Menilik Pelajaran dari Kegagalan

0
91

Setiap orang pasti memiliki titik jatuh dan bangun, begitupun denganku. Tahun 2018 menjadi salah satu tahun yang amat berat untuk kulewati. Pada  tahun 2018 itu, aku  siswi kelas 12 yang tengah giat-giatnya belajar siang malam demi menggapai mimpi. Seperti anak lainnya, aku memiliki ‘wishlist after graduate’ yang sangat amat aku idamkan, bahkan sejak kelas 11 aku sudah menulisnya di buku diari lho. Aku sangat ingin menjadi mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara atau STAN yang kini menjadi Politeknik Keuangan Negara STAN.

STAN bisa dibilang menjadi salah satu perguruan tinggi yang membuat aku jatuh cinta pada pandangan pertama saat itu. Sebenarnya sejak awal memasuki SMA, aku bercita-cita menjadi dokter. Aku sering membayangkan menjadi seorang dokter berjasa yang siap menolong orang yang membutuhkan, namun saat kelas 11, aku pertama kali mengetahui STAN lewat sebuah buku soal yang berjejer rapi di toko buku Gramedia. Yaps, saat itu aku sedang mencari buku latihan soal dan disitulah aku pertama kali bertemu dengan nama STAN.

Salah satu hal yang membuatku sangat tertarik untuk melanjutkan sekolah ke STAN adalah karena STAN terletak di Jakarta, dan aku tinggal di Bandung. Sudah sejak lama aku bermimpi untuk bersekolah jauh dari rumah, aku ingin belajar mandiri dan hidup sendiri. STAN juga merupakan salah satu sekolah kedinasan yang sudah terjamin akan mendapatkan kerja setelah selesai kuliah. Jika aku bisa mendapatkan pekerjaan yang sudah pasti, orang tuaku tidak akan terlalu risau memikirkan karir anak sulungnya ini. Hal-hal tersebut yang membuatku menjadi semakin yakin untuk mengejar sekolah ini.

Hampir setiap hari aku menghabiskan waktu untuk mempelajari seluk beluk mengenai STAN. Mulai dari latihan soal secara rutin, mencari tahu soal rumah kos sekitar lingkungan Bintaro, mencoba berkenalan dengan orang yang bersekolah di STAN, mengikuti berbagai try out offline di kota Bandung, dan lain sebagainya. Seambisius itu aku saat itu. Aku bahkan lupa dengan cita-citaku untuk menjadi dokter. Aku juga tidak berniat untuk melirik jurusan apapun di universitas lain.

Ketika mendekati bulan-bulan pendaftaran dan ujian masuk STAN, aku semakin yakin untuk mendaftar ke STAN. Aku ingin merantau, ingin belajar hidup mandiri layaknya tinggal sendiri. Aku sangat ingin mewujudkannya.

Hari Ujian

Beragam usaha dan doa mulai kuperkuat lagi, mulai dari amalan sunah, shalat wajib, shalat malam, latihan soal bersama teman-teman secara daring, dan lain sebagainya. Karena memang sebesar itu keinginan diriku untuk masuk kampus impian. Dan saat itu aku percaya bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil. Semoga usahaku yang besar ini bisa menghasilkan hasil yang terbaik untukku.

Saat hari ujian ditentukan, aku mempersiapkan segala sesuatu yang harus kubawa nantinya. Bahkan aku pun mengecek berulang kali segala perlengkapan dan pakaian yang akan aku kenakan, agar di hari ujian berjalan dengan lancar. Tak lupa aku juga meminta restu dari orang tua, keluarga dan orang-orang sekitar agar segalanya dipermudah.

Di hari ujian, aku membawa semua persyaratan yang ada. Tak lupa aku juga sudah belajar dari jauh hari sebelum hari ujian. Semua benar-benar lancar awalnya. Namun saat sedang mengerjakan ujian, tiba-tiba komputer yang kupakai loading sehingga menyebabkan soal terlambat keluar dan menghabiskan durasi waktu ujian. Aku sangat khawatir dan sangat takut saat itu. Panitia ujian pun tidak bisa membantu apa-apa saat itu, ia hanya menyarankan agar aku bersabar.

Dan takdir berkata lain. Memang tidak ada manusia yang sanggup menebak takdir. Sebesar apapun usahamu, jika memang itu bukan milikmu ya kamu bisa apa. Saat selesai mengerjakan ujian, nilai pun langsung keluar (ya seperti itu mekanismenya). Dan nilai ujianku tidak mencukupi…

Diantara lima  jenis soal ujian, ada satu jenis soal yang tidak mencapai nilai minimum. Kurang satu pertanyaan benar saat itu. Rasanya duniaku benar-benar runtuh saat itu. Itu adalah hari paling patah hati yang pernah kurasakan. Aku tidak pernah merasa sangat jatuh saat itu. Aku merasa bahwa diriku sudah amat sangat mengecewakan orang tuaku.

Pelajaran berharga

Di sepanjang jalan pulang, aku hanya menangis. Mulai mempertanyakan diri mengapa semua hal ini harus terjadi kepadaku. Apa salahku, apakah kurang besar usahaku, apakah selama ini usahaku sia-sia, dan lain sebagainya. Namun ibu tetap di sampingku, beliau terus menenangkanku dan berkata ‘tidak apa-apa, belum rejeki’.

Hampir sebulan penuh aku masih menangisi hari itu. Aku masih mempertanyakan mengapa takdirku harus seperti ini. Ibu selalu menemaniku, beliau tidak pernah bosan untuk mendengarkan keluh kesahku mengenai hari itu. Beliau selalu berkata bahwa semua yang terjadi itu kehendak Allah, dan apa yang terbaik menurutmu belum tentu terbaik menurutnya. Dan lama kelamaan aku sadar dan mulai mengerti bahwa apa yang Ibu bilang memang benar. STAN bukan rejekiku dan aku tidak boleh memaksakan apa yang bukan milikku.

Setiap kejadian yang terjadi pada manusia pasti ada sebab dan akibatnya. Kamu gagal mendapatkan sesuatu bukan berarti karena kamu tidak berhak mendapatkannya, mungkin memang belum tepat saja waktunya. Mungkin ada yang lebih terbaik untukmu dibanding itu, dan mungkin memang bukan rejekimu. Kegagalan tidak semata-mata berarti gagal, kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda.

Tahun 2018 menjadi salah satu tahun terberat sekaligus tahun yang sangat mengesankan untuk hidupku. Tahun 2018 menjadi tamparan terbesar untukku agar selalu mensyukuri apa yang ada. Jangan memaksakan kehendak, semua yang ada di dunia sudah memiliki porsinya masing-masing.

Yang harus senantiasa kita lakukan adalah berikhtiar dan berdoa, bila apa yang kita harapkan tidak menjadi milik kita ya biarlah. Karena yang terbaik menurutmu bukan berarti yang terbaik menurutnya, karena Allah yang senantiasa tahu apa yang terbaik untuk kita.

 

Inton Persada, mahasiswi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris