Puan dan Dendamnya

61
407

Nenek bilang, jangan pernah mencoba bermain dengan lelaki! Kita ini orang miskin, kenyataanya si miskin akan selalu kalah dan salah.  Sialnya aku tergoda oleh manisnya cairan di sudut bibirmu.

Bohong jika aku tidak mengetahui bahwa kau adalah seorang pria yang sudah mempunyai istri. Orang-orang bilang pria yang sudah beristri akan tahu bagaimana cara membuat nyaman seorang perempuan, sialnya aku adalah perempuan itu!

Merasa amat nyaman jika pria beristri itu didekatku, anggap saja aku sedang mabuk, mabuk kepayang olehnya. Di saat aku tersadar dan mulai berpikir ini gila! Bahkan sangat gila! Ingin ku sudahi kekonyolan ini, tapi nampaknya aku belum siap untuk kehilangan bibirnya yang manis itu. Di satu sisi jerit batinku berteriak “akan kulenyapkan kau dari bumi”. Sialnya aku perempuan yang miskin, benarku yang bisa disalahkan apalagi yang sudah nyata salah.

Aku baru 17 tahun, aku tak pernah merasakan lagi duduk di bangku sekolah semenjak lulus SD, sebuah bangunan yang tak layak disebut rumah, lebih cocok kusebut gubuk dengan dinding anyaman bambu, tiang yang dimakan rayap, atap yang berlubang, pengap, dan jika kalian ingin tahu aku hidup dari apa? Aku hidup dari hasil bekerja sebagai pelayan warung tegal atau warteg dipinggir jalan. Yang mampir ke warung biasanya para lelaki yang kelaparan disiang hari karena tenaganya habis dikuras untuk memunguti kelapa sawit dikebun.

Nenek adalah pengganti ibuku, aku cukup bahagia dengannya. Nenek mempunyai kemampuan memijat yang sangat hebat. Seiring bertambah umurku, ia wariskan ilmu memijat itu kepadaku, tapi aku masih kurang pede jika harus memijit orang yang baru kukenal.

Seringnya para lelaki yang hinggap di warung tempat kerjaku. Tak jarang wanita-wanita tua itu menyinyir kearahku, “Sehabis jadi pelayan warteg, para lelaki ini kau layani dimana?”. Sialan inginku berontak! Melemparkan mangkok dengan isi sambel rawit ini kewajah wanita tua itu! Tapi aku terlalu miskin untuk memberontak, nanti aku dan nenek akan makan apa? Ya kenyataannya aku terlalu miskin untuk sebuah pemberontakan dan lagi aku harus mengalah.

Aku sangat takut kehilangan nenek, tapi maaf diam-diam kusimpan dendamku pada orang sekitar, pada kehidupan, pada kenyataan, pada kemiskinan yang benar-benar sangat menyedihkan. Pada bagian hidup yang paling tersiksa. Tidak punya banyak pilihan, dan pasrah adalah pemenangnya dari sekian banyak sebuah pilihan.

Kemiskinan membuatku tersadar akan hasrat untuk mencari uang yang banyak. Kucoba peruntungan dari hasil memijat yang diajarkan nenek kepadaku selepas menjaga warung makan. Tak peduli dengan omongan orang-orang. Ternyata menyenangkan melihat pelanggan puas akan jasa yang telah aku lakukan.

Tiga bulan sudah kujalani pekerjaan sampingan ini, tidak sadar kuhitung tiga kali seminggu lelaki ini meminta jasa pijatanku, terkadang lebih dari itu, tapi aku juga tidak terlalu yakin bahwa dia tergila-gila pada pijatanku. Saat pertama kali dia datang, kata yang diucapkan hanya “berapa?”.

Sikap yang ditunjukannya dingin sekali. Tapi binar matanya dan senyum tipis bibirnya membuatku lambat laun menyukainya, bahkan sampai kutunggu dia datang untuk meminta dipijat badannya yang pegal-pegal sehabis seharian memanggul barang dikebun kelapa sawit itu. Tanpa sadar hubungan ini semakin dekat, dan sangat senang sekali, ketika aku mengetahui bahwa dia juga tergila-gila padaku.

Nenek memandangku cemas, tapi proses jatuh cinta ini sungguh mengkhawatirkan, sampai aku lupa, dengan siapa aku jatuh cinta? Darimana dia berasal? Benarkan dia masih sendiri? Atau sudah beristri? Kebodohan apalagi ini Tuhan!

