Mereka yang Kusayangi di Hadapan Sinar Purnama

56
221

Di suatu tempat di dunia para siluman, hiduplah seorang anak siluman rubah perempuan bernama Roxana. Di dunia ini, tidak semua siluman berwatak jahat. Banyak diantara mereka yang baik hati dan hidup berdampingan satu sama lain seperti manusia.

Namun, siluman memiliki penampakan fisik yang berbeda. Misalnya saja Roxana, walaupun dia memiliki ciri fisik umum yang sama dengan manusia, tapi dia juga mempunyai sepasang telinga rubah di atas kepalanya dan satu ekor rubah yang ada di bagian belakang tubuhnya. Tubuh Roxana memiliki bulu halus berwarna coklat kemerahan. Semua ini membuat Roxana tampak sebagai anak siluman yang lucu dan manis.

Roxana tinggal di desa bersama kedua orang tuanya. Orang tua Roxana bekerja sebagai pedagang senjata magis yang biasanya dipakai para siluman untuk berburu. Mereka membuka sebuah toko senjata yang cukup besar di Pasar Khahil. Toko itu dibuka mulai pagi hingga petang dan selalu ramai setiap harinya. Dari hasil penjualan inilah, Roxana hidup berkecukupan. Bisa dibilang, dia bisa mendapatkan semua yang dia mau walaupun harus bersabar beberapa saat. Namun, hanya satu yang tidak dia miliki. Sesuatu yang diinginkannya sejak kecil, yaitu kasih sayang.

Setiap hari, Roxana bermain dengan teman-teman silumannya. Dia juga pergi bersekolah. Disana, dia diajarkan bagaimana cara berburu, bagaimana cara berubah wujud menjadi rubah, bagaimana cara memilih tanaman beracun dan tidak, bagaimana cara memanfaatkan tiap karakteristik fisik khusus yang dimiliki, dan tentu saja -yang paling penting- adalah bagaimana cara membaca, menulis, dan berhitung.

Di dunia siluman, mereka menggunakan aksara kuno Medelian untuk tulis-menulis dan bertutur kata. Sebagai alat tukar, mereka menggunakan koin emas, perak, dan perunggu. Tiap koin memiliki nilai yang berbeda-beda. Selain itu, ada juga beberapa kelompok siluman yang masih menggunakan sistem barter untuk jual-beli.

Tiap malam purnama tiba, biasanya para siluman akan naik ke bukit untuk melihat indahnya bulan bersama keluarga mereka. Saat itulah, bukit dan jalan setapak yang biasanya gelap menjadi terang karena sinar rembulan dan lentera yang dipasang di setiap sisi jalan. Semua jalur menjadi ramai karena para siluman akan berbondong-bondong menuju bukit.

Ada yang menaiki kereta kuda, berjalan kaki, berubah wujud menjadi penampakan hewan mereka. Bahkan tak jarang siluman dari klan burung akan datang dari segala penjuru langit dengan terbang bergerombol.

“Sewarna-warni apapun dunia, dia akan selalu nampak gelap di mataku” itulah yang dia pikirkan.

Di puncak bukit akan diadakan pasar malam. Bukan sekadar pasar malam biasa. Di pasar itu, dijual berbagai jenis makanan dari tiap-tiap negeri siluman, berbagai jenis keramik, perhiasan, dan pernak-pernik juga dijual di sana, ditambah lagi kelompok sirkus keliling dari berbagai wilayah juga akan berkumpul di pasar malam untuk menampilan sulap serta pertunjukan-pertunjukan sirkus lain di puncak acara.

Pasar malam saat bulan purnama memang menyuguhkan pemandangan yang indah dan sayang untuk dilewatkan. Tentunya bagi mayoritas siluman dan memang begitulah semestinya. Namun, bagi Roxana pasar malam itu tidak ada artinya. Ada saat dimana setiap bulan purnama dia mengajak orang tuanya untuk melihat pasar malam itu, tapi sering sekali mereka menolaknya dengan berbagai alasan.

Ketika mereka menyetujuinya pun, kegiatan itu tidak pernah berakhir dengan bahagia. Entah dengan kesalahpahaman, pertengkaran, atau kejadian lain yang lama-kelamaan membuat rubah kecil itu muak.

Selain pasar malam, ada acara lain yang ingin dilihat Roxana dengan orang tuanya. Acara itu adalah festival musim gugur dimana daun maple berjatuhan. Roxana pernah membaca sebuah di buku yang menuliskan bahwa jika kita menangkap daun maple yang jatuh bersama seseorang maka kita akan bisa bersama dengan orang itu selamanya.

