Pada suatu senja. Saat langit ketika itu sedang terang temaramnya, sehingga siluetnya terjebak di antara rerimbunnya awan-awan tebal. Suasana pada warna langitnya, yang terbelah setengah warna biru, dan yang satunya lagi setengah warna jingga, yang sebentar akan padam.
Bulan pun baru saja terbit sedikit, di atas cakrawala dari cahayanya yang masih terlihat agak buram. Di ujung jalan sebuah desa, yang berhadapan langsung dengan hamparan jalanan yang panjang menanjak, kira-kira yang panjangnya bisa mengantarkan kita menuju pada sebuah kota. Di sisi-sisinya, dikelilingi sebuah perkebunan bunga matahari yang tampak indah dengan pemandangan yang menyajikan gradasi warna kuning, ditemani antara perpaduan hijaunya pepohonan.
Di sana masih menanti dua orang yang melangsungkan perpisahannya, sedang yang satunya ditunggu-tunggu sebuah mobil tumpangan. Seorang lelaki yang tengah menanggalkan pertemuannya itu, kepada seorang perempuan yang sedang mengantarnya di ujung jalan desa, dengan raut wajahnya yang agak cemas.
“Kenapa! Kamu boleh berkorban nyawa demi tanah airmu, sedangkan aku tidak diizinkan berkorban nyawa demi dirimu!,” ujar seorang perempuan kepada seorang lelaki yang digemarinya. “Ajaklah aku ke medan perang, bersamamu, aku akan sangat membantumu.”
“Jangan! Desa ini jauh lebih membutuhkan kamu daripada aku, karena kamu satu-satunya guru perempuan, di desa ini. Jasamu akan sangat berguna bagi bangsa ini, setelah kita benar-benar merdeka nanti,” jawab lelaki dihadapannya.
“Berapa lama kamu pergi? Kapan kamu kembali!,” tanyanya mendesak, terlihat matanya sembab, dipertegas dengan lekuk bibirnya yang agak turun. “Kamu janji ya, harus kembali!”
“Bila datang seorang pemuda, yang menurutmu baik orangnya, tentu kamu boleh hidup bersamanya. Jangan ragu, jangan merasa bersalah atas pilihanmu itu, dan jangan pula menganggap dirimu tak setia padaku, sebab itu adalah hakmu. Jika kamu mau menungguku, silahkan tunggulah saja aku. Tapi, aku tidak menjamin apakah aku dapat pulang dengan selamat!,” balas lelaki itu, sedih memandang perempuan yang mengantarnya itu.
“Bagaimana kalau aku rindu padamu! Sedang kepulanganmu saja tidak ada kejelasan!”. Perempuan itu berubah cemberut. Masam sekali wajahnya, ternyata memang sengaja mengulur-ulur waktu perpisahannya itu. “Kumohon kamu jangan pergi, di sini saja bersamaku.”
Lelaki itu mengeluarkan sebuah tanaman asoka yang ditampungnya menggunakan belanga yang terisi penuh dengan tanah, dari bingkisan yang dibawanya, menyerahkan tanaman itu, kepada perempuan yang sedang memohon padanya.
“Ini tanaman asoka yang terakhir, ada di desa kita. Kumohon kamu mau merawatnya demi aku, tanamlah tanaman ini di pekarangan rumahmu. Dan, semoga ini bisa menjadi pelipur lara dan rindumu, padaku,” kata lelaki itu. “Tentu kamu masih ingat bukan! dahulu kita sering bermain-main di sabana yang ada di belakang desa. Kita sering menapaki pematang ilalang untuk menyambangi sekumpulan bunga-bunga Asoka yang merah. Dengan bunga-bunganya yang sering kita cicipi nektarnya itu, dari mahkotanya yang lentik, yang sering juga kamu jadikan perhiasan kalung, dan anting-anting yang menawan. Pasti kamu ingat!”.
“Ya, tapi kan, perang hanya menghasilkan penderitaan saja. Tidak maukah kedua belah pihak berdamai saja, membangun negeri ini bersama-sama.” Perempuan itu terlihat ragu.
“Ah, mereka jahat. Lagipula, tiada tuan rumah yang sudi berunding dengan rampok yang mencuri di rumahnya.”
