Dari Sebuah Rumah

51
490

Dulu, tempat ini hanyalah sebuah lahan tanpa bangunan. Kanan kirinya kosong dan sebagian tempat ditanami pohon singkong. Semua tanah kosong itu bukan hanya miik satu orang, melainkan beberapa orang yang memang letaknya bersebelahan. Dan begitulah orang tua Dimas membeli sebagian kecil dari tanah itu yang ternyata adalah milik kenalannya.

Di tanah itu, dibangun rumah yang Dimas tempati hingga saat ini. Tidak megah, tidak mengikuti tren, dan tidak berasal dari rancangan arsitektur terkenal. Rumah Dimas sederhana dan memang berasal dari yang sederhana pula. Tapi, sederhana pun ada tingkatannya. Dan mungkin, yang Dimas tempati saat ini ada di tingkat tertinggi sederhana yang sudah keluarga Dimas capai selama ini.

Dimas yang dulu sama sekali tidak suka dengan rumah barunya. “Aku gak suka rumah ini.” Itulah kalimat yang selalu ia lontarkan. Tiap berada di sana, dia selalu mengingat bangunan lain yang beberapa kali pernah dia lewati. Bangunan panggung berdasar tinggi dengan satu ruangan utama, baunya menyenat, dan bukan dihuni oleh munusia. Kandang ayam. Itulah yang selalu muncul di ingatannya. “Aku gak mau rumah di sini. Rumahnya seperti kandang ayam.”

Pada suatu sore, Kakek Dimas pernah bertanya. “Kenapa seperti kandang ayam?” tanya kakek dengan nada yang halus.

“Pokoknya seperti kandang ayam kek, Dimas gak suka,”. Sejujurnya, Dimas bingung harus bagaimana menjelaskannya.

Sejak hari pertama dia mendengar bahwa dia akan punya rumah baru, dia tidak pernah membayangkan yang seperti ini. Rumah yang dia bayangkan setidaknya mirip dengan rumah nenek dan kakeknya. Tempat dia tinggal sebelumnya. Dinding rumah itu bercat putih dengan lantai yang berasal dari semen yang dihaluskan.

Pada kala itu, rumah berlantai keramik masih jarang ditemukan di kampung tempat Dimas tinggal. Di pandangan Dimas, lantai semen di rumah kakek neneknya sudah sangat familiar. Bisa dibuat duduk, tiduran, bermain, dan belajar. Yang pasti, di dalamnya kita tidak perlu memakai sandal.

Sangat berbeda dengan keadaan rumah baru Dimas ketika itu. Rumah yang orang tuanya bangun masih bertembok batu bata, tidak dicat, dan berlantai pasir. Ranjang besi tempat tidurnya tinggi khas zaman dulu dan kadang-kadang bergoyang saat dipakai tidur. Tidak ada perabotan-perabotan berharga yang mengisinya. Dan di ruang tamu hanya ada dua kursi plastik dan satu meja kecil.

Meskipun sudah pindah, Dimas masih sering tidur di rumah kakek neneknya. Bisa seminggu penuh bahkan. Mungkin semua itu dikarenakan usia Dimas yang masih kecil. Dimas merasa malu dengan rumah barunya yang bisa dikatakan lebih jelek daripada rumah lamanya. Walaupun, belum tentu rumah teman-temannya lebih baik darinya.

Sebenarnya, Dimas bukanlah anak yang sombong. Dia hanya tidak suka merasa di bawah teman-temannya. Setidaknya, Dimas berharap mereka berada di posisi dan keadaan yang sama.

“Dim, di luar sana masih banyak orang-orang yang tidak punya rumah. Lihat saja berita yang biasanya Dimas tonton di televisi. Banyak orang yang terpaksa tinggal di kolong jembatan. Itu bukan hanya sekadar kata wartawan lo. Itu nyata.”

Dimas tahu. Dia pernah melihatnya secara langsung bahwa ada orang-orang yang membuat rumah gubuk di pinggiran sungai saat dia diajak ayahnya pergi ke kota. Tapi Dimas masih belum bisa menerimanya. Di hati Dimas, Dia juga merasa menjadi orang yang tidak punya apa-apa.

“Tapi, banyak juga kok orang-orang kaya yang rumahnya bagus dan naik mobil kemana-mana,” jawab Dimas.

“Le!… (panggilan kakek untuk Dimas) Orang itu dilahirkan dengan rezekinya masing-masing. Dan rezeki itu tidak langsung datang begitu saja, dia punya masa yang telah ditetapkan. Kamu juga tahu kan kalau kita harus berusaha untuk bisa mendapatkannya?”

“Tahu kek.”

“Nah, sekarang orang tua Dimas sedang berusaha untuk membuka pintu rezeki itu satu per satu. Alon-alon Le. Yang penting rezeki itu halal. Lagipula, Dimas kan tidak pernah merasa kekurangan. Mau makan ada, pakaian ada, tempat tinggal pun juga ada meskipun Dimas belum suka.”Dimas.

….Itu rezeki temanmu sudah punya rumah bagus sejak dia kecil, tapi jangan lupa kalau Dimas sekarang pun juga punya rezeki sendiri. Semuanya itu yang penting cukup.

“Tapi kok teman Dimas ada yang langsung punya rumah bagus? Kenapa Dimas gak seberuntung Dia? Padahal kalau di kelas, Dimas itu lebih pinter dari dia. Dimas aja selalu dapat peringkat pertama di kelas.”

