Kenangan Absurd

0
232

Hiruk-pikuk suasana keramaian kota tak luput dari pandangan sang Pencipta. Keramaian jalan seakan bagai semut yang berlomba-lomba mendapatkan secuil makanan, ditambah lagi dengan kebisingan suara yang meluluh lantahkan ketenangan jiwa. Kembali ke dunia yang fana dimana para pendosa hidup. Tak terkecuali seseorang yang menatap malas dengan merotasikan bola matanya dengan jenaka, seakan terpancar raut lelah di wajahnya.

Menyesap kembali kafein yang menjadi candu baginya seolah bisa menghilangkan penat yang dirasakannya. Secara kasat mata orang awam pun akan tahu dia seorang penimba ilmu yang berada dijalur finis.

Hah… entah sudah berapa kali dia menghela nafas, begitu pikir orang-orang disekelilingnya, sambil menghendikkan bahu.

“ Bolehkah aku meminta nomor kakak?”

“Maaf ya Din kita berhubungan email saja”

*****

Kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda. Ada yang gagal sekali, dua kali bahkan sampai puluhan kali. Habiskan kupon kegagalanmu hingga nanti diakhir penantian kau bisa menikmati kesuksesanmu. Kata-kata yang selalu terngiang dibenakku. Kata-kata yang kudapatkan dari quotes absurd tapi sangat memotivasi.

Meski dulu motivasiku untuk terus maju bukanlah untuk diriku sendiri, bukanlah untuk kedua orang tua tersayang, bukan pula untuk adik-adikku, tapi untuk orang terkasih yang belum tentu melirikku. Ya, seperti yang kukatakan dia bukan kekasihku dia hanya seorang yang takkan mampu kukejar, kuraih, bahkan untuk saling menyapa saja tak pernah kubayangkan. Dia hanyalah satu dari seribu keinginan yang sangat mustahil bagiku.

24 Juli 2007

Kuraih kecepatan selama yang kumampu, meski kuyakini sang penjemput ajal telah berdiri dengan gagahnya sambil berdecak kesal melihat kearahku. Yah, memasuki ruangan dengan suasana mencekam yang seolah bisa menghancurkanku saat itu juga. Terpampang namaku di buku hitam dengan jelas, kutorehkan tulisan absurd yang tidak asing lagi bagiku.

“Dini, saya sudah tidak asing lagi dengan namamu. Silahkan keluar dan lihat kelasmu”

Menghela nafas sambil berjalan menuju penentu hidup, mengapa seakan nasib buruk selalu menimpaku, setelah kuyakini betapa takdir sangat kejam denganku setelah dengan sombongnya namaku terpampang dengan jelas dipapan itu. Aku hanya bisa menghela nafas dengan keras. Sedih? Oh tidak, aku terlalu berharga untuk itu. Kecewa? Tidak, karena kuyakini beginilah hidupku. Marah? Aku tidak suka takdir tertawa melihatku seperti itu.

“Din, kita sekelas! Kukira kau masuk kelas akselerasi lagi. Makanya Din kutahu kau pintar, tapi keterlambatanmu itu yang membuatmu dibuang dari kelas itu. Din.. Dini!!!”

“Apaan sih gak usah teriak. Aku gak tuli.” Kesalku mendengar suara toa dari manusia -yang sialnya- dia notabene sahabatku.

“ Bu Tina menyuruhmu antar ini ke ketua kelas XII IA 1”

Pandanganku liar mencari sosok yang kucari hingga sesuatu mengagetkanku, kutorehkan wajahku kutemukan sesosok manusia bak malaikat, mengagumkan, kata yang terlintas dibenakku.

“Cari siapa ya? Atau ada yang mau dikasih?”

“E-eh ini kak ma-mau ngasih buku sama ketua kelas ini”

“ Kebetulan saya sendiri ketua kelasnya. Terimakasih ya dik udah diantar”

“sa-sama-sama kak”. Kutatap terus dirinya hingga bayangannya hilang ditelan keramaian.

“Mutiaa.. kenapa gak bilang ketua kelasnya sungguh mempesona begitu?”

“Din…Din… heran aku lihat kau. Dia itu bukan hanya ketua kelas tahu gak. Dia itu siswa terjenius di SMA kita. Namanya Harris tapi jangan ngarep, dia itu udah punya pacar.”

*****

Entah sejak kapan takdir seolah berhenti mempermainkanku. Dimulai pertemuan pertama dengannya. Saling bersaing, bermusuhan, lalu tertawa bersama. Seperti remaja pada umumnya

“Din, nanti pulang sekolah mampir ke Perkot dulu ya”

“Mau ngerjain tugas ya Ndri? Gak lelah ya belajar terus?”

