Surat untuk yang Tak akan Pernah Kembali

0
3483

Tumbuh di keluarga yang harmonis mungkin menjadi impian bagi semua orang di dunia ini. Keluarga yang lengkap, dengan segala kebutuhan yang cukup. Mungkin itu yang aku rasakan beberapa bulan yang lalu,  namun tidak untuk saat ini.

Seandainya aku superhero, aku akan pergi ke beberapa waktu lalu sebelum kejadian itu terjadi. Ah, aku masih berharap ini semua adalah mimpi buruk yang panjang. Apakah menurutmu aku akan kuat menghadapi semua ini?

Setiap hari aku berkecamuk dengan seluruh isi kepalaku dan kehidupan yang harus dijalani. Aku merasa telah berada di ujung jalan, yang dibawahnya terdapat kegelapan yang mengerikan. Jangan tanya keadaan kedua orang tuaku. Jika aku berada di ujung jalan, mereka mungkin sudah berada di kegelapan tersebut. Mereka sudah jatuh, sedalam-dalamnya. Ya, aku harus mengambil mereka kembali dari kegelapan tersebut.

Kegelapan telah menyelimuti keluarga kami sejak hari itu. Hari dimana kami mendapatkan kabar bahwa Luna, kakak perempuanku, telah meninggal akibat kecelakaan pesawat. Ia hendak pergi ke London untuk menerima hadiah dari suatu lomba tingkat internasional yang telah dimenangkannya.

Aku masih ingat ucapan terakhirnya sebelum ia pergi menuju bandara. Di sana, dengan memakai gaun yang cantik, ia mengatakan, “Kalian tak perlu khawatir, aku hanya sebentar. Setelah itu, aku akan memperlihatkan kepada ayah, ibu, dan Starla (aku) hadiah yang telah kumenangkan saat lomba melukis waktu itu.”

Aku tak pernah meminta apapun kepadaMu, Tuhan, benar ‘kan? Maka dari itu, tolong, kabulkanlah satu permintaanku dan pesan dari suratku ini. Aku hanya ingin ka Luna kembali kesini, ke rumah, ke tempat dimana aku bisa berbincang dan menyayanginya.

Kami bisa bermain bersama seharian. Kami masing-masing berbicara mengenai hobi yang berbeda dan saling bertukar pikiran. Kak Luna dengan alat lukisnya, akan melukis bagaimana perasaannya hari ini di dalam sebuh buku. Sedangkan aku, buku yang kosong akan aku penuhi dengan tulisan-tulisan sastra seperti puisi yang kubuat sendiri ataupun milik penulis yang ku kagumi.

Sekarang, saat ini, aku telah kehilanganmu, kak Luna. Bukan hanya aku, tetapi ayah dan ibu juga sangat terpukul. Reaksi mereka saat mendengar kabar bahwa pesawat yang kamu tumpangi itu jatuh ke laut, bisa aku bayangkan hingga saat ini.

Ah, tidak. Selamanya akan aku ingat. Apakah kak Luna tahu? Ibu setiap hari membersihkan kamarmu dan merapikan seluruhnya yang ada. Ibu selalu menunggumu akan pulang ke rumah dengan hadiah yang telah kau raih. Bahkan, saat makan bersama, mereka selalu membiarkan satu kursi kosong.

Katanya, satu kursi ini untukmu. Hanya untukmu seorang, kak Luna. Mereka terus menyangkal akan kepergianmu. Mereka terus menghibur diri sendiri dengan mengatakan, “Luna akan pulang dari London dan membawa hadiah yang telah diraihnya.”

Aku juga terpukul. Aku terlarut. Namun, melihat kedua orang tuaku, aku tak bisa berlarut terus-menerus dalam kesedihan ini. Aku harus bngkit di antara tumpukan paku ini. Aku sadar, bahwa kak Luna sudah pergi. Ia tak akan kembali. Menunggunya hanyalah sia-sia. Setelah berbulan-bulan membuang semua paku yang menancap dalam tubuhku, aku mulai pulih dan bangkit. Tujuan utamaku sekarang adalah menyadarkan ayah dan ibu bahwa ka Luna sudah meninggal.