Tiba-tiba, seorang serdadu, berpangkat letnan, keluar dari mobil tumpangan yang sedari lama menunggu mereka.
“Hei, Bung! Cepat kita sudah ditunggu-tunggu”, tegur seorang serdadu, yang suaranya terdengar berat.
Lelaki yang menanggalkan perpisahannya itu, lekas terburu-buru menaiki mobil tumpangan tubuhnya. Menyelinap di antara barang-barang bawaan, ditindih bahan-bahan pangan, yang memang sengaja diangkut bersamanya, sebagai cadangan makanan untuk para serdadu yang akan bertempur pada tanggal satu Maret.
Lelaki itu mengeluarkan tangannya yang terselip dari tumpukan barang-barang, yang menimbun tubuhnya itu, hanya untuk melambaikan tangannya yang terakhir kali kepada kekasihnya itu. Sesaat kendaraan itu melaju lengang ke jalan yang menanjak tinggi sekali, lalu tak lama tenggelam mengikuti sorot cahaya jingga yang memudar. Perpisahannya itu pun tuntas.
Perempuan itu hanya membalasnya dengan air mata, menutup bibirnya yang manja dengan tangan kanannya yang berselimutkan sapu tangan putih miliknya. Termenung menatap yang sudah-sudah, sudah jauh rupanya ya, kekasihnya yang telah menjadi setitik kenangan yang berlalu itu.
Perempuan itu kembali pulang ke jalan desa. Berjalan sempoyongan sembari memegang obor di tangan kirinya, menelusuri kegelapan malam yang kelam itu, di jalan-jalan desa. Sedangkan, di tangan kanannya mendekap tanaman asoka yang diamanatkan kekasihnya.
Setelah sampai di hadapan rumahnya, dia hanya memandangi pintunya, membuka pintu itu pelan sekali, sedikit demi sedikit terbuka hingga berdecit, menggelatakan tanaman asoka itu begitu saja di depan pintu rumah, tanpa menyuruhnya masuk.
Dia melangkahkan kaki-kakinya yang lesu tak bersemangat itu, masuk ke dalam rumahnya, membiarkan tanaman itu tetap berada di luar. Enggan meliriknya walau satu kali tak pernah dilihatnya lagi. Menaiki tangga-tangga rumahnya yang sepi, memasuki kamarnya yang temaram, hanya bercahayakan lampu minyak.
Duduk-duduk di jendela kamarnya, membiarkan jendela itu tetap terbuka lebar, mengizinkan angin malam menumpang bertamu ke kamarnya yang hampa itu, memenuhi seisi kamarnya, sehingga membuat bergerak benda-benda yang ringan. Angin malam itu menghidupkan benda-benda seperti, kain gorden di dekat jendela, pakaian yang tergantung di pintu kamar, serta kalender yang terpasang di dinding.
Sementara perempuan itu, masih saja asyik melamun, melihat-lihat langit malam, mengamati bentuk bulan, memperhatikan dengan pasti cahaya bintang-bintang yang berpendaran. Hanya saja dia telah melalaikan amanat dari kekasihnya itu, malah terang-terangan menelantarkan hadiah kenangan yang dihadiahkan kepadanya, terbelenggu di luar pintu rumahnya tanpa kepastian. Tak patut perempuan itu berlaku begitu, yang semestinya tanaman itu dirawatnya di pekarangan rumah.
Agaknya perpisahan itu, sedikit membuatnya hilang akal, aktivitas hari-hari yang dijalaninya selalu berulang begitu saja. Setiap senja padam, dia terlihat seperti sedang menunggu sesuatu di jendela kamarnya, yang dibiarkannya terbuka itu bersama datangnya gelap malam. Baru kalau fajar telah menjelang dia cepat-cepat rebah, menutup kedua matanya yang lelah, untuk tidur yang tenang, meregangkan lututnya yang tegang, di kasurnya yang renyah.
Kejadian ini sungguh meresahkan warga desa, sekolah kehilangan sosok yang paling penyayang dari figur seorang guru itu.
Setiap hari kerjaannya begitu saja, terlihat menganggur, sekali lagi seperti sedang menunggu sesuatu bersama datangnya gelap malam, dia tak lagi tersenyum. Banyak warga desa yang lalu lalang di jalan dekat rumahnya itu berubah asing, memandangnya sebagai perempuan yang aneh, tidak normal, sedih sekali ya.