Roxana ingin melihat daun maple yang berguguran bersama orang tuanya dan tertawa bersama, tapi sayangnya itu tidak pernah terjadi. Dia memang pernah menangkap daun maple yang jatuh orang tuanya di sampingnya, tapi mereka tidak tertawa atau bahagia. Mereka hanya sekadar bersama tanpa emosi atau perasaan apapun. Seakan, “Sewarna-warni apapun dunia, dia akan selalu nampak gelap di mataku” itulah yang dia pikirkan.

Terkadang, Roxana sangat iri dengan teman-temannya yang mendapatkan kasih sayang dari orang tua mereka. Dia ingin merasakan pelukan hangat, dia ingin rumahnya bisa menjadi tempat dimana dia bisa bertukar perhatian, dia ingin bisa mengatakan pada orang tuanya “Aku menyayangi kalian berdua”.

Pada suatu pagi, beberapa saat sebelum tes berubah wujud, Roxana mengobrol bersama teman-teman silumannya di bawah pohon rindang. Mereka bercerita tentang apa saja persiapan ujian yang telah mereka lalukan.

“Aku sudah ratusan kali berlatih. Awalnya aku gagal karena hanya kepalaku saja yang berubah. Sekali berhasil pun, aku butuh berhari-hari untuk kembali ke bentuk normal” jelas siluman beruang.

“Aku juga sama, tapi untungnya Ayahku punya ramuan yang bisa segera mengembalikanku ke wujud normal jika aku meminumnya” sahut siluman harimau.

“Bicara soal ramuan, pagi tadi ibuku memberiku ramuan yang bisa meningkatkan kemampuan merubah wujud. Katanya ramuan itu bisa mempercepat kita berubah wujud secara sempurna. Ya, itu karena ibuku tidak ingin anaknya mengulang ujian lagi. Hahaha…” ujar Alexa si siluman burung rajawali.

“Wah! Ibuku juga memberikanku ramuan yang sama, tapi rasanya sungguh tidak bisa ditoleransi anehnya” kata siluman kelinci.

“Benar sekali.”

‘Aku sangat ingin bergabung dengan obrolan di depanku ini, tapi apa yang harus aku katakan. Kalau orang tuaku tidak memberikan apapun? Kalau mereka malah bertengkar dan melupakan diriku? Aku tidak ingin merusak kesenangan mereka. Aku ingin menangis hanya dengan mengingatnya saja. Aku bersyukur mereka tidak menanyaiku’ gumam Roxana di pikirannya sendiri.

Roxana tidak pernah melihat dewa, tapi jika dewa yang disebutkan dalam kisah-kisah mitologi itu memang ada, Roxana ingin meminta para dewa itu untuk menyadarkan orang tuanya bahwa dia menunggu mereka untuk menyayanginya, Roxana menunggu mereka untuk tertawa bersama karena mereka adalah keluarga.

Tapi, sayangnya saat dimana ia bisa mengungkapkan rasa sayang itu tidak pernah datang. Si rubah kecil sudah merasa lelah menunggu dan memberi kesempatan. Roxana kecil terus tumbuh setiap harinya dan dia sadar bahwa masa ketika dia boleh menangis untuk meminta kasih sayang juga akan berakhir. Sampai pada suatu hari, Roxana memutuskan untuk membuang semua perasaan yang dia anggap lemah itu.

‘Aku akan hidup untuk diriku sendiri. Aku akan rajin belajar, menjadi pintar, dan sukses sehingga aku bisa membanggakan setidaknya diriku sendiri. Ayah, Ibu, aku berjanji tidak akan mempermalukan kalian. Aku berterima kasih pada kalian berdua, tapi aku tidak akan pernah bisa menyayangi kalian lagi’.

Waktu pun terus berlalu. Seiring Roxana yang bertambah dewasa, orang tua siluman rubah ini juga semakin tua. Entah apa yang terjadi, namun seiring waktu itu Roxana menyadari bahwa orang tuanya sedikit demi sedikit berubah. Mereka tidak sering bertengkar lagi, mereka lebih memahami perbedaan satu sama lain, bahkan -yang mengagetkan- mereka memeluk Roxana.

“Mengapa kamu tidak pernah bercerita apapun kepada kami Roxana? Bahkan seakan kamu menganggap kami tidak ada” tanya ibu si siluman rubah.

