Ada atau tidaknya aku hari ini, itu tergantung pada matamu. Syukur-syukur kamu bisa melihatnya dengan perasaan.
Sebab aku juga tak begitu mengenalmu, itu alasannya belum lama ku tahu tentangmu. Tapi, barangkali di hidup ini kamu lah yang kucari. Dan, yang ku tahu, aku tak mesti ada, untuk apa kamu melukis setiap hari.
Karena kamu seorang perempuan, kuberi namamu, “Kembang.” Itu sebabnya, kamu mencintai banyak jenis bunga kan.
Tak terkecuali, aku.
Beruntungnya kamu seorang perupa, beberapa jenis bunga telah abadi di matamu, lalu lahir kembali di dalam kanvas, sedikit cat air, lewat sebatang kuas, diukir oleh jari-jarimu yang lentik.
Itu menjadi sebuah alasan yang tepat, mengapa kamu banyak bertanya tentang bunga. Kamu banyak mempertanyakan, mengapa bunga yang indah cepat sekali layu? Dan mengapa kecantikan Mawar dapat melukaimu?
Jawabannya cukup sederhana, hanya saja kamu perlu melukis Edelweis, yang konon katanya abadi. Tapi, sesekali jangan memetiknya ya, karena itu sangat dilarang para pendaki. Perihal Mawar yang pernah melukaimu, itu tergantung! Yang terpenting jangan menggenggamnya erat, kamu tak akan terluka.
Belakangan aku agak kecewa padamu, kamu hijrah ke pulau Bali. Mengapa. Ada yang kamu cari kah? Atau hanya mau membuktikan kalau kamu seorang perempuan cukup kuat untuk dapat hidup mandiri!
Kamu menolak Yogyakarta, seakan kota itu membawamu kembali ke masa kecil. Itu menjadi masuk akal, kenapa akhir-akhir ini aku menulis cerpen seorang perempuan, Wati, yang hidupnya kesepian.
Aku heran padamu! Kenapa tidak singgah di tempatku, Jakarta, tempat dimana kita tidak akan pernah bertemu. Saat ada yang bertanya kepada dirimu tentang hal itu, kamu hanya menghela napas.
Suatu senja, di lapangan Puputan, Denpasar-Bali, kamu melukis wajah seorang perempuan, yang mirip sekali dengan dirimu. Hanya saja, senja jatuh di kepalamu. Awalnya aku gembira, dan akhirnya ku ketahui! Ada seseorang yang menemani senyum dan tawamu.
Semoga mekar selalu, awet muda cantikmu.