Dia hanya menginginkan malam saja, menikmati terpaan angin sejuk yang masuk ke dalam kamarnya di malam hari, bersamanya yang biasa dia tunggu-tunggu sembari duduk-duduk di tempat pertapaannya itu, jendela kamarnya.
Perempuan itu tak akan lagi tergiur oleh seberkas cahaya pagi hari, gersangnya petang, apalagi cerahnya sore hari. Dia baru terbangun dari tidurnya seharian penuh ketika senja telah benar-benar padam, lalu duduk-duduk kembali, di jendela kamarnya. Dia sekali pun, tak akan lagi-lagi tertarik kepada rerumputan di sore hari yang pijar, atau cerianya tertawaan anak-anak kecil yang berlarian di sabana, pada sore hari. Sebaliknya! Dia malah tampak serius mendengarkan nyaringnya bunyi “krikk, krikk” dari seekor jangkrik, atau cericit tikus, pada malam harinya.
Dia hanya sibuk memperhatikan bentuk bulan bukan! Memastikan apakah malam selalu ditemani bulan? Apakah malam selalu senyap?
Kejadian ini sungguh meresahkan warga desa, sekolah kehilangan sosok yang paling penyayang dari figur seorang guru itu. Pernah sekali, murid-muridnya di desa, sepulang shalat Maghrib, sejenak mengunjungi guru perempuan itu dari depan rumahnya. Dia masih saja menghayati langit malam, terlihat duduk-duduk di jendela kamarnya.
“Bu guru, kapan mengajar lagi?” pekik salah seorang rombongan anak-anak dari masjid, yang mendongak ke arah jendela kamar. “Kami rindu, Bu guru.”
“Uh, lihat nanti ya, Nak. Ibu saat ini sedang belajar astronomi, kepada malam. Nanti, kalau sudah selesai studi, Ibu, lain kali atau tidak pernah sama sekali! Ibu akan pergi mengajar,” jawabnya yang bikin bingung rombongan anak-anak desa tersebut.
Mereka pulang ke rumahnya masing-masing, mengingat tak ada jawaban yang pasti dari guru perempuan itu. Jawaban tersebut disampaikanlah kepada masing-masing orang tua mereka. Dan tahu-tahu keesokan harinya, sudah menjadi berita hangat dari mulut ke mulut. Warga desa semakin resah, tentunya tambah bingung, entah bagaimana harusnya! anak-anak mereka tak dapat pengajaran dari seorang guru pun, di desa.
Keadaan memang sedang tidak baik-baik saja, belum lagi pertempuran yang tengah berkecamuk di kota. Masih banyak anak-anak di desa yang buta huruf, serta kurangnya pengetahuan terhadap khasanah ilmu pengetahuan. Desa itu, sangat-sangat membutuhkan pendidikan demi masa depan anak-anaknya, supaya suatu hari nanti barangkali di antara mereka, siapa tahu! Ada yang ingin jadi menteri.
Berduyun-duyun warga desa secara sembunyi-sembunyi mengadakan pertemuan di balai desa, mereka beramai-ramai menyatakan keluhan perihal guru perempuan itu, kepada kepala desa.
“Kasihan betul nasib, si Wati. Di zaman Belanda hidupnya enak, sebab bapaknya pejabat pemerintah, tapi gara-gara di jajah Jepang, keluarganya dituduh antek-antek kulit putih, cuma dia aja yang selamat dari pembantaian,” kata seorang lelaki setengah paruh baya. “Mana sekarang calon suaminya, si Parjo, lebih memilih ikut bertempur mengusir Belanda yang datang kembali itu!”
“Bu, cukup! Sepertinya kau sudah kelewatan. Ini pelajaran buat kita, supaya jangan lagi menasihati orang yang sedang dimabuk cinta!,” bisik Pak Mali kepada bu Mali.
“Ya! Ya! Ya! Kasihan betul, si Wati,” Bisik-bisik dari ramai warga di ruang pertemuan, balai desa.
“Barangkali, si Wati, jadi aneh begini gara-gara ditinggal oleh orang-orang yang dicintainya salah satunya, si Parjo! Mangkanya dia merasa sebatang kara, padahal kami, warga desa, sudah menganggapnya sebagai keluarga sendiri,” tukas seorang Ibu muda dari bangku tengah.
