Doa-Doa Untuk Kekasih, Tuan Han
Mengenang; Stasiun Pasar Senen
Duduk digerbong terakhir, saling memandang dan menerka-nerka arah lajur kereta.
Rel kereta yang tak berujung seolah meramalkan tak berakhirnya perjalanan kita
Rel besi dengan detak takdir yang amat sunyi.
Begitu sunyi,
Amat memenjarakan.
Gerbong-gerbong kereta berusaha menangkap sebuah kisah di masa lalu,
Melintas indah di ingatan kepalamu.
Di balik jendela, ada aku menatapmu muram
Musabab, aku takut kalah
Dengan masa lalumu, akankah aku melintas di ingatanmu?
Kota berganti ladang
Ladang berganti sawah
Sawah berganti sungai
Sungai berganti stasiun selanjutnya.
Tak terdengar lagu-lagu romansa atau cerita Cinderella di tempat pemberhentian.
Hanya temaram yang menari riang dalam wadah langit yang menuju kegelapan.
Sayangnya, jalanan Purwokerto tak memberiku kesempatan.
Aku sedang ingin dirimu, Han
Dan berusaha menyembunyikan inginku yang untuk yang kesekian,
Harapan di tempat tujuan selanjutnya, kau tak lelah mengutarakan cinta lewat mata tulusmu,
Barangkali ada harapan Han, di pertemuan selanjutnya semesta merestui kita.
Sajian Kopi di tengah hujan
Mengenang doa; 2 penjaga pos simaksi pendakian Patak Banteng
Han, Kopi Bali yang kau buat ketika hujan turun
warnanya lebih gelap dari malam, tapi tidak lebih pahit dari kenyataan.
Kau suguhkan kepada penjaga pos
Dibalas suguhan doa baik dari penjaga pos
Mungkin doa itu yang menyelamatkan aku dan kau dari badai malam itu.
Pahit kopimu, ada yang aku tidak bisa terima
Musabab lidahku sering mengecap pahit yang diberikan oleh orang-orang sekitar
Maka dari itu, Han
Taburkanlah gula di setiap langkahku!
Bagiku, kopimu itu hitam, dan pahit.
Kita berada disini bukan untuk membicarakan masa lalu bukan?
Karena di stasiun Purwokerto kemarin, aku sudah menulis banyak harapan
Untuk kita ciptakan sebagai kenyataan di masa depan.
Meja dan kursi basah di sirami hujan
Hanya kita yang berteduh
Di pos simaksi.
katakanlah sesuatu,
Sesudah tandas kopimu,
Misalnya; Ucapan sebuah janji, untuk kita bertemu kembali.
Dusta Disuatu Waktu
Mengenang; Sebuah goresan kecewa
Berapa harga sebuah kepercayaan?
Goresan ini langsung meluluhlantahkan
Perasaanku padamu
Ampas kopi kau suguhkan kepadaku,
Rasa gula yang manis kau berikan kepadanya,
Jika itu pelepasan alam bawah sadarmu, Han
Pengakuanmu padanya sungguh terlihat tulus, sampai aku ikhlas jika itu jalanmu.
Tak kuat aku menulisnya, Han
Biarlah aku menjadi cerita yang tak menarik dan beragam kisah bohongan lainnya.
Aku mungkin
Akan mempertanyakan cinta yang diam
Ketika takdir menghampiriku yang sekarat
Mempertanyakan Tuhan
Di dalam dinginnya kedekatan dengan kematian.
Cinta yang kau tahbiskan dengan teori-teori mu, biarlah mewujud sebagai rahasia.
Terakhir, Kekasih
“Yang suci akan menuai indahnya sendiri” kata Perisandi.
Kasih, Dewasalah dalam bercinta
Berpikirlah dalam beretika
Sopanlah dalam berprilaku
Dan tolong
Tegaslah dalam memilih
Jika ingin aku, cukuplah aku sebagai satu
Jika ingin dua, maka jangan jadikan aku yang kedua, apalagi pertama dari yang kedua.
Tian Rostiawati, mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.
Comments are closed.