“Maaf, tapi kau tidak boleh hamil sebab aku punya istri!”. Betapa sialnya, dia menghancurkan seluruh kehidupanku yang malang ini.

Di malam Jum’at dengan nenek yang masih memberikan pandangan cemas, duduk menyamping di ranjang usangku, nenek mengelus rambutku pelan, sambil bercerita, “kau mirip ibumu, apakah kau tahu ibumu? Selama ini kau tidak pernah menanyakan seperti apa ibumu? Walaupun kau tak pernah ingin tahu, kuberitahu ibumu sangat cantik, tapi dia kekurangan kuping untuk mendengar semua nasihatku”. Nenek sepertinya berat untuk meneruskan ceritanya.

“Sudah sering sekali aku memarahinya, ku ingatkan bahwa jangan bermain dengan yang namanya lelaki, sudah tahu kita miskin. Si miskin yang tak punya kebenaran, jika benar saja disalahkan apalagi yang sudah nyata salah. Ibumu mungkin sudah tiada, tapi sebelum tiada ibumu mengalami tekanan batin dan ingin membunuh dirinya sendiri setelah mengetahui ia hamil oleh lelaki yang sudah beristri!” ucap nenek sambil menahan sebuah luka dan kemarahan yang sangat mendalam.

Setelah aku lahir, ibu pergi ketempat yang aku tidak tahu namanya, bahkan tempat peristirahatan terakhirnya pun aku tidak tahu. Sepertinya aku harus berada di tempat itu, bukan ibu, sebab aku adalah sebuah kesalahan terbesar dihidup ibuku. Lalu siapa ayahku? Si brengsek itu? Tapi apa mungkin ibu yang menggoda lelaki itu sampai ibu melakukan kesalahan?.

Sampai dimana aku paham, aku menciptakan sebuah kisahku sendiri

.

.

“Pernikahan? Bagaimana bisa kau memikirkan hal itu?

Ucapan lelaki sial yang ada dihadapanku, setelah semua yang kita lakukan dengan nama cinta!

“Kau harus mau menikahiku”, kataku dengan sangat tegas dan membentak.

“Pembahasanmu terlalu jauh gadis muda”

“Jika kita benar saling jatuh cinta, bukankah kita harus menikah!”

“Tidak musti berakhir ke pernikahan”

“Apa maksudmu?”

“Tidak semuanya selesai dengan kata menikah. Banyak yang harus dipertimbangkan wahai puan!”

“Tapi jika aku hamil, apa itu tidak cukup untuk alasan kita harus menikah!”

“Tidak akan itu terjadi”

“Sudah terjadi”

Cuuhh! Lelaki itu meludah, sang pujaan hatiku meludah tepat di depan mukaku. Dengan sigap aku menamparnya. Tidak ada lagi cinta di sini.

“Maaf, tapi kau tidak boleh hamil sebab aku punya istri!”

Betapa sialnya, dia menghancurkan seluruh kehidupanku yang malang ini.

.

.

Nampaknya kisahku hampir sama dengan ibu yang diceritakan oleh nenek. Di umurku yang tujuh belas tahun harus bersedia melahirkan seorang anak, dengan ayah yang pergi meninggalkanku entah kemana, tidak manusia itu tidak cocok dipangil ayah!. Tapi aku tak ingin seperti ibu. Aku akan mengubah sedikit ceritaku agar tidak sama dengan ibu.

Hari berlalu, perut besar ini sudah tidak bisa lagi kusembunyikan, dengan tekad yang kuat aku mencari lelaki sialan itu, sampai kutemukan rumah di tengah kampung dengan cat berwarna oranye. Ku intip dari kejauhan ternyata benar dia sedang bersama perempuan tua yang perutnya juga membuncit. Sialnya aku cemburu melihat kemesraan mereka berdua. Tiba-tiba aku teringat ibu, apakah ini yang dia rasakan? Apakah lelaki sial itu sama dengan lelaki yang tega meninggalkan ibu?

Bu bolehkan aku? Seketika wanita tua itu berteriak sambil memeluk lelaki sial itu. Darah bercucuran dari perutnya, setidaknya aku tahu apa yang aku lakukan saat ini. Ceritaku tak sama seperti ibuku. Dendam ku terbayar, dan mungkin dendam ibu juga. Entah aku akan bagaimana, yang jelas kelak nenek akan menceritakan ini kepadamu nak, ucapku sambil mengelus perutku yang buncit.

 

Tian Rostiawati, Mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.

Comments are closed.