Kisah Hanapi, Mencari Rezeki dengan Menjual Rujak Bebeg di Ibukota

0
189

Menapaki kaki di Ibu kota membuat kita dengan mudah menjumpai banyak pejuang Rupiah disini. Sebut saja, Hanapi, pedagang rujak bebeg yang menjadi saksi perjuangan para wirausahawan kecil di kala pandemi Covid-19.

Berjuang seorang diri di tengah riuhnya kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) merupakan tantangan tersendiri bagi Hanapi. Ia berdagang rujak bebek untuk memenuhi kehidupan dirinya sekeluarga di kala pandemi virus Korona mewabah di Indonesia dan banyak negara lain.

Hanapi sejak tahun 2010 menetap di Jakarta untuk mengadu nasib. Pria berusia 56 tahun itu, sejatinya anak rantau yang berasal dari Indramayu, Jawa Barat. Keterbatasan modal dan keterampilan yang ia miliki tidak menjadi penghalang untuk mencoba berjuang di Ibukota.

“Saya itu korban PHK saat pandemi Covid-19. Kecewa rasanya ketika saya telah dipecat. Karena hanya dengan menjadi satpam saya bisa menghasilkan (uang),” tutur Hanapi beberapa waktu lalu.

Pindah ke Jakarta merupakan mimpi yang diidamkan Hanapi. Berkat modal tekad dan restu keluarga, ia bisa merasakan manisnya menjadi karyawan berpenghasilan tetap dan selalu mengirimkan rupiah kepada sanak keluarga di kampung pada setiap bulannya.

Dengan baju lusuh, dan mata menerawang, Hanapi menerima getirnya kenyataan yang ia terima. Jalan satu-satunya harus berjualan agar tetap hidup dan bernafas, dengan berjualan rujak bebeg.

Ia melewati hari -hari harus menjajakan dagangan tanpa keluh kesah. Ia memikul peralatan membuat rujak bebeknya dengan berat tujuh kilogram setiap hari. Terlihat dari pundaknya yang semakin tercetak oleh papan kayu-kayu penumpu gerobak.

Tiada modal

Hanapi sempat berkutat pada kesibukan memilih lokasi tetap untuk menjual rujaknya. Ia berjalan kaki di banyak area dalam kota Jakarta, hingga terpilih lokasi pertama untuk mangkal dan berjualan, di kawasan Tanah Abang.

“Tahun 2020, tepat saat saya kena pecat. Saya sempat mencari lokasi. Alhamdulillah pas ya ketemu di Tanah Abang,” kata Hanapi. Akan tetapi saat Hanapi mulai berjualan di lokasi tersebut, banyak masalah muncul. Ada banyak pungli dengan cara meminta dana retribusi secara terus menerus.

Kondisi itu membuat Hanapi memutuskan pindah dari kehingar-bingaran Tanah Abang lalu menetap di kawasan Bundaran HI yang nyaris tak pernah sepi dan lalu lalang orang dan kendaraan. Selain itu Hanapi mempunyai alasan konkret mengapa dirinya tak mau mencoba menjajal usaha lain yang lebih memiliki “masa depan”.

“Nggak mau saya kalau mencoba usaha lain, karena modal sana-sini buat rujak bebeg saja sudah dibantu mertua. Kalaupun saya mau mengubah usaha, ya saya kan nggak punya modal lagi, secara saya sekarang kan juga udah tua tenaga saya udah capek, mas,” imbuhnya.

Tanpa subsidi pemerintah

Hanapi mengatakan, keadaan setelah pandemi sama saja seperti awal dipecat, tidak ada perubahan signifikan. Untuk menghasilkan sesuap nasi saja masih susah. Ditambah, harga bahan bakar minyak dan bahan pokok yang kian melambung.

“Ya Allah, jangankan sekarang, secara finansial gak ada perubahan sama sekali. Saya keluar rumah jam 08.00 pagi hingga pukul 21.00 malam dapat Rp10.000 – Rp50.000 saja sudah bersyukur” ujarnya.

Ia tidak terpikir untuk melakukan inovasi pada rujak dagangannya. Pasalnya, ia tidak punya siapa-siapa di Jakarta. Tidak ada yang mengajarkannya untuk melakukan terobosan produk baru. Anak lelakinya tidak tamat SMA berada di kampung, sehingga tidak dapat membantunya karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan.

“Saya punya tiga anak, anak paling besar laki-laki sisanya perempuan. Anak kedua saya tidak lulus SD, dan sekarang sedang gelisah karena kami tidak memiliki uang untuk biaya dia melanjutkan pendidikannya,” papar Hanapi.

Di sisi lain, selama pandemi Hanapi tidak mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah. Hal itu terjadi karena sulit mendaftar untuk mendapatkan bantuan sembako atau dalam bentuk uang. Masalah alur birokrasi, dan tidak ada yang membantu menjadi kendala utamanya.

Hanapi menduga, mengapa ia tidak mendapat bantuan sepeserpun dari pemerintah, karena ia ragu mendaftarkan dirinya ke Rukun Warga (RW), kelurahan, atau petinggi setempat.

“Saya tidak pernah mendapatkan apapun dari pemerintah. Secara keuangan maupun sembako. Saya ingin mendaftar namun saya ragu karena di lingkungan RW atau kelurahan saya itu meminta dana di awal untuk membantu saya mendaftar,” kata Hanapi.

Kini ia sangat berharap mendapat perhatian layaknya warga tak mampu lain. Ketika kesusahan ada yang membantunya dengan sukarela, pemerintah setempat semakin memudahkan alur pendaftaran atau birokrasi. “Harapan saya meskipun pandemi sudah usai dan reda, ya perhatikanlah warga seperti saya. Bukan saya ingin menengadahkan tangan, tetapi saya ingin menghidupi keluarga saya di kampung saja, itu yang paling penting,” harap Hanapi.

“Siang terus”

Sambil jongkok dibawah teriknya mentari untuk membuatkan pesanan rujak bebeg pembeli,  Hanapi mengutarakan isi hatinya.

“Hidup itu begini ya mas, kadang saya bertanya-tanya kenapa Tuhan menciptakan kemiskinan. Saya paham kita sebenarnya yang memilih menjadi miskin. Ibaratnya bumi berputar, tapi di bawah sini rasanya siang terus,” tuturnya.

Kini, hanya waktu yang dapat menjawab semua keluh kesah Hanapi. Tiga jam bersamanya, saya seolah belajar bahwa hidup harus dimaknai, selalu kerja keras, coba, dan bangkit kembali ketika dihajar masalah.

“Sekarang, saya ya menjalani rutinitas sehari-hari aja. Udah biasa berhadapan dengan masalah, bukan dalam hati nyerah sama hidup, tapi kan sebagai manusia kita juga punya batas atau titik tenang, ya mungkin ini titik tenang saya,” ujar Hanapi di akhir pembicaraan.

Muhammad Fhandra Hardiyon, mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta, Program Studi Jurnalistik.