kisah cinta ini terasa seperti puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Aku Ingin! (1989) untuk diriku, aku yakin suatu saat nanti kita akan bertemu lagi.