Kecewa lalu Sirna

49
556

Aku bangga sama kamu…

Wah… Arka pinter banget!

Memori itu terus berputar di dalam kepala Arka. Di sepanjang jalan menuju rumahnya. Merasa gagal, iri, putus asa, tidak ada harapan, dan juga menyerah. Arka kecil bukan memikirkan soal kehidupan sekarang, namun ragu menjadi apa di kehidupan yang ada di depannya.

Dan benar apa pemikirannya. Dengan masalah yang ada Arka berubah dari siswa cilik yang sangat rajin dan berprestasi menjadi sosok dan pribadi yang berkebalikan seluruhnya saat memasuki bangku SMA.

Kamu itu ya kalau dibilangin sama ibu enggak pernah nurut! Jangan kayak ayah kamu bisa enggak sih!

Ucapan ibunya yang tidak pernah ia tinggalkan dari kepalanya itu membuatnya muak tiap hari. Perisal mendapatkan nilai yang kurang sempurna, Arka selalu saja mendapatkan ocehan dan omelan dari sosok ibunya. Sedangkan sepupunya, Sheren, selalu saja dibanggakan. Merasa tidak mendapatkan dukungan penuh, membuat Arka menyerah pada masa-masa SMA nya.

Padahal semua orang tahu sekali kepintaran dan betapa berprestasinya Arka saat SD dahulu, tentunya ketika ia masih mendapatkan dukungan. “Arka udah cepet tidur, kamu tuh ya main terus kerjaannya, pantes aja ga dapet juara kelas kayak Sheren tuh!”. Ucapan ibunya itu hanya dibalas dengan padamnya lampu kamar Arka.

Hah! Di mana aku? Museum Arka?” Dengan rasa ingin tahu yang sangat tinggi Arka memberanikan dirinya untuk melangkah ke dalam museum itu dan menjelajahinya. Hal pertama yang ia lihat adalah penghargaan yang ia dapatkan ketika masih kecil. Penghargaan akademik maupun non-akademik yang ia raih, yang ia babat habis hingga tak tersisa, semuanya ada di situ, tak luput satu penghargaan pun.

Semakin jauh langkah kakinya melaju, semakin banyak juga memori-memori masa kecil yang penuh kebahagiaan yang diperlihatkan. Mulai dari hadiah saat ia berulangtahun yang ke-5 sampai ponsel pintar pertama yang pernah ia dapatkan.

Perjalanan Arka dalam museum ini semakin jelas terlihat ujungnya, semakin pula ia penasaran ada benda apa yang berada dalam kotak kaca besar di depan sana. Hingga beberapa langkah lagi saja ia sampai ke depan kotak itu, Arka hanya bisa memelankan langkahnya.

Ternyata foto keluarga utuh yang menampilkan senyum terindah yang Arka pernah liat. Terdapat sosok ayah bagaikan pahlawan, sosok ibu bagaikan seorang malaikat, dan seorang anak kecil yang menjadi juara hati kedua sosok orang tua itu. Semakin lama ia tatap semakin benci ia dengan kenyataan yang ada.

“Kalau saja ayah memilih aku dan ibu, mungkin ibu tidak akan marah-marah terus seperti ini. Bahkan untuk membenci ayah saja aku tak bisa. Ayah, ibu tahu? Sekarang Arka ga pernah belajar lagi, Arka ga pernah maju ke depan untuk ngambil piala. Kalian tahu ga Arka cuman mau dielus-elus, dipeluk, dibanggain, disemangatin doang kok. Arka cuman pengen itu, Arka janji pasti Arka bakal bawa pulang banyak piala lagi.”

Usapan tangan yang sangat lembut mengusap kepala Arka bagaikan kain sutra. “Arka, bangun yuk, sarapan, Ibu udah siapin roti cokelat kesukaan kamu, sama susu cokelatnya juga ada lho, yuk bangun. Maaf ya Ibu sering banding-bandingin kamu sama Sheren. Ibu tahu maaf bukan hal yang setimpal dan cukup untuk memaafkan perilaku ibu selama ini, tapi,”.

Pelukan hangat Arka seakan menjawab pertanyaan ibunya itu. “Maafin Arka juga ya Bu, harusnya jangan gara-gara ayah pergi sama keluarga barunya, Arka malah malesmalesan kayak gini. Arka coba bangkit lagi ya Bu, Ibu cuman perlu dukung Arka aja. Sekalian doain Arka punya pacar dong, Bu!” “Astaga kamu ini Arka, udah ayo bangun haha