“Jadi bagaimana! Ada yang punya usul?” tanya kepala desa.
“Kawini saja dengan pemuda lain, Pak kepala desa!” sergah dari seorang bapak-bapak di bangku paling depan. “Kelamaan kalau sampai menunggu, si Parjo, pulang! Belum tentu dia pulang dengan selamat!”
“Husss, si Wati, tidak bakal mau dengan pemuda lain, orang dia cinta mati sama, Parjo!” sahut bapak-bapak dari barisan bangku yang lain.
“Terus mau bagaimana lagi!,” balas seorang bapak di bangku paling depan tadi.
“Ya sudah, kalau begitu mending kita serahkan saja masalah ini kepada, Pak Mali dan Bu Mali, dia kan sesepuh di desa ini, nasihat-nasihat dia pasti bisa didengar dan mau direnungi oleh, si Wati”, usul kepala desa.
“Iya benar itu, Pak, mereka kan terkenal bijaksana,” sahut seorang lelaki di dekat pintu balai desa.
“Betul, saya setuju, beliau-beliau kan darwis di desa ini, pastilah perkataan mereka akan menyejukkan hati, si Wati!,” timpal yang lain setuju.
“Ya setuju, semoga saja berhasil,” tambah dari warga lainnya, padahal baru saja datang.
Pertemuan itu akhirnya mencapai kesepakatan, bahwa beberapa orang telah diutus untuk sowan ke kediaman sesepuh di desa itu, Pak Mali dan Bu Mali. Mereka menceritakan semuanya kepada, Pak Mali dan Bu Mali. Kedua sesepuh itu mengiyakan akan bertemu, Wati, selepas subuh nanti, dan akan memberikan nasihat kepada seorang guru perempuan yang sedang bersusah hati itu.
Selepas shalat Subuh, sepulangnya dari masjid, Pak Mali dan Bu Mali, memenuhi janjinya untuk bertemu, si Wati. Kedua sesepuh itu sengaja melintas di jalan depan rumah Wati, yang terlihat dia masih asyik nangkring di jendela kamarnya yang terbuka. Kabut subuh ditabraknya dengan saling bergandeng tangan, keduanya mendongak ke arah jendela kamar yang terbuka itu.
“Cu, sepagi ini kok sudah terlihat menunggu! Lagi menunggu tukang sayur ya!,” tegur Bu Mali.
“Semalaman saya tunggu, seseorang. Bukan, tukang sayur,” sahutnya melihat ke bawah.
“Cu, itu tanaman di depan pintu rumah kok ranggas! Gak dirawat ya!,” ucap pak Mali mengintip ke arah depan rumah. “Gak baik, kalau perawan menaruh tanaman di depan pintu begitu! Nanti, gak ada pemuda yang naksir loh.”
“Uh, waktu itu Pak Mali bilangnya ‘jangan duduk di depan pintu! Nanti gak dapat jodoh’, sekarang kok nasihatnya beda!” Balasnya dengan nada sindir.
“Ya, sebenarnya sama saja. Pastinya, Cucu, senang toh kalau dapat jodoh.” Pak Mali berkelit.
“Pindahin, Cu, tanaman itu segera. Bukalah pintu rumahmu lagi. Hidupkan kembali hari-harimu,” pinta bu Mali.
“Memang sengaja! Supaya tak ada pemuda lain yang datang untuk meminang. Tak akan kuizinkan pemuda lain mengetuk pintu rumahku, apalagi pintu hatiku! Bukankah, sudah kubilang kalau aku sedang menunggu, seseorang,” ujarnya dengan tulus.
“Memangnya orang yang kau rindu itu, rindu juga padamu?,” tanya bu Mali menjebak. “Coba sudah, Cucu, cek bulu matamu belum! Apakah ada yang lepas dari tempatnya berasal?,”.
Perempuan itu meraih kotak cermin yang ada di meja kerjanya; melihat-lihat kelopak matanya, memeriksa di bawah matanya, meraba di pipi-pipinya yang landai.
“Yah, sepertinya tidak ada! Lalu apa artinya, Bu?,” perempuan itu bertanya dengan heran.
“Ya, berarti tandanya orang itu tak rindu, padamu. Sudahlah, lupakan sajalah dia, buka lembaran baru lagi,” jawab bu Mali memojokan perempuan itu.
