Payung

0
2202

Pagi ini sama seperti pagi-pagi sebelumnya. Aku menjalankan rutinitas sehari-hari seperti, bangun pagi, mandi, sarapan, dan tentunya berangkat ke sekolah. Setiap pagi aku selalu diantar oleh ayahku menggunakan motor ke sekolah.

Setiap pagi motor ini melaju pesat mengantar dan menjemputku. Saking pesatnya aku menjadi siswa teladan yang selalu datang pukul 06.00 pagi.

Oh ya, perkenalkan namaku Selena. Kini aku sudah kelas 10 SMA. Kelasku ada di lantai tiga. Setiap paginya aku harus menaiki banyak sekali anak tangga jika ingin menuju kelas. Hitung-hitung olangraga pagi. Sesampainya di depan kelas dengan nafas terengah-engah. Aku masuk kelas dan segera duduk sembari menantikan kedatangan teman-temanku.

Tak lama, kulihat Vey memasuki kelas. Aku menyapanya dengan sangat manis. Tapi tak ada jawaban darinya, seperti biasa.

“Selen, kamu ngapain sih menyapanya setiap hari ? Dia tidak akan merespon,” tanya Seli di belakangku dengan kesal.

“Hehehe,”. Aku tersenyum menanggapi Seli.

Seli dan orang lain di SMA ini tidaklah tahu, kalo aku dan Vey adalah sahabat sejak kecil. Selalu sepaket jika kemana-mana. Tapi, entah batu apa yang menimpa kami. Banyak yang telah berubah diantara kami.

Semenjak SMA seperti inilah hubungan persahabatan kami. Rasanya seperti sesama orang asing yang tak pernah saling kenal. Walau Vey selalu mengabaikanku. Itu bukanlah masalah besar bagiku. Aku akan tetap berusaha untuk memperbaiki segalanya. AKU PASTI BISA.

“Tok…..tok…tok…” Tiba-tiba suara pintu kelas terketuk di tengah-tengah pelajaran matematika. Semua mata teman-teman dan Ibu Kelin tertuju pada pintu itu. Kulihat guru BK masuk kelas untuk mengajak Vey berbicara sebentar di ruang BK.

Aku tak tahu apa yang terjadi pada Vey saat itu. Aku penasaran. Tapi apa daya, aku harus melanjutkan pelajaran metematika yang memusingkan ini.

Semua pelajaran akhirnya telah usai. Waktunya semua murid pulang. Aku juga ingin segera bergegas pulang. Hanya saja masih ada satu tugas yang belum keselesaikan. Alhasil aku harus menyelesaikannya dulu. teman-teman yang lain lalu-lalang perlahan telah meninggalkan kelas. Sekarang, hanya tinggal aku seorang.

Sekian lama berlalu, Vey akhirnya kembali ke kelas. Dia masuk dengan Matanya merah seperti orang yang baru saja berhenti menangis.

“Vey, kamu kenapa?”, tanyaku padanya.

Gak apa-apa, aku mau balik,” jawab Vey terburu-buru hendak pergi.

“Bohong! kamu kenapa Vey?” tanyaku memastikan.

“Hmph….gak usah pura-pura peduli. Semua orang itu sama aja ya. Cuman bermuka dua. Ujung-ujungnya mereka hanya memikirkan dirinya sendiri. Kamu juga pasti sama kan?” jawab Vey dengan senyum masamnya.

“Hey…jangan begitu Vey. Cerita padaku yuk! Kamu kenapa?”

“E-engak usah!! Cerita?! Cerita apa yang kamu maksud? Kamu mau dengar? Kini, semuanya telah selesai. Orang tuaku resmi bercerai hari ini.”  Vey menjawabku dengan marah bercampur dengan tetesan air mata.

“Ma-maaf, aku enggak tahu tentang itu Vey. Maaf aku juga belum bisa jadi sahabat yang baik. Aku akan berusaha,tapi jangan mengabaikanku. Apakah aku melakukan kesalahan?,”. Aku bertanya sembari menangis, tidak kuat menahan air mata yang terus mengalir.

“AKU CAPEK SELENN!!! CAPEK!!!! KAMU TAHU KEHILANGAN ORANG YANG KITA SAYANG ITU SANGAT MENYAKITKAN, BUKAN?. AKU CAPEK KEHILANGAN SEMUA ITU. AKU TAHU SEMUA YANG HADIR PASTI AKAN PERGI. SEMUA YANG MENEMANI AKAN MENGHILANG. AKU GAK MAU MENGULANGINYA.  MAKA, AKU MENJAUHIMU SELEN.”  Tangis Vey semakin menjadi.

“Benar, semua orang pasti ada masanya. Semuanya akan datang dan pergi. Kita hanyalah orang yang dipanyungi oleh orang lain. Saat hujan reda maka mereka akan menutup payungnya dan pergi. Tapi, kita dapat membuat banyak kenangan dengan orang-orang itu selagi masih bisa bersamanya. Kita dapat membuat momentum yang istimewa yang tak terlupakan, bukan? Jadi, kamu jangan sedih Vey,” jawabku untuk menenangkannya sembari sembari memeluknya.