Roxana sangat kaget mendengarnya. Jadi ibuku menyadarinya? “Aku hanya tidak terbiasa dan tidak mau bercerita.” jawab Roxana pada ibunya.

“Apakah kamu sekecewa itu pada kami? Maafkan kami yang bodoh ini. Kami sayang Roxana.”

orang tuanya memang tidak mengatakan atau menunjukkan bahwa mereka menyayangi Roxana, tapi mereka tidak pernah sekalipun menelantarkannya.

Roxana tidak bisa menjawabnya. Roxana segera pergi meninggalkan ibunya. Dia tidak mungkin menunjukkan wajahnya yang seakan mau menangis itu dihadapan ibunya. Dia tidak ingin terlihat lemah.

“Maaf? Apakah itu yang aku inginkan? Aku sendiri tidak tahu apa yang ku mau, tapi mengapa kalian berubah. Aku tidak tahu harus bertindak bagaimana. Aku menyayangi kalian sejak awal, tapi aku juga telah kecewa dan membenci kalian dari waktu yang lama. Dan harga diriku akan sulit mengizinkanku untuk menerima kalian lagi,” ucapnya dalam kesunyian.

Setelah hari itu, Roxana menjalani kesehariannya seperti biasa. Tidak ada yang berubah. Sikap Roxana kepada kedua orang tuanya juga tetap sama. Namun, satu yang berbeda adalah bahwa Roxana lebih memperhatikan mereka yang nampak semakin berumur dan sakit-sakitan.

Suatu fakta bahwa Roxana kecewa pada mereka, tapi tidak bisa dipungkiri Roxana juga berterima kasih pada mereka di waktu yang bersamaan. Berterima kasih untuk segala hal yang telah mereka lakukan dan berikan untuk siluman rubah anak mereka ini.

Roxana sadar bahwa dia tidak bisa membenci kedua orang tuanya selamanya. Selain rasa terima kasih, dia ternyata juga sangat menyayangi mereka berdua. Roxana mulai memahami bahwa bentuk kasih sayang yang dia harapkan selama ini ternyata banyak bentuknya.

Dulu, orang tuanya memang tidak mengatakan atau menunjukkan bahwa mereka menyayangi Roxana, tapi mereka tidak pernah sekalipun menelantarkannya. Mereka merawat Roxana sampai dewasa dan memenuhi semua kebutuhannya meskipun dengan segala ketidakcocokan di antara mereka berdua.

“Ternyata, mereka juga telah berusaha. Berusaha membahagiakanku sebaik mungkin, sebisa mereka. Meskipun dulu aku tidak bisa melihat dan memahaminya” itulah kenyataannya.

Jika ini disebut mengalah maka sebutlah begitu. Aku mengalah pada kebencianku, pada harga diriku, pada orang tuaku. Aku tidak ingin menjadi seperti mereka di masa lalu yang mengabaikanku. Biarlah mereka mengecewakanku, tapi aku tidak ingin mengecewakan mereka.

Aku akan berusaha lagi menyayangi mereka walaupun tak akan sama seperti dulu, sembari merawat mereka yang semakin tua. Meskipun aku belum sepenuhnya menjadi rubah dewasa yang bisa melakukan semuanya sendiri, setidaknya sekarang kami berusaha bersama-sama. Kami menyayangi satu sama lain dan kami akan tertawa bersama.

Akhirnya, kami pun memutuskan untuk datang ke pasar malam purnama di bulan ini. Kami bertiga berdiri tepat di tepi tebing di puncak bukit. Meskipun mereka tidak memegang tanganku di kedua sisi, tapi mereka berdiri dengan raut muka bahagia di sampingku. Aku tidak merasa hampa. Aku tidak tahu apakah aku menyukai momen ini, tapi yang jelas aku tidak membencinya, atau… jangan-jangan aku malah sangat menyukainya sampai aku tidak bisa berkata-kata.

“Bulan, dulu kau melihatku menatapmu dengan tatapan sendu dan putus asa, padahal kau menatapku dengan sinar terang purnama. Karena itu, lihatlah aku sekarang yang menatapmu dengan penuh harap. Aku berharap bisa terus memperlihatkan pemandangan indah keluargaku di hadapan sinarmu selamanya. Aku berdiri dengan dua orang yang sangat aku sayangi dan aku ingin melindungi mereka. Doakanlah kami agar selalu sehat dan mengasihi satu sama lain.”