Perempuan itu tercenung, mendatarkan bibirnya yang sendu. Meratapi gelapnya langit yang mulai membiru, menyeka bersih setetes embun yang mencair di pipi-pipinya.
“Bu, cukup! Sepertinya kau sudah kelewatan. Ini pelajaran buat kita, supaya jangan lagi menasihati orang yang sedang dimabuk cinta!,” bisik Pak Mali kepada bu Mali.
“Iya, Pak, seperti kita muda dulu ya,” balas bu Mali berbisik lirih sekali kepada Pak Mali.
“Oh, Cucu, fajar akan menyingsing, kami pulang dulu ya, sehat-sehat selalu.” Pak Mali menuntun bu Mali, tergesa-gesa menyingkir dari rumah perempuan itu.
Perempuan itu diam saja, tak mau peduli. Tak berselang lama di kejauhan, terlihat bayangan seorang misterius bertopi caping dari balik kabut tipis yang berjalan terpincang-pincang, setengah diseret mendekati rumah perempuan itu.
Dia berhenti sebelum sampai di depan rumah perempuan itu, tampak kelelahan berjalan begitu, rupanya dia terdiam sejenak untuk mengatur cara berdirinya. Berbenah diri, tetapi masih tertutupi kabut tipis.
“Hei, kenapa napasmu terdengar kempas-kempis? Lagi menangis ya!,” tukas seorang lelaki misterius dari balik kabut tipis.
“Siapa kamu? Apa pedulimu!,” perempuan itu balik bertanya, menggertak.
“Aku pejuang yang baru saja pulang, dari medan pertempuran,” jawabnya dengan nada halus.
“Oh, benarkah itu,” perempuan itu agak terkejut. “Lalu bagaimana dengan kabar negara kita! Apakah tidak jadi dijajah lagi?”
“Bersyukurlah, kemarin negara kita sudah berunding, dan untungnya kerajaan penjajah itu mau mengakui kemerdekaan kita. Hanya saja ada penambahan untuk nama negara kita di belakangnya, ‘Serikat’, tak apalah yang penting tetap merdeka,” jawab lelaki misterius itu.
“Syukurlah, setidaknya perasaanku agak tenang. Dan, seharusnya kekasihku kembali dari perjalanannya, menjemputku,” ujarnya kepada seseorang misterius itu. “Ngomong-ngomong siapa namamu?”
“Akan kujawab, tapi aku punya pertanyaan untukmu. Jawab dulu, baru kuberi tahu siapa namaku!,” tantangnya.
“Boleh, siapa takut!,” perempuan itu menyanggupinya.
“Tempat apa yang meski telah ditinggal jauh oleh hamba pecintanya tanpa kepastian yang jelas untuknya kembali, tetapi tetap terbuka, malah selalu saja ada tempat kembali bagi hamba pecintanya itu, dengan suasana yang masih dipertahankan seperti semula dia tinggal waktu itu, tanpa berubah sedikit pun?,” tanyanya yang sesaat fajar menyingsing, menyinari perlahan wujud seseorang itu.
“Oh, aku tahu. Pasti jawabannya, rumah ibadah,” jawabnya agak girang.
“Kurang tepat! Tapi hampir benar,” kata lelaki misterius itu.
“Terus!” balas perempuan itu menagih, agak jengkel.
“Tempat itu, adalah ruang di hatimu, Wati,” lelaki misterius itu menyibak kabut tipis, seiring turunnya cahaya fajar, dia menunjukan wujudnya.
“Oh, itu kah kamu, Parjo!,” perempuan itu memicingkan matanya, beranjak dari tempat duduknya, masih setengah berdiri.
Perempuan itu tersenyum, menangis, melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil. Menuruni tangga rumahnya dengan kaki-kakinya yang bersemangat. Membuka pintu rumahnya. Memeluk belanga yang ada tanaman asoka itu, dua orang menanamnya bersama di pekarangan rumah. Saling menatap kepada satu sama lainnya. Dan, waktu seolah berhenti pagi hari itu.
“Oh, Wati, ini berkat buah kesabaranmu dan kesetiaanmu,” kata Parjo. Lekas memeluk kekasihnya.
Muhamad Abi Fadila