Kisah Kasih

0
588

Ketua kelas, anak bungsu yang menjadi anak sulung, pemimpin ekstrakurikuler, semua gelar ia ambil. Rakus orang bilang, terpaksa yang Kasih rasakan. Kasih, seorang anak sulung dari keluarga yang berkecukupan, seorang yang ingin membantu semuanya, namun berakhir “membunuh” diri sendiri.

Tanggungjawab bukanlah hal yang mudah, walau ada yang kecil, namun dampaknya besar bagi dirinya. Pernah sekali ia menolak, namun berakhir dikucilkan dan dijauhkan.

“Kasih! Gue boleh minta tolong ga? Jujur, gue belom beli bahan buat ekstra nanti, gue boleh pake yang lo ga? Lo kan kesayangan Bu Indah, ga akan dimarahin, besok gue ganti kok.”  -Loui

“Tapi…,”

Flashback on

“Kasih, lo kok tega banget sih sama temen lo? Padahal jadi lo itu gampang, tinggal nyuruh, lo duduk enak kan? Dasar egois!”

Flashback off

ya udah ini pake yang gue aja.” -Kasih

Bu Indah menghampiri Kasih dan bertanya,

Kasih. Kok dikasih bahanmu? Hari ini kan ada ujian praktik.”

Ga papa kok Bu, saya udah terbiasa.”

Mata cokelat manisnya mulai mengeluarkan keringatnya, nadanya yang serak, tangannya yang pasrah akan dunia yang ia hadapi, membuat Bu Indah ingin lebih mengenalnya. Beberapa pertanyaan dilontarkan oleh Bu Indah, namun jawaban yang ia dapatkan hanya “Takut ga punya temen Bu, hehe.” “Ga papa”, “Saya masih bisa nanti”, “Kata mereka kan saya mandiri”, “Takut dibilang egois.” , dan masih banyak jawaban lainnya yang membuat hati Bu Indah ikut tersayat.

“Kasih, Ibu bangga banget kamu udah berjuang sejauh ini. Ibu percaya kamu mandiri kok, itu bagus untuk kehidupan, tapi dengan mengesampingkan dirimu demi orang lain bahagia, apakah itu benar? Mungkin kamu selalu dicekoki dengan kalimat “Kepentingan yang lain dulu, baru diri sendiri”, tapi yang Ibu lihat bahwa kamu hanya menyiksa dirimu.

Dengan semua gelar yang kau ambil, baik karena kau suka, atau karena “keyakinan bisa” yang orang lain percayakan, mungkin tak semua harus kau terima. Menolong itu baik, tapi jangan lupa sayangi dirimu ya?”

Bukannya berhenti, air mata Kasih semakin banyak terjun dan membasahi pipinya yang manis. Kalimat yang ia nanti-nantikan selama 16 tahun lamanya, dimana ia dapatkan dari gurunya, bukan dari teman, bukan dari sahabat, bahkan parahnya bukan dari orang tua.

Ia yang selama ini memaksakan dirinya demi senyuman orang lain, tersentuh akan kalimat itu. Otak dan hatinya tersadarkan, bahwa sudah banyak luka yang ia buat, banyak perban untuk menutupi, namun tetap saja terlihat dan terasa sakitnya.

Besoknya…

“Kasih, boleh minta tolong ga? Kerjain PR ekstra gue dong, yang lo bagus-bagus banget kemarin.”

Inilah kesempatan ia untuk memilih. Apakah ingin seperti dulu memendam dan melakukan hingga badan remuk, atau menolak karena itu bukan tanggungjawabnya. -Ria

“Maaf banget, tapi untuk kali ini aku ga bisa ngerjain, itu tanggung jawab kamu, bukan tanggung jawabku.”

“Hehe, berhasil Bu!”

Ria dan Bu Indah menepukan tangan mereka menunjukkan kesenangan atas keberhasilan rencana mereka.

“Terimakasih”