Pada suatu hari, Hawa dan Adam ‘dijebloskan’ oleh Tuhan ke bumi, atas kesalahan Hawa yang memakan buah khuldi. Hawa yang tumbuh dari tulang rusuk Adam diturunkan secara terpisah ketika mereka menginjakkan kaki di tanah yang belum bertuan ini. Berkelananya mereka, hingga bertemu kembali.
Kesampingkan iman dan agama. Bagi saya, kisah asal-muasal turunnya manusia ke bumi versi agama samawi ini cukup melukai ego saya sebagai seorang perempuan. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah, terciptanya ia sebagai pelengkap penciptaan laki-laki. Momok yang diciptakan institusi sebesar agama ini, menurut saya, kemudian menjadi pengaruh besar tentang peran perempuan dalam tatanan masyarakat sekarang.
Di Indonesia, ketimpangan antara laki-laki dan perempuan terlihat jelas. Menurut riset dari The Global Gender Gap Index 2020, Indonesia memiliki skor 0.70 dengan peringkat ke-85 dari 153 negara. Celah ini memang sudah berusaha ditutup dengan berbagai upaya seperti penyetaraan akses pendidikan, kesehatan, juga pembukaan akses untuk partisipasi perempuan dalam bidang ekonomi.
Namun, data survei yang dilakukan oleh BPS pada Februari lalu menunjukkan, rerata jumlah pendapatan bulanan laki-laki 23% lebih besar ketimbang perempuan. Angka ini tidak berubah secara signifikan sejak 2010, masih berputar di kisaran 23% saja. Hal itu menunjukkan betapa jelas dan abadi ketidaksetaraan yang dialami oleh perempuan, hingga dalam ranah ekonomi.
Ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan juga dapat dilihat dari angka kekerasan pada perempuan yang tinggi di Indonesia. Pada catatan tahunan Komnas Perempuan yang rilis bulan Maret 2020, angka kekerasan seksual pada perempuan meningkat sebanyak 792% dalam 12 tahun terakhir. Sementara, menurut survei BPS di tahun 2017, sebanyak 3 dari 10 perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Pada 2019, sebuah studi dari perusahaan asal Singapura juga menobatkan Indonesia sebagai negara paling tidak aman kedua untuk perempuan di wilayah Asia Pasifik.
Perempuan, sebagai tokoh utama yang paling terdampak dari ketimpangan-ketimpangan ini, tentunya sudah melakukan berbagai upaya untuk melindungi dan memperjuangkan kesetaraan haknya. Di sosial media, sering kita jumpai berbagai kampanye yang menyuarakan betapa pentingnya isu ini. Bentuknya mulai dari poster, tagar, sampai penyelenggaraan seminar. Organisasi pemberdayaan perempuan juga marak muncul, dari skala universitas hingga nasional.
Titik terang perjuangan kemudian sempat terlihat ketika muncul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun, terlepas dari kondisi darurat kekerasan seksual yang sudah dinyatakan oleh Komnas Perempuan sejak 2014, perkembangan RUU PKS justru mandek total di tahun ini. DPR tidak menyepakati RUU PKS untuk masuk di Prolegnas 2020 atas alasan pembahasannya yang terlalu rumit.
Sementara, ketika upaya-upaya untuk mengentaskan ketimpangan ini gencar dilakukan, masih ada perempuan-perempuan yang justru ‘membuyarkan’ perjuangan kaumnya sendiri. Bulan lalu, hati saya luka ketika melihat sebuah video yang tersebar melalui media sosial. Dalam video tersebut, seorang pengendara motor trail sedang mencabuli seorang perempuan di sebuah daerah wisata di Kabupaten Malang.
Entah atas kesadaran perempuan itu atau tidak, aktivitas kedua pihak tersebut terlihat jelas sangat mengganggu. Perempuan itu terlihat kesakitan. Saya ngilu melihat video tersebut, kemudian menangis ketika melihat kolom balasan di media sosial.
Ketika tatanan masyarakat secara tidak sadar tumbuh dengan nilai-nilai misoginis dalam dunia patriarki, maka doktrin melemahkan perempuan juga secara tidak sadar ikut tumbuh bahkan dalam kaum perempuan sendiri. Kolom balasan tidak hanya dipenuhi oleh laki-laki yang melontarkan celetukan tak senonoh, tapi juga perempuan lain yang berusaha mensucikan image-nya di depan khalayak umum.
Ketika seharusnya kita bahu-membahu menegaskan celah besar yang hidup antara laki-laki dan perempuan, beberapa perempuan malah terlena dalam iming-iming puja-puji yang mereka anggap sebagai pengumpan ego. Tidak terbesitkah empati kepada situasi yang dihadapi oleh perempuan korban pelecehan itu ?
Si korban dihadapkan pada kondisi yang berbeda, bahwa korban hanya dihadapkan pada pilihan-pilihan yang terbatas? Ironis sekali melihat para perempuan menuntut agar celah itu hilang, sementara mereka kira celah tersebut dapat ditutup dengan timbunan harga diri kaumnya yang mereka korbankan.
Fiona Nisa, mahasiswa Jurusan Antropologi Sosial, Universitas Brawijaya Malang