“Yu, pegang saya. Licin, kamu bisa jatuh.” Teriakan kencang lelaki itu tidak diacuhkan. Gadis yang dicoba digapainya sibuk mengejar kereta jurusan Yogyakarta — Jakarta yang tak pernah absen setiap Minggu sore.
Jalan setapak berkerikil kurang memungkinkan untuk dilalui. Siapapun yang berjalan di atasnya dapat tergelincir akibat gerimis kecil sore itu.
“Kamu mau membicarakan sesuatu, katanya?,’’ tanya gadis berambut sebahu, acak-acakan terbawa angin sore. Sandal jepitnya ia lepas, dijadikan dudukan agar bokongnya tidak bersentuhan langsung dengan kerikil-kerikil rel kereta. Rautnya sama seperti hari-hari sebelumnya, biasa, tak pernah menggebu-gebu ingin tahu.
Lelaki di sampingnya menghembuskan napas gusar. Perasaannya selalu tak karuan ketika berada di dekat gadis itu.
“Tabungan ayam saya kalau saja cukup, sudah dari lama kamu saya bawa ke stasiun, Yu.’’ Yann berbicara sembarangan. Ayu masih dan selalu betah menatap gerbong-gerbong kereta yang beriringan berlomba mencapai tempat pemberhentian lebih dahulu.
Gadis itu membalasnya dengan gelengan kecil, ia tersenyum getir, ‘’Mimpi saya sudah hangus bertahun-tahun yang lalu, Yann.’’
Udara dingin seketika berubah merinding. Mimpinya semakin mengabur bersamaan dengan abu bapaknya yang hangus terbakar saat penggusuran rumah paksa oleh pemerintah daerah sepuluh tahun lalu.
“Lagipula yang sudah berlalu jangan diandai-andaikan lagi. Tidak baik.’’
Kedua manusia itu saling terdiam. Segala macam riak sore itu ikut teredam.
“Itu saja yang mau kamu bicarakan?’’ Ayu melanjutkan perkataannya.
Yann menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan.
‘’Kita sudah dua puluh tahun lebih hidup. Kamu dan perasaanmu akan ke mana setelah ini, Yu?’’ Pembicaraan di sore itu sudah jelas arah perginya. Yann, langit sore menuju petang, dan perasaannya terhadap perempuan di sampingnya.
Raut wajah Ayu nyatanya tak berubah. Jawaban tidak langsung meluncur dari bibir kecilnya. Kepalanya menengadah, menikmati udara dingin menuju malam di pinggir rel kereta.
“Kamu berbicara atau bertanya, Yann? Saya cukup mendengarkan atau harus menjawab?”
“Hidup saya sudah rumit, Yann. Rumit sekali. Bapak sudah pergi, lalu Ibu sakit. Bayu masih perlu biaya untuk sekolah. Perjalanannya masih sangat panjang, kamu tahu itu. Lalu saya, sibuk dengan urusan semacam ini?.” Kepalanya menoleh bersamaan dengan sapuan angin sore. Ayu menatap manik matanya, berharap lelaki itu sadar beban yang sedang sama-sama mereka pikul.
“Yu, layaknya mimpi, cinta itu hidup.”
“Kekanak-kanakkan.” Ayu memalingkan wajah. Pikirannya mulai semrawut.
“Cinta, mimpi —,”
“Yann!” Nafas Ayu terengah. Campur aduk sudah emosinya, tak lagi dapat ditahan. Yann sudah lama tidak melihat wanita di hadapannya sekacau ini, selain sepuluh tahun lalu; ketika satu-satunya penopang segala senang-sedihnya pergi tanpa izin tak kembali.
Yann terlalu naif, berbanding terbalik dengan dirinya yang begitu realistis, bahkan untuk sekedar berdiri menginjak bumi.
“Kamu harus pulang sekarang. Jangan kembali besok, lusa, ataupun kapanpun. Jangan lagi ungkit tentang cinta.”
Segala rasa dan mimpinya selesai sudah sore itu, bersamaan dengan burung gereja yang berkeroyok datang di tengah rinai gerimis dan jejeran kereta yang melintas di hadapannya.
“Yu — ,”
“Kamu naif! Naif! Cinta itu derita. Cinta hanya menambah derita kita yang ada sejak lahir di dunia sialan ini. Jangan jatuh hati, Yann. Jangan. Bila dunia saja sudah meninggalkan banyak luka, lalu kamu mau tambah dengan cinta? Omong kosong! Buang jauh-jauh rasa kamu untuk saya. Hidup sebagaimana seharusnya hidup.’’
Satu tetes air mata berhasil menerobos benteng pertahanannya. Luruh, runtuh sudah. Hati, jiwa, pun raganya.
“Yu, tetapi ia menghidupkan kita yang sudah ribuan malam dibiarkan mati. Ia menggerakkan kita yang telah lama tergeletak pasrah berdarah. Kita manusia, Yu. Kita cari bahagia bersama. Jangan terus menolak, mengelak. Hidup. Seperti yang kamu bilang, mari hidup sebagiamana kita seharusnya hidup, sebagai manusia.”