Hari Sabtu, adalah hari ka Luna pergi ke London. Ah, maaf. Bukan London, tapi suatu tempat yang pastinya cantik dan indah. Maka dari itu, setiap hari Sabtu ibu akan memasak makanan kesukaan kak Luna dan ayah menata meja.

Aku duduk diam melihat mereka yang terlihat bahagia –diluar diri– menunggu kak Luna tiba di rumah dan makan bersama dengan kami. Tentu aku tak tinggal diam. Setiap kali aku akan membahas kak Luna, dan entah mengapa sepertinya mereka tahu tujuan pembicaraanku, mereka akan berpura-pura tidak mendengarnya dan mencari kesibukan sendiri.

Pada kenyataannya, mereka terus menunggu dan menunggu. Semakin lama aku merasa mereka telah melupakan anak bungsunya ini yang butuh pelukan. Aku tidak kuat terus menerus memeluk mereka, dan aku berdiam di sini dengan semua udara dingin yang menusuk. Aku tidak kuat. Ini sudah berganti tahun, tetapi mereka masih menjalankan “ritual” itu setiap Sabtu.

Di suatu Sabtu sore, ketika mereka sedang memasak dan menata piring-piring, aku mulai membuka suaraku. “Aku besok akan pergi ke pantai dimana pesawat kakak jatuh,” ucapku sambil melihat mereka yang seperti sangat-sangat tengah sibuk.

“Tidak, kamu saja Starla. Takutnya Luna tiba-tiba datang saat di sini tidak ada orang dan kebingungan. Jadi, ibu akan menunggu di sini,”

“Ayah dan ibu ikutlah denganku. Kita bisa menabur bunga di sana,” lanjutku.

“Tidak, kamu saja Starla. Takutnya Luna tiba-tiba datang saat di sini tidak ada orang dan kebingungan. Jadi, ibu akan menunggu di sini,” jawab ibu sambil menyicipi hidangan yang ia buat.

“Ayah juga,” sahutnya tiba-tiba.

“Tidakkah kalian sadar? Kak Luna sudah tiada!”. Emosiku memuncak, membuat semua mata tertuju padaku. “Kak Luna sudah pergi ke surga.” Tetesan air mata jatuh begitu saja ke pipiku. “Tolong, jangan terus begini. Jangan terus berlarut dalam kesedihan ini. Kita harus membuka lembaran yang baru. Kehidupan yang baru. Tanpa kak Luna.”

Keesokan harinya, di jam 09.00, aku berada di tengah pasir dan mendengar deru ombak yang cukup besar. Kini aku melihat luasnya lautan, yang telah memakan seluruh penumpang dan pilot, termasuk kakakku.

Sambil membawa bunga-bunga yang disukai kak Luna, aku berjalan ke tengah pantai. Air mataku jatuh bersatu dengan air laut di sana. Ketika sedang menebar bunga, seseorang telah menepuk pundakku. Aku melihat ibu dan ayah yang berada di belakangku. Aku terkejut dan bahagia karena mereka ada di sini, yang artinya mereka telah mengikhlaskan semuanya. Entah apa yang membuat mereka sadar, tetapi aku benar-benar bahagia.

Aku memeluk mereka sambil menangis. Setelah itu, mereka ikut bersama menabur bunga-bunga untuk mengenang kak Luna. Aku berharap, agar setelah ini kami semua bisa menjalankan kehidupan dengan baik walaupun salah seorang diantara kita telah meninggalkan kehidupan.

Aku tersenyum melihat ke langit, melihat matahari yang menyinari. Aku yakin, disana pasti ada sebagian darimu, kak. Karena kamu adalah kak Luna, kakak matahari yang terus menyinari kita semua dari kejauhan.