“ Gak lah Din, demi masa depan harus belajar giat, kamu juga jangan malas”. Ujarnya sambil mengelus kepalaku.

*****

11 Februari 2008

            Kuhirup aroma pagi yang begitu bersih tanpa dosa kotoran yang behamburan. Kujejaki setiap langkah kaki yang membawaku kepada rumah jalur masa depan –sebutku- . Suasana yang terlalu tentram yang sangat kusukai. Kuliarkan pandanganku hingga terkunci dengan tatapan yang jaraknya terpaut beberapa meter dariku

“Kamu siswi di kelas ini kan? Ini ada tugas dari konseling. Dan oh ya bisa minta emailmu? Akan sangat berguna bagiku untuk mengirim berkas”

Tatapanku tidak lepas darinya. Takdir berulah lagi, seolah iri dengan hiduku yang damai. Namun bisakah dikatakan takdir? Seolah benang merah selalu melekat denganku.

 

Hari itu dia bertemu untuk terakhir kalinya denganku. Dia lolos tahap akselerasi hingga berada satu tingkat diatasku. Dia hanya melambaikan tangan dengan senyum sumringah yang terpahat di wajahnya.

“Din, belajar yang bagus ya, kita tidak bisa belajar bersama lagi. Maafkan aku”. Ntah sedih atau pun senang. Seolah rasaku telah tiada setelah takdir dengan begitu kejam mempermainkanku kembali.

Aku terus menjalani hidup putih hitamku. Hingga tanpa sadar aku yang terlelap berpangku tangan diatas meja tersentak dengan getaran di sekitarku. Ternyata handphone pikirku. Email dari dia yang tak akan mungkin kuraih. Kubagikan dengan grup kelasku agar mereka paham.

*****

Tanpa kusadari aku semakin melupakan dirinya dan mendekat kepadamu. Hampir setiap malam kita bertegur sapa ditemani dengan selimut malam serta penerang gemerlap dari sang bintang, berterimakasihlah kepada Tuhan yang telah menciptaka mereka.

Kutelusuri lorong kelas yang tak asing lagi bagiku. Namun ada yang berbeda. Tatapan penghuni lorong kelas seolah mencibirku, seolah menggodaku, atau mungkin menatap nyalang kepadaku. Aku hanya bisa berjalan lurus seakan menganggap tiada yang berarti.

“ Din, kau jadi dekat dengannya setelah dia pergi. Tidak ada perasaan spesialkah?”

“ Rasaku sudah mati.” Dustaku sambil berlalu. Kuyakini cibiran itu menuju kepada diriku. Namun apa peduliku. Takdir saja tidak perduli.

18 Mei 2008

Ku tahu kau telah berakhir dengannya, tapi mengapa hatiku terlalu berharap. Bagimu aku hanyalah benalu yang terlalu bergantung denganmu. Dengan kepergian dia, aku terlalu bergantung denganmu. Tapi mengapa selalu senyum yang kau sajikan dihadapanku setiap kita berpapasan.

Tanpa kusadari waktupun berlalu kau yang telah pergi menyusulnya untuk sukses. Sedangkan aku masih tetap jalan di tempat dengan kesendirian yang mencekam.

28 April 2009

Hari kelulusanku akhirnya tiba, dan yah selamat menjadi pengangguran Din. Kamu lulus namun kembali lagi takdir mempermainkanmu. Seolah sang malaikatpun enggan membantumu sedangkan sang iblis menari melihat kesengsaraanmu. Yah, aku lulus namun gagal untuk melanjut.

Hari-hari kujalani dengan terus menimba ilmu. Salahku sendiri mengejar ilmu dengan tujuannya dirimu bukan mereka yang telah membesarkanku. Dasar manusia hina –batinku-.

Kutelusuri hamparan pasir yang menyatu dengan perairan asin. Aku berteriak sekonyong-konyong orang tidak waras. Yah, aku harap takdir tidak mempermainkanku lagi.

*****

25 Agustus 2010

Salahku memberitahu rahasiaku kepada mereka, dan dengan bodohnya aku terpancing. Yah dengan berat hati aku menuruti keinginan mereka TOD permainan yang sangat kukutuk.

Aku berkirim via email dengan mesra bersamanya. Hingga tiba keinti tujuan yang dengan tidak berperasaannya kau menolakku. Walau kutahu itu secara halus. Harris, satu kata yang selalu menjadi motivasi bagiku.

Siti Malikasnah Lubis