“Hidup itu gak bisa dilihat hanya dari luarnya saja Dimas. Itu rezeki temanmu sudah punya rumah bagus sejak dia kecil, tapi jangan lupa kalau Dimas sekarang pun juga punya rezeki sendiri. Semuanya itu yang penting cukup. Kalau kakek lihat, hidup Dimas sekarang sudah cukup. Ingat kata pak ustaz, berlebihan itu gak baik. Lagipula belum tentu kalau Dimas punya apa yang dimiliki teman Dimas saat ini itu baik hasilnya. Gusti Allah itu Maha Adil dan sudah menempatkan semua berdasarkan kadarnya.”

“Tapi Dimas tetep sedih kek.”

“Allah gak suka lho Dim sama orang-orang yang gak bisa bersyukur. Kan sudah diajari, kalau kamu bersyukur atas nikmat yang kamu peroleh maka Allah Akan menambah nikmat tersebut. Tapi, kalau kamu zolim dan tidak mensyukuri nikmat Allah, ya, semua nikmatmu nanti malah diambil. Kamu jadi gak punya apa-apa. Jangan sampai kamu membuat Allah marah sama kamu.”

Semua yang dikatakan kakek benar. ‘Apakah aku anak yang nakal sampai tidak mau bersyukur dan malah menyakiti hati kedua orang tuaku?’ pikir dimas. Sampai akhirnya, tanpa dia sadari air mata Dimas tumpah. Dimas menangis tersedu-sedu di pangkuan kakek. Namun, kakek tidak marah walaupun sarungnya jadi basah. Dia mengelus-elus kepala Dimas dan menepuk-nepuk pundaknya.

Cup… cup… Dimas itu anak yang baik, pinter lagi. Siapa tahu nanti malah Dimas yang beliin rumah besar untuk ayah dan ibu.”

“Iya juga, ya kek. Dimas jadi memikirkan bagaimana perasaan ayah dan ibu saat Dimas gak mau tidur di rumah baru. Apakah mereka sakit hati? Sepertinya sudah pasti. Padahal Dimas pengen mereka bahagia, tapi kenapa Dimas malah jadi anak durhaka ya kek.”

“Ayah sama ibu pasti paham kok. Mereka kan sayang sama Dimas. Nanti malam Dimas pulang dan tidur di rumah ya. Jangan lupa juga minta maaf.”

“Iya kek.”

Setelah shalat magrib, Dimas berpamitan dengan kakek nenek dan menaiki sepeda kecilnya untuk pulang ke rumah. Saat sampai, ternyata kedua orang tua Dimas sedang menyiapkan barang yang akan mereka bawa kerja besok. Mereka sangat senang melihat Dimas.

“Assalamualaikum, Dimas pulang.”

Ayah Dimas langsung menyambutnya. “Waalaikumsalam, sudah makan Dim?”

“Malam belum, yah.”

“Sana makan dulu. Ibuk masak kesukaanmu,” sahut Ibu.

“Iya buk.”

Dimas senang kedua orang tuanya tidak menanyakan banyak hal yang kemungkinan besar tidak akan bisa Dimas jawab.

Sejak hari itu, Dimas sudah memutuskan akan mensyukuri semua rezeki yang diberikan padanya. Dia tidak mau sampai menyakiti hati orang tuanya lagi. Dimas paham bahwa orang tuanya selalu memberikan yang terbaik untuknya. Terbaik, sebisa mereka.

“Terima kasih Ya Allah sudah mengingatkan Dimas. Dimas pengan jadi anak pinter yang nantinya bisa ganti merawat orang tua Dimas. Terima kasih juga telah memberikan Ayah, Ibuk, dan rumah ini di hidup Dimas.”

Dari saat itu sampai sekarang, rumah baru Dimas sudah mendapat banyak perubahan. Dari yang disebut baru sampai sudah bertahun-tahun ditempati. Sekarang, mereka bahkan sudah tidak boleh memakai sandal di dalamnya karena lantainya bukan lagi pasir.

Rumah Dimas sudah berkeramik. Kursi plastik telah menjadi sofa empuk berwarna merah lengkap dengan meja pasangannya. Ranjang kuno yang ada di kamar tidur sudah digantikan dengan spring bed besar. Televisi di ruang tengah juga sudah berganti menjadi lebih besar dan bening layarnya. Di dapur sudah ada kulkas, dispenser, dan banyak perlengkapan lain yang awalnya Dimas sama sekali tidak membayangkan dia akan bisa memilikinya. Bahkan tanah kosong di sebelah rumah, yang dulu tidak dibeli, juga telah menjadi milik keluarganya.

Rumah ini telah melewati beberapa masa dan menyaksikan banyak hal. Menemani Dimas tumbuh dari sejak masih TK, SD, SMP, SMA, bahkan sekarang Dimas sudah jadi anak kuliahan. Berbagai hal telah Dimas rasakan di sini. Naik, turun, susah, senang, tawa, sedih, semuanya pernah terekam.

Dimas sadar bahwa dari sebuah rumah ini dia belajar akan kehidupan. Belajar mensyukuri nikmat Tuhan yang seringkali terlupakan. Tidak megah, tapi dia menemukan perlindungan, kebersamaan, dan kasih sayang yang sulit didapatkan di tempat lain. Dari sebuah rumah ini juga dia memupuk kenangan bersama teman dan orang-orang tersayang.