Desas-desus pengabulan doa dari Tuhan selalu saja terdengar di telingaku, berisik. Entah dari suara angin, aliran sungai, suara yang terselip di antara kicauan burung emprit, suara di dinding rumahku yang sudah retak, atau suara dari langit hitam pekat yang sedang kupandangi sedari tadi.
“Bersabarlah, semua doamu akan segera Kukabulkan,” kataNya lirih.
Tentu saja, aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. Sebab, Tuhan juga tertawa lewat bulan sabit yang terlihat menakjubkan di atas sana. Lebar sekali senyumannya. Begitu terang dan sangat indah.
“Sebentar lagi, sedikit lagi,” tambahNya sambil mengedipkan mata melalui gemerlap bintang-bintang yang jumlahnya tak terhingga itu.
Aku hanya mengangguk paham. Lalu tumpukan kardus yang aku kumpulkan sejak pagi itu kugendong dengan hati-hati. Jangan sampai satu-satunya hartaku itu berserakan lagi, atau bahkan sampai rusak dan hilang, karena akan sangat merepotkan untukku.
Kardus itu adalah hartaku satu-satunya, harta yang bisa membuat perut mungil ini kenyang terisi makanan yang sangat mewah. Satu bungkus nasi kucing dan satu mendoan hangat contohnya.
Beberapa langkah lagi, sebelum hartaku kembali kujual ke pengepul, perutku sudah bersenandung dengan merdunya. Taylor Swift saja kalah, aku berani taruhan dengan hidup dan matiku untuk itu.
“Bajingan!” Aku berteriak ke arah langit. Rintik-rintik air tiba-tiba saja mulai berjatuhan dengan derasnya. Aku segera berlari, menemukan tempat untuk meneduhkan hartaku agar tidak rusak oleh air hujan.
Sepuluh meter, 20 meter, sampai 100 meter tidak ada tempat untuk berteduh. Semua rumah di sekitarku dikelilingi oleh pagar besi tinggi tanpa adanya satu pun payon yang bisa menjadi tempatku meneduh.
Dengan terpaksa, satu-satunya hartaku sudah hancur dan rusak. Aku terduduk lemas, membiarkan diriku basah kuyub sambil memandangi hartaku dengan hikmat.
Malam ini, doaku masih saja belum terkabulkan. Sialan, Tuhan selalu saja bercanda.