“Hujan Bulan Juni”, Relevansi Ketepatan Sains dan Estetika

52
755

Siapa yang tidak mengenal sastrawan yang salah satu karya puisinya akan diulas pada artikel ini? Salah satu judul puisi yang sukses dialihwahanakan menjadi sebuah tayangan layar lebar. Selain menjadi sebuah film layar lebar, sajak-sajak dalam puisi itu pun seringkali dialihwahanakan menjadi sebuah musikalisasi puisi. Hal tersebut membuktikan bahwa kegiatan ekspresif apresiasi sastra, yakni ekspresi sastra, sukses dilakukan dengan inspirasi puisi tersebut.

Sapardi Djoko Damono adalah nama di balik sajak-sajak luar biasa. Sajak yang pada awalnya dipertanyakan penulis, serta bagaimana penulis menginterpretasikan sajak-sajak nun indah. Setiap bait saut menyaut, menggelayut diksi indah merangkai tiap baut. Memberi denyut, sajak salah satu ini begitu bermakna, Pak Sapardi lihai memberi nyawa.

Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak,
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya jejak-jejak kakiny
Yang ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucap
Diserap akar pohon berbunga itu

Di atas merupakan isi dari puisi Hujan Bulan Juni. Apakah Anda sebagai pembaca mampu menginterpretasikan puisi tersebut?

Hujan Bulan Juni menjadi topik yang tidak pernah dingin dibicarakan. Kontradiksi antara pembahasan sains dan sisi artistik menjadi hal yang diperhitungkan dalam menganalisis karya sastra. Suatu kali penulis pernah mendengar dari dosen penulis, bahwa karya sastra perlu dikaji. Itulah pokok studi sastra, terletak pada pengkajian karya sastra. Pengkajian karya sastra termasuk dalam kegiatan tak langsung mengapresiasi karya sastra.

Secara sains, kita mengetahui bahwa bulan keenam tidak termasuk dalam musim hujan. Artinya, puisi Hujan Bulan Juni perlu unsur kognitif serta daya perasa lebih kuat untuk dapat menginterpretasikan. Mari dibedah satu persatu.

Tak ada yang lebih tabah,
dari hujan bulan Juni.
Dirahasiakannya rintik rindunya,
kepada pohon berbunga itu.

Menurut interpretasi penulis, “hujan” didefinisikan sebagai sosok maskulin. Bisa juga, “hujan” didefinisikan sebagai rintik air mata, kesedihan seseorang, laki-laki. Mengapa demikian? karena pada larik keempat, terdapat frasa “pohon berbunga”. Selama ini, “bunga” sering dijadikan sebagai simbol kesukaan perempuan. Maka dari itu, penulis menginterpretasikan bahwa bait pertama ialah tentang seorang lelaki yang bersedih, begitu menyayangi perempuannya, namun ia memilih untuk memendam rasanya tersebut.

Tak ada yang lebih bijak,
dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya jejak-jejak kakinya,
Yang ragu di jalan itu.

Dalam bait kedua, sang “hujan” atau pihak lelaki menghilang dari pandang kekasihnya. Dengan perasaan sedih, ia menghilang. Dalam larik terakhir, terdapat diksi “ragu”. Boleh jadi, si lelaki mempertanyakan kembali kualitas dirinya untuk si perempuannya.

Tak ada yang lebih arif,
dari hujan bulan Juni.
Dibiarkannya yang tak terucap,
diserap akar pohon berbunga itu.

Bait terakhir memiliki penekanan pada “dibiarkannya yang tak terucap. Menurut penulis, ini merupakan makna eksplisit yang disampaikan. Yang tak terucap ialah pada apa yang tidak mampu ia ucap, kemudian dibiarkan si perempuan mencerna sendiri makna kepergian sang lelaki.

Dari interpretasi ketiga bait puisi tersebut, terdapat kesamaan yakni penggunaan diksi “Juni”. Barangkali, Juni memiliki makna tersendiri bagi Pak Sapardi dalam puisi ini. Juni menginterpretasikan waktu di mana terdapat kesedihan, kerelaan, serta ketabahan tentang diri. Bahwa dalam menjalin cinta, sebagai manusia, sudah manusiawi pula untuk mengukur kapasitas diri.

Relevansi antara sains dan estetika menurut penulis tidak dapat dibuktikan dalam puisi Hujan Bulan Juni. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bulan Juni faktanya cenderung pada musim kemarau. Namun, relevansinya lebih cenderung pada realitas kontemporer. Bukan hanya terdapat pada novel Siti Nurbaya atau roman picisan, terpaksa meninggalkan orang yang kita cintai karena keadaan merupakan polemik tersendiri bagi dunia asmara.

Bagaimanapun, puisi “Hujan Bulan Juni” mampu menyihir lewat diksinya yang sederhana, serta perlu konsentrasi dalam pemahamannya. Bukan tidak mungkin bahwa Hujan Bulan Juni menjadi ikon keresahan manusia dalam dunia cinta.

Pak Sapardi, sajakmu abadi.

 

Fathma Cita Zunurahma, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Comments are closed.